Minggu, 29 Maret 2015

BMT (Baitul Maal waTamwil)



BMT (Baitul Maal waTamwil)

PENDAHULUAN
A.   Latar belakang

Seiring berkembangnya perbankan syariah di Indonesia, berkembang pula lembaga keuangan mikro syariah dengan sarana pendukung yang lebih lengkap. Ketersedian infrastruktur baik berupa Peraturan Mentri, Keputusan Mentri, S0P, SOM, IT, Jaringan dan Asosiasi serta perhatian perbankan khususnya perbankan syariah mempermudah masyarakat mendirikan BMT. BMT yang tumbuh pesat sangat di pengaruhi oleh SDM, Modal Kerja, Sistem. SDM sebagai poin pertama menjadi pondasi utama BMT. Apabila BMT berisi SDM yang memiliki integritas tinggi, kapable di bidangnya, semangat kerja dan kinerja yang baik maka BMT akan bergerak dan tumbuh dengan dinamis. Namun pergerakan dan pertumbuhannya akan terhambat ketika modal kerja yang dimiliki tidak memadai.
Modal kerja sangat dibutuhkan untuk mengembangkan BMT. Jumlah pendapatan yang ditargetkan tidak mungkin tercapai jika target pembiayaan (yang menjadi core business BMT) tidak tercapai.Salah satu faktor pendukung besarnya volume pembiayaan yang dapat dikeluarkan adalah modal kerja. Sehebat apapun SDM yang dimiliki BMT, jika tidak didukung oleh modal kerja yang memadai maka SDM yang baik pun akan goyah karena dihadapkan oleh perolehan pendapatan yang minim yang tentu juga dikhawatirkan berdampak pada penghasilan mereka dan kepastian masa depannya.Maka timbulah berbagai masalah di BMT terkait SDM. Pengunduran diri karyawan terlatih adalah hal yang sering muncul karena masalah kesejahteraan. Yang terberat adalah karyawan menjadi tidak amanah, dana anggota diselewengkan. Maka tinggalah pengurus BMT menanggung akibatnya.
Jika BMT memiliki SDM yang baik dan modal kerja yang cukup kita bisa lebih berharap kepada BMT dengan kondisi seperti ini. Namun BMT dengan kondisi seperti ini pun tidak selamanya terbebas dari masalah. BMT tumbuh menjadi lembaga keuangan yang terus berkembang menjadi besar. Namun suatu saat BMT ini tersadar ketika proses audit dilakukan. Ternyata angka-angka pada neraca tidak memiliki data pendukung yang memadai. Terjadi banyak selisih data, yang pada akhirnya menimbulkan biaya baru. BMT ini pun kesulitan melakukan evaluasi terhadap kinerja keuangan, kinerja marketing dan resiko yang sedang dihadapinya. Banyak BMT besar yang runtuh karena hal ini. Akar masalah dari hal tersebut adalah tidak adanya atau tidak dijalankannya sistem. Banyak sistem yang harus dijalankan oleh BMT. Sistem Operasional Prosedur, Sistem Informasi (IT), Sistem Marketing, Sistem Operasional Manajemen dan sistem-sistem lainnya.

B.   Sejarah Berdirinya Baitul Mal Sejak Jaman Rasulullah
a.     Masa Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)
Pada masa Rasulullah SAW ini, Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menunda-nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.

b.     Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)

Abu Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya.
Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000 dirham setahunyang diambil dan Baitul Mal.

c.    Masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)

Selama memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).

d.     Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)

Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999).

e.     Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)

Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.

f.     Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya

Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999).

C.   Landasan BMT
BMT (Baitul Maal wa Tamwil) berasaskan pancasila dan UUD 1945 serta berlandaskan prinsip syariah islam, keimanan, keterpaduan, kekeluargaan atau koperasi, kebersamaan, kemandirian dan profesionalisme.[1]
Dengan demikian, keberadaan BMT menjadi organisasi yang sah dan legal. Sebagai lembaga keuangan syariah, BMT harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip syariah. Keimanan menjadi landasan atas keyakinan untuk mau tumbuh dan berkembang. Keterpaduan mengisyaratkan adanya harapan untuk mencapai sukses di dunia dan akhiratjuga keterpaduan antara sisi maal dan tamwil (sosial dan bisnis). Kekeluargaan dan kebersamaan berarti upaya untuk mencapai kesuksesan tersebut diraih secara bersama. Kemandirian berarti BMT tidak dapat hidup hanya dengan bergantung pada uluran tangan pemerintah, tetapi harus berkembang dari meningkatnya partisipasi anggota dan masyarakat, untuk itulah pola pengelolaannya harus profesional.

