BMT (Baitul Maal waTamwil)
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Seiring berkembangnya
perbankan syariah di Indonesia, berkembang pula lembaga keuangan mikro syariah
dengan sarana pendukung yang lebih lengkap. Ketersedian infrastruktur baik
berupa Peraturan Mentri, Keputusan Mentri, S0P, SOM, IT, Jaringan dan Asosiasi
serta perhatian perbankan khususnya perbankan syariah mempermudah masyarakat
mendirikan BMT. BMT yang tumbuh pesat sangat di pengaruhi oleh SDM, Modal
Kerja, Sistem. SDM sebagai poin pertama menjadi pondasi utama BMT. Apabila BMT
berisi SDM yang memiliki integritas tinggi, kapable di bidangnya, semangat
kerja dan kinerja yang baik maka BMT akan bergerak dan tumbuh dengan dinamis.
Namun pergerakan dan pertumbuhannya akan terhambat ketika modal kerja yang
dimiliki tidak memadai.
Modal kerja sangat
dibutuhkan untuk mengembangkan BMT. Jumlah pendapatan yang ditargetkan tidak
mungkin tercapai jika target pembiayaan (yang menjadi core business BMT)
tidak tercapai.Salah satu faktor pendukung besarnya volume pembiayaan yang
dapat dikeluarkan adalah modal kerja. Sehebat apapun SDM yang dimiliki BMT,
jika tidak didukung oleh modal kerja yang memadai maka SDM yang baik pun akan
goyah karena dihadapkan oleh perolehan pendapatan yang minim yang tentu juga
dikhawatirkan berdampak pada penghasilan mereka dan kepastian masa
depannya.Maka timbulah berbagai masalah di BMT terkait SDM. Pengunduran diri
karyawan terlatih adalah hal yang sering muncul karena masalah kesejahteraan.
Yang terberat adalah karyawan menjadi tidak amanah, dana anggota diselewengkan.
Maka tinggalah pengurus BMT menanggung akibatnya.
Jika BMT memiliki SDM
yang baik dan modal kerja yang cukup kita bisa lebih berharap kepada BMT dengan
kondisi seperti ini. Namun BMT dengan kondisi seperti ini
pun tidak selamanya terbebas dari masalah. BMT tumbuh menjadi lembaga keuangan yang terus berkembang
menjadi besar. Namun suatu saat BMT ini tersadar ketika proses audit dilakukan.
Ternyata angka-angka pada neraca tidak memiliki data pendukung yang memadai.
Terjadi banyak selisih data, yang pada akhirnya menimbulkan biaya baru. BMT ini
pun kesulitan melakukan evaluasi terhadap kinerja keuangan, kinerja marketing
dan resiko yang sedang dihadapinya. Banyak BMT besar yang runtuh karena hal ini.
Akar masalah dari hal tersebut adalah tidak adanya atau tidak
dijalankannya sistem. Banyak sistem yang harus dijalankan oleh BMT. Sistem
Operasional Prosedur, Sistem Informasi (IT), Sistem Marketing, Sistem
Operasional Manajemen dan sistem-sistem lainnya.
B.
Sejarah Berdirinya Baitul Mal Sejak Jaman Rasulullah
a. Masa
Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)
Pada masa Rasulullah
SAW ini, Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang
menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun
pengeluaran. Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan
harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada,
harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi-bagikan kepada kaum muslimin
serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa
membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya
peperangan, tanpa menunda-nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera
menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.
b. Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq
(11-13 H/632-634 M)
Abu
Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah
harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau tetap
berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan
diri dan keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis
biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai
pedagang membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di
pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya.
