PENGERTIAN
USHUL FIQIH
1.
Pengertian Ushul Fiqih
Fiqih secara etimologi “Pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengarahan
potensi akal”. Sedangkan secara terminologi fiqih merupakan bagian dari syari’ah
Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang
berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf)
dan diambil dari dalil yang terinci.
Ushul Fiqih yaitu ilmu pengetahuan
yang objeknya dalil hukum syara’ secara gelobal dengan seluk beluknya dan
metode pengaliannya..
2.
Perbedaan Ushul Fiqih dan Fiqih
Ushul Fiqih memandang dalil dari sisi penunjukan atas suatu ketentuan
hukum, sedangkan Fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya. Walau ada
titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil.
Dengan demikian, dapat dikatakan dalil sebagai pohon yang melahirkan buah,
sdangkan fikih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.
3.
Fungsi Ushul Fiqih
Ushul Fiqih bukanlah sebagai tujuan melaikan hanya sebagai sarana, fungsi
Ushul Fiqih :
1)
Memberikan pengertian dasar tentang
kaidah-kaidah metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum.
2)
Mengambarkan persyaratan yang harus
dimiliki seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara secara tepat,
sedang bagi orang awam supaya lebih mantap dalam mengkuti pendapat yang dikemukakan
oleh para mujtahid.
3)
Memberi bekal untuk menentukan hukum
melalui berbagai metode-metode yang dikembangkan oleh para mujtahid,
sehingga dapat memecahkan berbagai permasalahan baru.
4)
Memelihara agama dari penyimpangan
dan penyalahgunaan dalil.
5)
Menyusun kaidah-kaidah umum (asas
hukum) yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena
sosial yang terus berkembang di masyarakat.
6)
Mengetahui keunggulan dan kelemahan
para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan.
SEJARAH
PERTUMBUHAN
DAN
PERKEMBANGAN USHUL FIQIH
1.
Pembukaan Ushul Fiqih
Salah satu pendorong diperlukannya pembukaan Ushul
Fiqih adalah perkembangan wilayah islam yang semakin meluas, sehingga tidak
jarang menimbulkan berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya.
Para ulama islam sangat membutuhakn kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan
untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetpkan hukum.
Jika dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara
tentang Ushul Fiqih seblum dibukukan adalah para sahabat dan tabi’in.
Yang diperselisihkan adalah orang pertama yang mula-mula mengarang kitab Ushul
Fiqih, untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu teori-teori penulisanya.
Ada dua teori yang digunakan, yakni :
·
Merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah
bagi setiap bab dalam bab-bab fiqih dan menganalisisnya serta mengaplikasikan
masalah furu’ atas kaidah-kidahnya.
·
Merumuskan kaidah-kaidah yang dapat
menolong mujtahid untuk meng-istinbath, tanpa terkait oleh
pendapat atau pemahaman sejalan maupun yang bertentangan.
Jalaluddin As-syuti berkata :”disepakati bahwa Asy-Syafi’i adalah peletak
batu pertama pada ilmu Ushul Fiqih. Adapun Maliki hanya menunjukan
sebagian kaidah-kaidahnya, demikian ulama-ulama lain, seperti Abu Yusuf dan
Muhammad Al-Hasan (Al-Hawaji, II : 404). Dapat disimpulkan bahwa kitab
Al-Risalah merupakan kitab yang pertama-tama tersusun secara sempurna dalam
ilmu ushul fiqih.
2.
Tahaf-Tahaf Perkembangan Ushul Fiqih
Secara garis besar Perkembangan Ushul Fiqih dapat dibagi dalam tiga
tahapan, yaitu :
a) Tahap awal
(abad 3 H)
Di bawah pemerintahan Abbasyiah Wilayah islam semakin meluas ke bagian Timur.