D.   Pengertian BMT

Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial.[2]
Menurut Makhalul ‘Ilmi, secara istilah pengertian baitul māl adalah lembaga keuangan berorientasi sosial keagamaan yang kegiatan utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat berupa zakat, infak, shodaqoh(ZIS) berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan Al Qur’an dan sunnah Rasul Nya, dan pengertian dari baitul tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatannya  menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan (simpanan) maupun deposito dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah melalui mekanisme yang lazim dalam dunia perbankan.[3]
Sedangkan menurut Muhammad, pengertian baitul māl adalah suatu badan yang bertugas mengumpulkan, mengelola serta menyalurkan zakat, infak,dan shodaqoh yang bersifat social oriented, dan baitut tamwil adalah suatu lembaga yang bertugas menghimpun, mengelola serta menyalurkan dana untuk suatu tujuan profit oriented (keuntungan) dengan bagi hasil (qiradh/mudharabah, syirkah/musyarakah), jual beli (bai’u  bitsaman ajil/angsur, murabahah /tunda) maupun sewa (al-al-ijarah).[4]
Dengan demikian BMT sesungguhnya merupakan lembaga yang bersifat sosial keagamaan sekaligus komersial. BMT menjalankan tugas sosialnya dengan cara menghimpun dan membagikan dana masyarakat dalam bentuk  zakat, infaq, dan shodaqoh (ZIS) tanpa mengambil keuntungan. Disisi lain ia mencari dan memperoleh keuntungan melalui kegiatan kemitraan dengan nasabah baik dalam bentuk penghimpunan, pembiayaan, maupun layanan-layanan pelengkapnya sebagai suatu lembaga keuangan Islam.
Lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuh kembangkan bisnis usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi yang salaam : keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan kesejahteraan.

Visi BMT adalah semakin meningkatnya kualitas ibadah anggota BMT sehingga mampu berperan  sebagai wakil pengabdi Allah memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil dan makmur berlandaskan syariah dan ridho Allah SWT. [5]
Visi BMT mengarah pada upaya untuk mewujudkan BMT menjadi lembaga yang mampu meningkatkan kualitas ibadah anggota (ibadah dalam arti yang luas), sehingga mampu berperan sebagai wakil pengabdi Allah SWT, memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.. Titik tekan perumusan Visi BMT adalah mewujudkan lembaga yang professional dan dapat meningkatkan kualitas ibadah.
Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil berkemakmuran, serta berkeadilan berlandaskan syari’ah dan diridhoi Allah SWT. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa misi BMT bukan sematamata mencari keuntungan dan penumpukan laba modal pada golongan orang kaya saja, tetapi lebih berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil, sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.

E.    Sejarah dan Perkembangan BMT di Indonesia

Sejarah BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi usaha kecil dengan nama Bait at Tamwil SALMAN dan selanjutnya di Jakarta didirikan Koperasi Ridho Gusti. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh ICMI sebagai sebuah gerakan yang secara operasional ditindaklanjuti oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). BMT adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan pola syari’ah, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi : Baitul Tamwil (Bait = Rumah, at Tamwil = Pengembangan Harta) – melakukan kegiatan pengembangan usahausaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) – menerima titipan dana zakat, infak dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan pertaturan dan amanahnya. Sekilas Tentang PINBUK.
Peran ICMI yang mendorong terbentuknya PINBUK sangat berarti dalam sejarah perkembangan BMT. Pada tanggal 13 Maret 1995 ICMI yang diwakili oleh Prof. Dr. Ing. BJ Habibie (Ketua ICMI), Majelis Ulama Indonesia yang diwakili oleh K.H. Hasan Basri (Ketua Umum MUI) dan Bank Muamalat Indonesia yang diwakili oleh Zaenul Bahar Noor, SE (Dirut BMI) menjadi tokoh-tokoh pendiri PINBUK. PINBUK didirikan karena adanya tuntutan yang cukup kuat dari masyarakat yang menginginkan adanya perubahan dalam struktur ekonomi masyarakat yang pada tahun-tahun 1995 di kuasai oleh segelintir golongan tertentu, utamanya dari ekonomi konglomerasi, kepada ekonomi yang berbasis kepada masyarakat banyak.