Di
tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau
kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana
mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin
kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah
untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul
Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu
Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah
Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000
dirham setahunyang diambil dan Baitul Mal.
c. Masa
Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Selama
memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati,
menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan
mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya,
yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan
mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak
dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim
panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan
sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah
seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999).
d. Masa
Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi
yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang
besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam
pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab
Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam
mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan
keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa
pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang
kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari
penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya
dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi
yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya
dari Baitul Mal sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka
dari Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada
sementara sanak kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999).
e. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40
H/656-661 M)
Pada
masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali
pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal,
seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa
menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan
tambalan.
f. Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika
Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul
Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal
dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat,
maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah
kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan,
1999).
C. Landasan BMT
BMT (Baitul Maal wa Tamwil) berasaskan pancasila dan UUD 1945
serta berlandaskan prinsip syariah islam, keimanan, keterpaduan, kekeluargaan
atau koperasi, kebersamaan, kemandirian dan profesionalisme.[1]
Dengan demikian, keberadaan BMT menjadi organisasi yang sah dan
legal. Sebagai lembaga keuangan syariah, BMT harus berpegang teguh pada
prinsip-prinsip syariah. Keimanan menjadi landasan atas keyakinan untuk mau
tumbuh dan berkembang. Keterpaduan mengisyaratkan adanya harapan untuk mencapai
sukses di dunia dan akhiratjuga keterpaduan antara sisi maal dan tamwil (sosial
dan bisnis). Kekeluargaan dan kebersamaan berarti upaya untuk mencapai kesuksesan
tersebut diraih secara bersama. Kemandirian berarti BMT tidak dapat hidup hanya
dengan bergantung pada uluran tangan pemerintah, tetapi harus berkembang dari
meningkatnya partisipasi anggota dan masyarakat, untuk itulah pola
pengelolaannya harus profesional.
D. Pengertian
BMT
Sedangkan baitul
tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial.[2]
Menurut Makhalul ‘Ilmi, secara istilah
pengertian baitul māl adalah lembaga keuangan berorientasi sosial
keagamaan yang kegiatan utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat
berupa zakat, infak, shodaqoh(ZIS) berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan
Al Qur’an dan sunnah Rasul Nya, dan pengertian dari baitul
tamwil adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dana
masyarakat dalam bentuk tabungan (simpanan) maupun deposito dan menyalurkan
kembali ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
melalui mekanisme yang lazim dalam dunia perbankan.[3]
Sedangkan menurut Muhammad,
pengertian baitul māl adalah suatu badan yang bertugas mengumpulkan,
mengelola serta menyalurkan zakat, infak,dan shodaqoh yang
bersifat social oriented, dan baitut tamwil adalah suatu lembaga
yang bertugas menghimpun, mengelola serta menyalurkan dana untuk suatu tujuan profit
oriented (keuntungan) dengan bagi hasil (qiradh/mudharabah,
syirkah/musyarakah), jual beli (bai’u bitsaman
ajil/angsur, murabahah /tunda) maupun sewa (al-al-ijarah).[4]
Dengan demikian BMT
sesungguhnya merupakan lembaga yang bersifat sosial keagamaan sekaligus
komersial. BMT menjalankan tugas sosialnya dengan cara menghimpun dan
membagikan dana masyarakat dalam bentuk zakat, infaq, dan shodaqoh (ZIS)
tanpa mengambil keuntungan. Disisi lain ia mencari dan memperoleh keuntungan
melalui kegiatan kemitraan dengan nasabah baik dalam bentuk penghimpunan,
pembiayaan, maupun layanan-layanan pelengkapnya sebagai suatu lembaga keuangan
Islam.
Lembaga keuangan
mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuh kembangkan bisnis
usaha mikro dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela
kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari
tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi
yang salaam : keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian,
dan kesejahteraan.