Khalifah-khalifah yang berkuasa pada abad ini adalah: Al-Ma’mun (w.218 H),
Al-Mu’tashim (w. 227 H) Al-Wasiq (w. 232 H), dan Al-Mutawakkil (w. 247 H). Pada
masa inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan islam, yang dimulai
pada masa pemerintahan Khalifa Ar-Rasyid. Ditandai dengan timbulnya semangat
penerjemah dikalangan Ilmuan muslim. Buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan
dalam bahasa Arab dan kemudian diberikan penjelasan (syarah). Ilmu-ilmu
keagamaan juga berkembang dan semakin meluas pembahasannya. Hasil pemikiran itu
berhasil mengembangkan bidang fiqih, yang mendorong untuk disusunnya metode
berpikir fiqih yaitu Ushul Fiqih.
Pada abad ini lahirnya ulama-ulama besar yang
meletakan dasar berdirinya madzhab-madzhab fiqih, sehingga para pengikut
mereka semakin menunjukan perbedaan dalam mengungkapkan pemikiran Ushul
Fiqih dari para imamnya.
Perbedaan-perbedaan pendapat dan metode masing-masing
aliran semakin mendorong semangat pengkajian ilmiah dikalangan ulama abad 3 H
dan semangat ini berlanjut dan semakin berkembang pada abad 4 H.
b) Tahap
Perkembangan (Abad 4 H)
Pada abad ini merupakan permulaan kelemahan dinasti
Abbasyiah dalam bidang politik. Dinasti Abbasyiah terpecah menjadi
daulah-daulah kecil yang dipimpin oleh seorang sultan. Perkembangan ilmu
keislaman pada abad ini jauh lebih maju dari masa-masa sebelumnya. Karena
masing-masing penguasa ingin memajukan, memakmurkan dan menopang perkembangan
ilmu pengetahuan di negrinya.
Khusus dibidang pemikiran fiqih Islam abad ini
mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam.
Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan
larangan untuk melakukan perpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dapat
dikatakan taqlid, karena karena tiap-tiap pengikut tetap mengadakan
kegiatan ilmiah guna untuk menyempurnakan apa yang dirintis pendahulunya. Usaha
mereka antara lain :
1)
Memperjelas ‘illat-illat
hukum yang di-istinbath-kan oleh para imam mereka; mereka itu yang
disebut ‘ulama takhriz;
2)
Men-tarjih-kan
pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab, baik dari segi riwayat
dan dirayah;
3)
Setiap golongan mendukung madzhab-nya
sendiri dan men-tarjih-kan dalam berbagai masalah khilafiyah.
Akan tetapi, tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode
ini telah tertutup. Akibat yang ditimbulkan sebagai berikut :
1)
Kegiatan para ulama terbatas, mereka
cendrung men-syarah-kan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan
meringkasnya;
2)
Menhimpun maslah-masalah furu’
yang banyak dalam uraian yang singkat;
3)
Memperbanyak pengandaian-pengandaian
dalam beberapa masalah.
Kitab-kitab yang paling terkenal diantaranya :
1)
Kitab Ushul Al-kharkhi,
ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubadilah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham
Al-Kharkhi, (w. 340 H.).
2)
Kitab Al-Fushul Fi Al-Ushul,
ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar Ar-Razim yang dikenal dengan Al-Jashshasa
(305-370 H.).
3)
Kitab Bayan Kasf Al-Ahfaz,
ditulis oleh Abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ciri khas perkembangan Ushul Fiqih pada abad ini, yaitu munculnya
kitab-kitab Ushul Fiqih yang membahas masalah ushul fiqih secara
utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti
yang terjadi pada masa sebelumnya.
c)
Tahap Penyempurnaan (Abad 5-6 H.)
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai lahirnya
daulah-daulah kecil, membawa arti pada perkembangan peradaban Islam. Hal ini
disebabkan adanya perhatian lebih dar para pengusanya terhadap perkembangan
ilmu dan peradaban.
Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan
dibidang ilmu Ushul Fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan
perhatian khusus untuk mendalaminya ; antaralain Al-Baqilani, Al-Qadhi Abd.
Al-jabar, Abd. Al-Wahab Al-Bagdhdadi, dan lain-lain. Mereka lah pelopor
keilmuan islam pada zaman itu.