F.    Asas dan Prinsip Dasar BMT

Asas dan Prinsip dasar BMT.[6] BMT didirikan dengan berasaskan pada masyarakat yang salaam, yaitu penuh  keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.
            Prinsip Dasar BMT, adalah :
a.      Ahsan (mutu hasil kerja terbaik), thayyiban (terindah), ahsanu ‘amala (memuaskan semua pihak), dan sesuai dengan nilai-nilai salaam : keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.
b.      Barokah, artinya berdayaguna, berhasilguna, adanya penguatan jaringan, transparan (keterbukaan), dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada masyarakat.
c.       Spiritual communication (penguatan nilai ruhiyah).
d.      Demokratis, partisipatif, dan inklusif.
e.       Keadilan sosial dan kesetaraan jender, non-diskriminatif.
f.        Ramah lingkungan.
g.      Peka dan bijak terhadap pengetahuan dan budaya lokal, serta keanekaragaman budaya.
h.      Keberlanjutan, memberdayakan masyarakat dengan meningkatkan kemampuan diri dan lembaga masyarakat lokal.
G.    Sifat, Peran, dan Fungsi BMT

Sifat, peran, dan fungsi BMT.[7] BMT bersifat terbuka, independen, tidak partisan, berorientasi pada pengembangan tabungan dan pembiayaan untuk mendukung bisnis ekonomi yang produktif bagi anggota dan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar, terutama usaha mikro dan fakir miskin.
Peran BMT di masyarakat, adalah sebagai :
a.      Motor penggerak ekonomi dan sosial masyarakat banyak.
b.      Ujung tombak pelaksanaan sistem ekonomi syariah.
c.       Penghubung antara kaum aghnia (kaya) dan kaum dhu’afa (miskin).
d.      Sarana pendidikan informal untuk mewujudkan prinsip hidup yang barakah, ahsanu ‘amala, dansalaam melalui spiritual communication dengan dzikir qalbiyah ilahiah.

Fungsi BMT di masyarakat, adalah untuk :
a.      Meningkatkan kualitas SDM anggota, pengurus, dan pengelola menjadi lebih profesional, salaam (selamat, damai, dan sejahtera), dan amanah sehingga semakin utuh dan tangguh dalam berjuang dan berusaha (beribadah) menghadapi tantangan global.
b.      Mengorganisir dan memobilisasi dana sehingga dana yang dimiliki oleh masyarakat dapat termanfaatkan secara optimal di dalam dan di luar organisasi untuk kepentingan rakyat banyak.
c.       Mengembangkan kesempatan kerja.
d.      Mengukuhkan dan meningkatkan kualitas usaha dan pasar produk-produk anggota.
e.       Memperkuat dan meningkatkan kualitas lembaga-lembaga ekonomi dan sosial masyarakat banyak.

H.   Ciri-ciri Utama BMT
Pada awal konsepnya, BMT mempertegas ciri utamanya sebagai lembaga yang berorientasi bisnis dan bukan lembaga sosial.

Ciri khasnya meliputi etos kerja bertindak proaktif (service excellence) dan menjemput bola kepada calon anggota dan anggota; pengajian rutin secara berkala tentang keagamaan dan kemudian tentang bisnis.[8]

Secara umum baitul maal wattamwil mempunyai ciri – ciri sebagai berikut :
a.       Merupakan lembaga ekonomi bukan bank yang dapat dijangkau dan mampu menjangkau nasabah kecil bawah (mikro) beroprasi secara syariah dengan potensi jaminan dari dalam / sekitar lingkungannya sendiri.
b.      Merupakan gabungan kegiatan baitul tamwil dengan baitul maal.
c.       BMT berusaha untuk mengumpulkan dana anggota dan menyalurkannya kepada anggota untuk modal usaha produktif.
d.      Baitul Maal menerima zakat, infaq, shodaqoh dan menyalurkannya kepada asnafnya menurut ketentuan syariah dengan perkiraan pemanfaatan yang paling produktif dan paling bermanfaat.