Visi BMT adalah semakin meningkatnya
kualitas ibadah anggota BMT sehingga mampu berperan sebagai wakil
pengabdi Allah memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya dan umat manusia
pada umumnya. Misi BMT adalah membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian
dan struktur masyarakat madani yang adil dan makmur berlandaskan syariah dan
ridho Allah SWT. [5]
Visi BMT mengarah
pada upaya untuk mewujudkan BMT menjadi lembaga yang mampu meningkatkan
kualitas ibadah anggota (ibadah dalam arti yang luas), sehingga mampu berperan
sebagai wakil pengabdi Allah SWT, memakmurkan kehidupan anggota pada khususnya
dan masyarakat pada umumnya.. Titik tekan perumusan Visi BMT adalah mewujudkan
lembaga yang professional dan dapat meningkatkan kualitas ibadah.
Misi BMT adalah
membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani
yang adil berkemakmuran, serta berkeadilan berlandaskan syari’ah dan diridhoi
Allah SWT. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa misi BMT bukan
sematamata mencari keuntungan dan penumpukan laba modal pada golongan orang
kaya saja, tetapi lebih berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan
adil, sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam.
E. Sejarah
dan Perkembangan BMT di Indonesia
Sejarah
BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di Masjid
Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan syari’ah bagi
usaha kecil dengan nama Bait at Tamwil SALMAN dan selanjutnya di Jakarta
didirikan Koperasi Ridho Gusti. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh ICMI
sebagai sebuah gerakan yang secara operasional ditindaklanjuti oleh Pusat
Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). BMT adalah lembaga keuangan mikro yang
dioperasikan dengan pola syari’ah, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan
kecil dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan
kaum fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi : Baitul Tamwil
(Bait = Rumah, at Tamwil = Pengembangan Harta) – melakukan kegiatan
pengembangan usahausaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas
ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung
dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal =
Harta) – menerima titipan dana zakat, infak dan shadaqah serta mengoptimalkan
distribusinya sesuai dengan pertaturan dan amanahnya. Sekilas Tentang PINBUK.
Peran
ICMI yang mendorong terbentuknya PINBUK sangat berarti dalam sejarah
perkembangan BMT. Pada tanggal 13 Maret 1995 ICMI yang diwakili oleh Prof. Dr.
Ing. BJ Habibie (Ketua ICMI), Majelis Ulama Indonesia yang diwakili oleh K.H.
Hasan Basri (Ketua Umum MUI) dan Bank Muamalat Indonesia yang diwakili oleh
Zaenul Bahar Noor, SE (Dirut BMI) menjadi tokoh-tokoh pendiri PINBUK. PINBUK
didirikan karena adanya tuntutan yang cukup kuat dari masyarakat yang
menginginkan adanya perubahan dalam struktur ekonomi masyarakat yang pada
tahun-tahun 1995 di kuasai oleh segelintir golongan tertentu, utamanya dari
ekonomi konglomerasi, kepada ekonomi yang berbasis kepada masyarakat banyak.
F. Asas dan
Prinsip Dasar BMT
Asas dan Prinsip
dasar BMT.[6]
BMT didirikan dengan berasaskan pada masyarakat yang salaam, yaitu penuh
keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.
Prinsip Dasar BMT, adalah :
a.
Ahsan (mutu
hasil kerja terbaik), thayyiban (terindah), ahsanu
‘amala (memuaskan semua pihak), dan sesuai dengan
nilai-nilai salaam : keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.
b. Barokah, artinya berdayaguna,
berhasilguna, adanya penguatan jaringan, transparan (keterbukaan), dan
bertanggung jawab sepenuhnya kepada masyarakat.
c. Spiritual communication (penguatan
nilai ruhiyah).
d. Demokratis, partisipatif, dan inklusif.
e. Keadilan sosial dan kesetaraan jender,
non-diskriminatif.
f.
Ramah lingkungan.
g. Peka dan bijak terhadap pengetahuan dan
budaya lokal, serta keanekaragaman budaya.
h. Keberlanjutan, memberdayakan masyarakat
dengan meningkatkan kemampuan diri dan lembaga masyarakat lokal.