Kitab-kitab Ushul Fiqih yang ditulis pada zaman
ini, dismping mencerminkan adanya adanya kitab ushul fiqih pada tiap madzhab,
juga menunjukan adanya dua aliran ushul fiqih, yakni aliran Hanafiyah
dikenal sebagai aliran fuqaha dan aliran mutakalimin. Kitab-kitab Ushul
Fiqih yang paling penting antara lain :
a)
Kiitab Al-Mughni fi Al-Abwab
Al-Adl wa At-Tahwid, ditulis oleh Al-Qadhi Abd. Al-Jabbar (w. 415 H./1024
H.).
b)
Kitab Al-Mu’amad fi Al-Ushul
Fiqih, ditulis oleh Abu AL-Husain Al-Bashri (w. 436 H./1044 M.).
c)
Kitab Al-Iddaf fi Ushul Al-Fiqih,
ditulis oleh Abu Al-Qadhi Abu Muhammad Ya’la Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad
Ibnu Khalaf Al-Farra (w. 458/1065 M.).
d)
Kitab Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqih,
ditulis oleh Abu AL-Ma’ali Abd. Al-Malik Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf Al-Juaini
Imam Al-Haramain (w. 478 H./1094 M.).
e)
Kitab Al-Mustashfa min Ilm
Al-Ushul, ditulis oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.).
a.
Peran Ushul Fiqih Dalam Pengembangan
Fiqih Islam
Target yang hendak dicapai oleh ilmu Ushul Fiqih
ialah tercapainya kemampuan seseorang untuk mengetahui hukum syara’ yang
bersifat furu’ dan kemampuanya untuk menegtahui metode istinbath
hukum dari dalil dalilnya dengan jalan yang benar.
Target study fiqih bagi mujtahid ialah agar ia
mampu meng-istinbath hukum yang ia hadapi dan terhindar dari kekeliruan.
Bagi non-mujtahid yang mempelajari fiqih islam target nya ialah agar ia
dapat mengetahui metode ijtihad imam madzhab dalam meng-istinbath
hukum sehingga ia dapat men-tarjih dan men-takhrij pendapat imam madzhab
tersebut.
Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddamah berkata,
“Sesungguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syariah yang termulia, tertinggi
nilainya dan terbanyak kaidah nya.” Para ulama memandang ilmu ushul fiqih
sebagai ilmu dharuri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih.
b.
Aliran-Aliran Ushul Fiqih
Aliran pertama disebut aliran Syafi’iyah dan Jumhur
Mutakallimin (ahli kalam). Aliran ini mengemban Ushul Fiqih secara
teoritis murni, begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan
alasan yang kuat, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dam madzhab,
sehingga adakalanya sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak
sesuai. Pada kenyataannya pada kalangan syafi’iyah sendiri pernah terjadi
pertentangan.
Kitab setandar aliran ini antara lain : Ar-Risalah (Imam
Asy-Syafi’I) , Al-Mu’tamad (Abu Al-Husain Muhammad Ibnu A’li Al-Bashri),
Al-Burhan fi Ushul Fiqih (Imam Al-Haramain Al-Juwaini), Al-mankhul
min ta’liqat Al-Ushul, Shifa Al-Ghalil fi bayan asy-syabah wa Al-mukhil wa
Masalik At-ta’lil, Al-Mushfa fi ilmi Al-Ushul (ketiganya karya Imam Abu
Hamid Al-Gazali)
Aliran kedua dikenal dengan aliran Fuqaha yang dianut
oleh para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan madzhab fuqaha karena
dalam menyusun teorinya banyak dipengaruhi oleh furu’ yang ada dalam madzhab
mereka. Aliran ini berusaha menerapkan kaidah-kaidah yang mereka sususn
pada furu’. Jika sulit diterapkan mereka mengubah atau membuat kaidah
baru supaya bisa diterapkan.