Ciri – Ciri Operasional Baitul Maal :
Visi dan misi sosial (non komersil).
a.       Memiliki fungsi sebagai mediator antara pembayar zakat (muzzaki) dan panerima zakat (mustahiq).
b.      Tidak boleh mengambil profit ataupun dari operasinya.
c.       Pembiayaan operasional dapat diambil dari bagian amil.
Ciri – Ciri Operasional Baituttamwil :
Visi dan misi ekonomi (komersil).
a.       Dijalankan dengan prinsip ekonomi islam.
b.      Memiliki fungsi sebagai modiator antara anggota yang memiliki kelebihan dana dengan anggota yang kekurangan dana.
c.       Pembiayaan operasional berasal dari asset sendiri atau dana keuntungan (bagi hasil) dari pembiayaan usaha produktui anggota.

I.       PRODUK YANG TERDAPAT DALAM BMT

pada sistem operasional bmt syariah, pemilik dana menanamkan uangnya di bmt tidak dengan motif mendapatkan bunga, tetapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil. produk penghimpunan dana lembaga keuangan syariah adalah (himpunan fatwa DSN-MUI, 2003), yaitu : [11]
a.       Giro Wadiah
giro wadiah adalah produk simpanan yang bisa ditarik kapan saja. dana nasabah dititipkan di bmt dan boleh dikelola. setiap saat nasabah berhak mengambilnya dan berhak mendapatkan bonus dari keuntungan pemanfaatan dana giro oleh bmt. besarnya bonus tidak ditetapkan di muka tetapi benar-benar merupakan kebijaksanaan bmt. sungguhpun demikian nominalnya diupayakan sedemikian rupa untuk senantiasa kompetitif (fatwa DSN-MUI no. 01/dsn-mui/iv/2000).
b.      Tabungan Mudharabah
dana yang disimpan nasabah akan dikelola BMT, untuk memperoleh keuntungan. keuntungan akan diberikan kepada nasabah berdasarkan kesepakatan nasabah. nasabah bertindak sebagai shahibul mal dan lembaga keuangan syariah bertindak sebagai mudharib(fatwa DSN-MUI no. 02/dsn-mui/iv/2000).
c.       Deposito mudharabah
BMT bebas melakukan berbagai usaha yang tidak bertentangan dengan syariah dan mengembangkannya. BMT bebas mengeola dana (mudharabah mutaqah). BMT berfungsi sebagai mudharib sedangkan nasabah juga shahibul maal. ada juga dana nasabah yang dititipkan untuk usaha tertentu. nasabah memberi batasan penggunn dana untuk jenis dan tempat tertentu. jenis ini disebut mudharabah muqayyadah.