G. Sifat,
Peran, dan Fungsi BMT
Sifat, peran, dan
fungsi BMT.[7]
BMT bersifat terbuka, independen, tidak partisan, berorientasi pada
pengembangan tabungan dan pembiayaan untuk mendukung bisnis ekonomi yang
produktif bagi anggota dan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar, terutama
usaha mikro dan fakir miskin.
Peran BMT di
masyarakat, adalah sebagai :
a. Motor penggerak ekonomi dan sosial
masyarakat banyak.
b. Ujung tombak pelaksanaan sistem ekonomi
syariah.
c. Penghubung antara
kaum aghnia (kaya) dan kaum dhu’afa (miskin).
d. Sarana pendidikan informal untuk
mewujudkan prinsip hidup yang barakah, ahsanu
‘amala, dansalaam melalui spiritual
communication dengan dzikir qalbiyah ilahiah.
Fungsi BMT di
masyarakat, adalah untuk :
a. Meningkatkan kualitas SDM anggota,
pengurus, dan pengelola menjadi lebih profesional, salaam (selamat,
damai, dan sejahtera), dan amanah sehingga semakin utuh dan tangguh dalam
berjuang dan berusaha (beribadah) menghadapi tantangan global.
b. Mengorganisir dan memobilisasi dana
sehingga dana yang dimiliki oleh masyarakat dapat termanfaatkan secara optimal
di dalam dan di luar organisasi untuk kepentingan rakyat banyak.
c. Mengembangkan kesempatan kerja.
d. Mengukuhkan dan meningkatkan kualitas
usaha dan pasar produk-produk anggota.
e. Memperkuat dan meningkatkan kualitas
lembaga-lembaga ekonomi dan sosial masyarakat banyak.
H. Ciri-ciri Utama BMT
Pada awal konsepnya, BMT mempertegas ciri utamanya sebagai
lembaga yang berorientasi bisnis dan bukan lembaga sosial.
Ciri khasnya meliputi etos kerja bertindak proaktif (service
excellence) dan menjemput bola kepada calon anggota dan anggota; pengajian
rutin secara berkala tentang keagamaan dan kemudian tentang bisnis.[8]
Secara
umum baitul maal wattamwil mempunyai ciri – ciri sebagai berikut :
a.
Merupakan lembaga
ekonomi bukan bank yang dapat dijangkau dan mampu menjangkau nasabah kecil bawah
(mikro) beroprasi secara syariah dengan potensi jaminan dari dalam / sekitar
lingkungannya sendiri.
b.
Merupakan gabungan
kegiatan baitul tamwil dengan baitul maal.
c.
BMT berusaha untuk
mengumpulkan dana anggota dan menyalurkannya kepada anggota untuk modal usaha
produktif.
d.
Baitul Maal menerima
zakat, infaq, shodaqoh dan menyalurkannya kepada asnafnya menurut ketentuan
syariah dengan perkiraan pemanfaatan yang paling produktif dan paling
bermanfaat.
Ciri – Ciri Operasional Baitul Maal :
Visi dan misi sosial (non komersil).
a. Memiliki fungsi sebagai mediator antara
pembayar zakat (muzzaki) dan panerima zakat (mustahiq).
b. Tidak boleh mengambil profit ataupun
dari operasinya.
c. Pembiayaan operasional dapat diambil
dari bagian amil.
Ciri – Ciri Operasional
Baituttamwil :
Visi dan misi ekonomi (komersil).
a. Dijalankan dengan prinsip ekonomi
islam.
b. Memiliki fungsi sebagai modiator antara
anggota yang memiliki kelebihan dana dengan anggota yang kekurangan dana.
c. Pembiayaan operasional berasal dari
asset sendiri atau dana keuntungan (bagi hasil) dari pembiayaan usaha produktui
anggota.
I.