Kitab standar aliran ini antara lain : Kitab
Al-Ushul (Imam Abu Hasan Al-Karkhi), Kitab Al-Ushul (Abu Bakar
Al-Jashshash), Ushul Al-Sarakhsi (Imam Al-Sarakhsi), Ta’sis An-Nazhar
(Imam Abu Zaid Al-Dabusi), dan Al-Kasyaf Al-Asrar (imam Al-Bazdawi).
OBJEK KAJIAN
USHUL FIQIH DAN
FIQIH
1.
Objek Kajian Ushul Fiqih
Objek bahasan Ushul Fiqh adalah cara-cara,
metode-metode, kaidah-kaidah untuk menggali hukum atau untuk mengeluarkan hukum
dari dalil-dalil syari’at (firman Allah dan sabda Rasull).
Menurut pendapat Imam Abu Hamid Al-Ghazali
(450 H-505 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah, membagi objek bahasan
Ushul Fiqh menjadi 4 (empat) bagian yaitu:
1)
Pembahasan tentang hukum
syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim,
mahkumfih, dan mahkum ‘laih;
2)
pembahasan tentang
sumber-sumber dan dalil-dalil hukum;
3)
pembahasan tentang cara
mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu; dan
4)
pembahasan ijtihad
2.
Objek Kajian Fikih
Tugas Ushul Fiqh untuk menemukan
sifat-sifat yang mendasar dari dalil-dalil syara’dan sifat-sifat
itu dirumuskan dalam bentuk dalil-dalil atau kaidah-kaidah secara global
(umum). Dalil-dalil yang secara global telah dirumuskan oleh para ahli Ushul
Fiqh ini pada gilirannya akan diterapkan oleh seorang mujtahid kepada
dalil-dalil juz’I (terinci) yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah. Dari aktivitas mujtahid dalam ijtihadnya itu akan membuahkan
hukum fikih yang langsung dikaitkan dengan perbuatan mukalaf. Jadi, yang
menjadi bahasan Fikih adalah menganalisis satu persatu dalil dalam Al-Qur’an
dan Sunnah yang berkaitan dengan hukum syara’ berhubungan dengan perbuatan
mukalaf, manggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Empat persoalan objek
pembahasan Fiqih:
1)
Hukum Syara’;
2)
Hakim dan
dalil-dalilnya;
3)
Perbuatan mukalaf, dan
4)
Mukalaf.
SUMBER HUKUM
ISLAM
YANG DISEPAKATI
DAN TIDAK DISEPAKATI
A.
Sumber-Sumber Hukum Yang Disepakati
1.
Al-quran
Alquran adalah kumpulan firman allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad
SAW dan dinukilkan dengan jalan mutawatir dan dengan bahasa arab.
a.
Pokok-pokok isi al-quran ada 5,
yaitu :
1)
Tauhid ( mengesakan tuhan )
2)
Ibadah
3)
Janji dan ancaman
4)
Jalan-jalan mencapai kebahagian
dunia maupun akhirat
5)
Riwayat dan cerita
b.
Hukum-hukum yang ada dalam al-quran
Hukum-hukum yang ada dalam al-quran, dapat dibagi dua yaitu :
1)
Hukum-hukum yang mengatur
perhubungan manusia dengan tuhannya ( allah ), yang disebut ibadah.
2)
Hukum-hukum yang mengatur pergaulan
manusia ( perhubungan sesama manusia ), yaitu yang disebut mu’amalat ( dalam
arti yang luas ).
c.
Dasar-dasar al-quran dalam membuat
hukum, dalam mengadakan perintah dan larangan, quran selalu berpedoman kepada
tiga hal, yaitu :
1)
Tidak memberatkan atau menyusahkan.
2)
Tidak memperbanyak tuntutan ( beban
).
3)
Berangsur-angsur dalam mentasyri’kan
hukum.
2.
Sunah
Sunah dari segi bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang
senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau
buruk.arti tersebut bisa ditemukan dalam sabda rasulullah SAW yang berbunyi :
من سن في الاسلام سنة حسنة فله
أجره وأجر من عمل بها من بعده
“ barang siapa
yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam islam, maka ia menerima pahalanya
dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya “.