            Dan ada pula produk-produk lain yang terdapat dalam lembaga BMT, antara lain
1.Produk layanan simpanan :
a.       Simpanan Tarbiyah
Merupakan simpanan nasabah atau penabung bagi pelajar / mahasiwa yang dapat diambil pada waktu tertentu untuk kebutuhan biaya pendidikan dan dijamin keutuhannya.
b.      Simpanan Hari raya
Merupakan simapanan nasabah atau penabung yang dijamin keutuhan nilainya dan tabungan tersebut dapat diambil pada saat mrnjelang hari raya untuk mempersiapkan kebutuhan hari raya. Pihak BMT melakukan bagui hasil yang di hitung berdasarkan saldo rata-rata tiap bulan.
c.       Simpanan Aqiqah
Merupakan tabungan yang sengaja dipersiapkan untuk melaksanakan qurban pada hari raya Idul adha atau pada penyembelihan aqiqah. Tabungan dapat diambil pada  saat akan melaksanakan qurban pada hari raya atau pada saat aqiqh. Pihak BMT memberikan bagi hasil yang dihitung berdasarkan saldo rata-rata tiap bulan.
2.Produk penyaluran dana
a.       Pembiayaan Mudhorobah
                  Merupakan jenis pembiayan kerjasama antara BMT sebagai shahibul maal dengan nasabah sebagai mudhorib dimana pihak BMT memberikan modal kepada nasabah untuk dikelola sesuai dengan keahliannya. Pembiayaan mudhorobah dilakukan dengan sistem bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati.
b.      Pembiayaan Musyarakah
                  Merupakan pembiayaan kerjasama modal antara BMT dengnan nasabah  dimana bagi hasil dihitung berdasarkan porsi modal penyertaan dari masing-masing pihak yaitu BMT dan anggotsa.
c.       Pembiayaan Murabahah
                  Merupakan pembiayaan jual beli barang pada harga asli dengan tambahan keuntungan yang disepakati bersama. Dalam pembiayaan murobahah penjual harus memberi tahu harga  produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai margin dengan sistem pengembalian jatuh tempo.
d.      Pembiayaan Al- Ijarah
                  Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan  pemindahann kepemilikan atas barang itu sendiri.
e.       Pembiayaan Bai al Istighna (Purchase by Order or Manufacture)
                  Merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang dimana dalam kontrak ini , pembuat barang menerima pesanan  dari pembeli lalu pembuat barang berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang disepakati dan  menjualnya kepada pembeli akhir.
f.       Pembiayaan Ar- Rahn
                  Merupakan suatu pembiayaan sistem gadai dengan menahan salah satu harta  milik nasabah atau peminjamsebabgai jaminan atas pinjaman yang diterimanya dan barang tersebut memiliki nilai yang ekonomis.
g.      Pembiayaan Qordul Hasan
                  Merupakan akad pembiayaan bagi anggota berupa pinjaman modal tanpa biaya yang tidak dibebani dengan margin atau nisbah sehingga bersifat sosial bagi kaum dhuafa yang prospektif unttuk dikembangkan menjadi usahawan yang mandiri. Pinjaman qordul hasan ini berasal dari pengelolaan dana ZIS (zakat, Infak, dan Shodaqoh).

J.      Keunggulan dan Kelemahan Antara BMT dengan Perbankan Konvesional

BMT sebagai alternatif Bank-bank konvensional, memiliki keunggulan-keunggulan yang juga merupakan perbedaan dan perbandingan jika dengan perbankan konvensional. Disamping hal tersebut muncul juga kelemahan-kelemahan karena sebagai pemain baru dalam dunia lembaga keuangan.
Keunggulan :
1. BMT Islam memiliki dasar hukum operasional yakni Al Qur’an dan Al Hadist. Sehingga dalam operasionalnya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar seperti diperintahkan oleh Allah SWT, juga nilai dasar seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.
2. BMT Islam mendasarkan semua produk dan operasinya pada prinsip-prinsip efisiensi, keadilan, dan kebersamaan.
3. Adanya kesamaan ikatan emosional keagamaan yang kuat antara pemegang saham, pengelola, dan nasabah, sehingga dapat dikembangkan kebersamaan dalam menghadapi resiko usaha dan membagi keuntungan secara jujur dan adil.
4. Adanya keterikatan secara religi, maka semua pihak yang terlibat dalam BMT Islam akan berusaha sebaik-baiknya sebagai pengalaman ajaran agamanya sehingga berapa pun hasil yang diperoleh diyakini membawa berkah.
5. Adanya fasilitas pembiayaan (Al Mudharabah dan Al Musyarakah) yang tidak membebani nasabah sejak awal dengan kewajiban membayar biaya secara tetap, hal ini memberikan kelonggaran physichologis yang diperlukan nasabah untuk dapat berusaha secara tenang dan bersungguh-sungguh.
6. Adanya fasilitas pembiayaan (Al Murabahah dan Al Ba’i Bitsaman Ajil) yang lebih mengutamakan kelayakan usaha dari pada jaminan (kolateral) sehingga siapa pun baik pengusaha ataupun bukan mempunyai jaminan kesempatan yang luas untuk berusaha.
7. Tersedia pembiayaan (Qardu Hasan) yang tidak membebani nasabah dengan biaya apapun, kecuali biaya yang dipergunakan sendiri:seperti bea materai, biaya notaris, dan sebagainya. Dana fasilitas ini diperoleh dari pengumpulan zakat, infak dan sadaqah, para amil zakat yang masih mengendap.
8. Dengan diterapkannya sistem bagi hasil sebagai pengganti bunga, maka tidak ada diskriminasi terhadap nasabah yang didasarkan atas kemampuan ekonominya sehingga akseptabilitas BMT Islam menjadi luas.
9. Dengan adanya sistem bagi hasil, maka untuk kesehatan BMT yang bisa diketahui dari naik turunnya jumlah bagi hasil yang diterima.
10.Dengan diterapkannya sistem bagi hasil, maka persaingan antar BMT Islam berlaku wajar yang diperuntukkan oleh keberhasilan dalam membina nasabah dengan profesionalisme dan pelayanan yang baik.
Kelemahan :
Kelemahan-kelemahan serta permasalahan-permasalahan yang ada dalam BMT Islam (Warkum Sumitro, 1996) adalah:
1. Dalam operasional BMT Islam, pihak-pihak yang terlibat didasarkan pada ikatan emosional keagamaan yang sama, sehingga antara pihak-pihak khususnya pengelola BMT dan BMT harus saling percaya, bahwa mereka sama-sama beritikad baik dan jujur dalam bekerjasama. BMT dengan sistem ini terlalu berprasangka baik kepada semua nasabah dan berasumsi bahwa semua orang yang terlibat adalah jujur. Dengan demikian, BMT Islam rawan terhadap mereka yang beritikad tidak baik sehingga diperlukan usaha tambahan untuk mengawasi nasabah yang menerima pembiayaan dari BMT Islam karena tidak dikenal bunga, denda keterlambatan dan sebagainya.
2. Sistem bagi hasil yang adil memerlukan tingkat profesionalisme yang tinggi bagi pengelola BMT untuk membuat penghitungan yang cermat dan terus-menerus.
3. Motivasi masyarakat muslim untuk terlibat dalam aktivitas BMT Islam adalah emosi keagamaan, ini berarti tingkat efektifitas keterlibatan masyarakat muslim dalam BMT Islam tergantung pada pola pikir dan sikap masyarakat itus sendiri.
4. Semakin banyak umat Islam memanfaatkan fasilitas yang disediakn BMT Islam, sementara belum tersedia proyek-proyek yang bisa di biayai sebagai akibat kurangnya tenaga-tenaga profesional yang siap pakai, maka BMT Islam akan menghadapi ”kelebihan likuiditas”.
5. Salah satu misi BMT Islam yakni mengentaskan kemiskinan yang sebagian besar kantong-kantong kemiskinan terdapat di pedesaan.