PRODUK YANG TERDAPAT DALAM BMT
pada sistem operasional bmt syariah, pemilik dana menanamkan
uangnya di bmt tidak dengan motif mendapatkan bunga, tetapi dalam rangka
mendapatkan keuntungan bagi hasil. produk penghimpunan dana lembaga keuangan
syariah adalah (himpunan fatwa DSN-MUI, 2003), yaitu : [11]
a. Giro
Wadiah
giro wadiah adalah produk simpanan yang bisa ditarik kapan saja.
dana nasabah dititipkan di bmt dan boleh dikelola. setiap saat nasabah berhak
mengambilnya dan berhak mendapatkan bonus dari keuntungan pemanfaatan dana giro
oleh bmt. besarnya bonus tidak ditetapkan di muka tetapi benar-benar merupakan
kebijaksanaan bmt. sungguhpun demikian nominalnya diupayakan sedemikian rupa
untuk senantiasa kompetitif (fatwa DSN-MUI no. 01/dsn-mui/iv/2000).
b. Tabungan Mudharabah
dana yang disimpan nasabah akan dikelola BMT, untuk memperoleh
keuntungan. keuntungan akan diberikan kepada nasabah berdasarkan kesepakatan
nasabah. nasabah bertindak sebagai shahibul mal dan lembaga keuangan syariah
bertindak sebagai mudharib(fatwa DSN-MUI no. 02/dsn-mui/iv/2000).
c. Deposito mudharabah
BMT bebas melakukan berbagai usaha yang tidak bertentangan
dengan syariah dan mengembangkannya. BMT bebas mengeola dana (mudharabah
mutaqah). BMT berfungsi sebagai mudharib sedangkan nasabah juga
shahibul maal. ada juga dana nasabah yang dititipkan untuk usaha tertentu.
nasabah memberi batasan penggunn dana untuk jenis dan tempat tertentu. jenis
ini disebut mudharabah muqayyadah.
Dan ada pula produk-produk lain yang terdapat dalam lembaga BMT, antara lain
1.Produk layanan simpanan :
a.
Simpanan Tarbiyah
Merupakan simpanan nasabah atau penabung bagi pelajar / mahasiwa yang dapat
diambil pada waktu tertentu untuk kebutuhan biaya pendidikan dan dijamin
keutuhannya.
b. Simpanan Hari raya
Merupakan simapanan nasabah atau penabung yang dijamin keutuhan nilainya
dan tabungan tersebut dapat diambil pada saat mrnjelang hari raya untuk
mempersiapkan kebutuhan hari raya. Pihak BMT melakukan bagui hasil yang di
hitung berdasarkan saldo rata-rata tiap bulan.
c. Simpanan
Aqiqah
Merupakan tabungan yang sengaja dipersiapkan untuk melaksanakan qurban pada
hari raya Idul adha atau pada penyembelihan aqiqah. Tabungan dapat diambil
pada saat akan melaksanakan qurban pada hari raya atau pada saat aqiqh.
Pihak BMT memberikan bagi hasil yang dihitung berdasarkan saldo rata-rata tiap
bulan.
2.Produk penyaluran dana
a. Pembiayaan Mudhorobah
Merupakan jenis pembiayan kerjasama antara BMT sebagai
shahibul maal dengan nasabah sebagai mudhorib dimana pihak BMT memberikan modal
kepada nasabah untuk dikelola sesuai dengan keahliannya. Pembiayaan mudhorobah
dilakukan dengan sistem bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati.
b. Pembiayaan
Musyarakah
Merupakan pembiayaan kerjasama modal antara BMT dengnan
nasabah dimana bagi hasil dihitung berdasarkan porsi modal penyertaan
dari masing-masing pihak yaitu BMT dan anggotsa.
c. Pembiayaan Murabahah
Merupakan pembiayaan jual beli barang pada harga asli dengan tambahan
keuntungan yang disepakati bersama. Dalam pembiayaan murobahah penjual harus
memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat
keuntungan sebagai margin dengan sistem pengembalian jatuh tempo.
d. Pembiayaan
Al- Ijarah
Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahann kepemilikan atas barang itu
sendiri.
e. Pembiayaan Bai al Istighna (Purchase by Order or Manufacture)
Merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang dimana dalam
kontrak ini , pembuat barang menerima pesanan dari pembeli lalu pembuat
barang berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut
spesifikasi yang disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir.
f. Pembiayaan Ar- Rahn
Merupakan suatu pembiayaan sistem gadai dengan menahan salah satu harta
milik nasabah atau peminjamsebabgai jaminan atas pinjaman yang diterimanya dan
barang tersebut memiliki nilai yang ekonomis.
g. Pembiayaan Qordul Hasan
Merupakan akad pembiayaan bagi anggota berupa pinjaman modal tanpa biaya yang
tidak dibebani dengan margin atau nisbah sehingga bersifat sosial bagi kaum
dhuafa yang prospektif unttuk dikembangkan menjadi usahawan yang mandiri.
Pinjaman qordul hasan ini berasal dari pengelolaan dana ZIS (zakat, Infak, dan
Shodaqoh).
J. Keunggulan
dan Kelemahan Antara BMT dengan Perbankan Konvesional
BMT sebagai
alternatif Bank-bank konvensional, memiliki keunggulan-keunggulan yang juga
merupakan perbedaan dan perbandingan jika dengan perbankan konvensional.
Disamping hal tersebut muncul juga kelemahan-kelemahan karena sebagai pemain
baru dalam dunia lembaga keuangan.
Keunggulan
:
1. BMT Islam memiliki dasar hukum
operasional yakni Al Qur’an dan Al Hadist. Sehingga dalam operasionalnya sesuai
dengan prinsip-prinsip dasar seperti diperintahkan oleh Allah SWT, juga nilai
dasar seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.
2. BMT Islam mendasarkan semua produk
dan operasinya pada prinsip-prinsip efisiensi, keadilan, dan kebersamaan.
3. Adanya kesamaan ikatan emosional
keagamaan yang kuat antara pemegang saham, pengelola, dan nasabah, sehingga
dapat dikembangkan kebersamaan dalam menghadapi resiko usaha dan membagi
keuntungan secara jujur dan adil.
4. Adanya keterikatan secara religi,
maka semua pihak yang terlibat dalam BMT Islam akan berusaha sebaik-baiknya
sebagai pengalaman ajaran agamanya sehingga berapa pun hasil yang diperoleh
diyakini membawa berkah.
5. Adanya fasilitas pembiayaan (Al
Mudharabah dan Al Musyarakah) yang tidak membebani nasabah sejak awal dengan
kewajiban membayar biaya secara tetap, hal ini memberikan kelonggaran
physichologis yang diperlukan nasabah untuk dapat berusaha secara tenang dan
bersungguh-sungguh.
6. Adanya fasilitas pembiayaan (Al
Murabahah dan Al Ba’i Bitsaman Ajil) yang lebih mengutamakan kelayakan usaha dari
pada jaminan (kolateral) sehingga siapa pun baik pengusaha ataupun bukan
mempunyai jaminan kesempatan yang luas untuk berusaha.
7. Tersedia pembiayaan (Qardu Hasan)
yang tidak membebani nasabah dengan biaya apapun, kecuali biaya yang
dipergunakan sendiri:seperti bea materai, biaya notaris, dan sebagainya. Dana
fasilitas ini diperoleh dari pengumpulan zakat, infak dan sadaqah, para amil
zakat yang masih mengendap.
8. Dengan diterapkannya sistem bagi
hasil sebagai pengganti bunga, maka tidak ada diskriminasi terhadap nasabah
yang didasarkan atas kemampuan ekonominya sehingga akseptabilitas BMT Islam
menjadi luas.
9. Dengan adanya sistem bagi hasil,
maka untuk kesehatan BMT yang bisa diketahui dari naik turunnya jumlah bagi
hasil yang diterima.