K. Kesimpulan.

BMT (Baitul Maal wa Tamwil) berasaskan pancasila dan UUD 1945 serta berlandaskan prinsip syariah islam, keimanan, keterpaduan, kekeluargaan atau koperasi, kebersamaan, kemandirian dan profesionalisme.
BMT menjalankan tugas sosialnya dengan cara menghimpun dan membagikan dana masyarakat dalam bentuk  zakat, infaq, dan shodaqoh (ZIS) tanpa mengambil keuntungan.
Ciri khasnya meliputi etos kerja bertindak proaktif (service excellence) dan menjemput bola kepada calon anggota dan anggota; pengajian rutin secara berkala tentang keagamaan dan kemudian tentang bisnis.
pada sistem operasional bmt syariah, pemilik dana menanamkan uangnya di bmt tidak dengan motif mendapatkan bunga, tetapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil

DAFTAR PUSTAKA

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Cet. 2, Yogyakarta Ekonisia, 2004
Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah, Cet.1,Yogyakarta, UII
Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
PINBUK, Pedoman Cara Pembentukan BMT, (Jakarta, PT. Bina UsahaIndonesia, tt)
Press,2002 Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul  Maal Watamwil, Yogyakarta, UII Press, 2004





[1] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), hlm 129
[2] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Cet. 2, Yogyakarta Ekonisia, 2004,  hal 96
[3] Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah, Cet.1,Yogyakarta, UII Press,2002 hal 64
[4] Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul  Maal Watamwil, Yogyakarta, UII Press, 2004, hal 16.

[5] PINBUK, Pedoman Cara Pembentukan BMT, (Jakarta, PT. Bina UsahaIndonesia, tt) hal 2-3.
[6] http://ekonomisyariah.site40.net/2008/10/baitul-maal-wa-tamwil-bmt/
[7] http://ekonomisyariah.site40.net/2008/10/baitul-maal-wa-tamwil-bmt/
[8] PINBUK, Pedoman Cara Pembentukan BMT, (Jakarta, PT. Bina UsahaIndonesia, tt) hal 4-5