10.Dengan diterapkannya sistem bagi
hasil, maka persaingan antar BMT Islam berlaku wajar yang diperuntukkan oleh
keberhasilan dalam membina nasabah dengan profesionalisme dan pelayanan yang
baik.
Kelemahan
:
Kelemahan-kelemahan serta
permasalahan-permasalahan yang ada dalam BMT Islam (Warkum Sumitro, 1996)
adalah:
1. Dalam operasional BMT Islam,
pihak-pihak yang terlibat didasarkan pada ikatan emosional keagamaan yang sama,
sehingga antara pihak-pihak khususnya pengelola BMT dan BMT harus saling
percaya, bahwa mereka sama-sama beritikad baik dan jujur dalam bekerjasama. BMT
dengan sistem ini terlalu berprasangka baik kepada semua nasabah dan berasumsi
bahwa semua orang yang terlibat adalah jujur. Dengan demikian, BMT Islam rawan
terhadap mereka yang beritikad tidak baik sehingga diperlukan usaha tambahan
untuk mengawasi nasabah yang menerima pembiayaan dari BMT Islam karena tidak
dikenal bunga, denda keterlambatan dan sebagainya.
2. Sistem bagi hasil yang adil
memerlukan tingkat profesionalisme yang tinggi bagi pengelola BMT untuk membuat
penghitungan yang cermat dan terus-menerus.
3. Motivasi masyarakat muslim untuk
terlibat dalam aktivitas BMT Islam adalah emosi keagamaan, ini berarti tingkat
efektifitas keterlibatan masyarakat muslim dalam BMT Islam tergantung pada pola
pikir dan sikap masyarakat itus sendiri.
4. Semakin banyak umat Islam
memanfaatkan fasilitas yang disediakn BMT Islam, sementara belum tersedia
proyek-proyek yang bisa di biayai sebagai akibat kurangnya tenaga-tenaga
profesional yang siap pakai, maka BMT Islam akan menghadapi ”kelebihan
likuiditas”.
5. Salah satu misi BMT Islam yakni
mengentaskan kemiskinan yang sebagian besar kantong-kantong kemiskinan terdapat
di pedesaan.
K. Kesimpulan.
BMT (Baitul Maal wa
Tamwil) berasaskan pancasila dan UUD 1945 serta berlandaskan prinsip syariah
islam, keimanan, keterpaduan, kekeluargaan atau koperasi, kebersamaan,
kemandirian dan profesionalisme.
BMT menjalankan tugas sosialnya dengan
cara menghimpun dan membagikan dana masyarakat dalam bentuk zakat, infaq,
dan shodaqoh (ZIS) tanpa mengambil keuntungan.
Ciri khasnya meliputi
etos kerja bertindak proaktif (service excellence) dan menjemput bola kepada
calon anggota dan anggota; pengajian rutin secara berkala tentang keagamaan dan
kemudian tentang bisnis.
pada sistem operasional
bmt syariah, pemilik dana menanamkan uangnya di bmt tidak dengan motif
mendapatkan bunga, tetapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil
DAFTAR PUSTAKA
Heri Sudarsono, Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Cet. 2, Yogyakarta
Ekonisia, 2004
Makhalul Ilmi, Teori dan
Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah, Cet.1,Yogyakarta, UII
Muhammad Ridwan, Manajemen
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)
PINBUK, Pedoman
Cara Pembentukan BMT, (Jakarta, PT. Bina UsahaIndonesia, tt)
Press,2002 Muhammad
Ridwan, Manajemen Baitul Maal Watamwil, Yogyakarta, UII
Press, 2004
[2] Heri
Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,
Cet. 2, Yogyakarta Ekonisia, 2004, hal 96
[3] Makhalul Ilmi, Teori
dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah, Cet.1,Yogyakarta, UII
Press,2002 hal 64