Secara terminology, pengertian sunah:
1)
Menurut Ilmu fiqh, pengertian sunah
menurut ahli fiqh hampir sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli
ushul fiqih. Akan tetapi, istilah sunah dalam fiqih juga dimaksudkan sebagai
salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan
pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.
2)
Menurut Ilmu ushul fiqh, menurut
ulama ahli ushul fiqih sunah adalah segala yang diriwayatkan dari nabi SAW
berupa perbuatan, perkataan dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
3)
Menurut Ilmu hadits, menurut para
ahli hadits sunah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad
SAW baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
B.
Sumber-Sumber Hukum Yang Tidak
Disepakati
1.
Ijma’
Ijma’ menurut bahasa adalah bermaksud atau berniat,
dan kesepakatan terhadap sesuatu. Sedangkan Ijma’ menurut istilah adalah
kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada sesuatu masa atas sesuatu hukum
syara’.
a.
Macam-macam ijma’
1)
Ijma’ umat dibagi menjadi dua, yaitu
:
·
Ijma’ qauli adalah suatu ijma’
dimana para ahli ijtihad mengeluarkan pendapatnya baik dengan lisan maupun
tulisan yang menerangan persetujuan atas pendapat mujtahid lain dimasanya.
Ijma’ ini juga disebut ijma’ bayani atau ijma’ qat’I.
·
Ijma’ sukuti adalah suatu ijma’
dimana para ahli ijtihad diam, tidak mengatakan pendapatnya. Dan diam di sini
dianggap menyetujui.
2)
Ijma’ sahabat, yaitu ijma yang
dikeluarkan oleh para sahabat.
3)
Ijma’ khalifah yang empat
4)
Ijma’ Abu Bakar dan Umar
5)
Ijma’ ulama Madinah
6)
Ijma’ ulama Kufah dan Basrah
7)
Ijma’ itrah (ahl al-bait atau kaum
Syi’ah
2.
Qiyas
Qiyas menurut bahasa berasal dari kata “qasa,
yaqisu, qaisan” artinya mengukur dan
ukuran. Sedangkan qiyas menurut istilah adalah menetapkan hukum sesuatu
perbuatan yang belum ada ketentuannya berdasarkan sesuatu yang sudah ada
ketentuan hukumnya.
a.
Rukun qiyas
1)
Ashl (pokok), yaitu
yang menjadi ukuran (maqis-alaih) atau tempat menyerupakan (al-musyabbah
bih).
2)
Far’un (cabang), yaitu
yang diukur (maqis) atau yang diserupakan (al-musyabbah).
3)
Illat, yaitu sebab
yang menggabungkan pokok dengan cabangnya.
4)
Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi
cabang dan sama dengan yang terdapat pada pokok.
b.
Pembagian qiyas
1)
Qiyas illat, adalah
mempersamakan soal cabang dengan soal pokok karena persamaan illatnya.
2)
Qiyas dalalah, adalah suatu
qiyas dimana illat tidak disebutkan. Yang disebutkan hanyalah
hal-hal yang menunjukan adanya illat tersebut (dalil illat).
3)
Qiyas syibih,
adalah qiyas dimana cabang bisa diqiyaskan kepada dua pokok, maka cabang
tersebut diqiyaskan dengan pokok yang banyak persamaannya.
3.
Istishhab
a.
Pengertian
Istishhab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan
perkawinan. Sedangkan menurut ulama ushul menetapkan sesuatu menurut keadaan
sebelumnya sampai mendapatkan dalil yang menunjukan pada perubahan keadaan,
atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal
menurut keadaannya sampai menunjukan dalil yang menunjukan perubahannya.
b.
Kehujahan Istishab
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan
tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa
yang dihadapinya. Istishab juga telah dijadikan dasar bagi perinsip-prinsip
syariat. Istishab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalilah yang
tetap menetapkan hukum tersebut.
c.
Pendapat Ulama tentang Istishab
Ulama hanafiyah menetapkan bahwa istishab merupakan
hujjah untuk mempertahankan apa-apa yang dimaksud oleh mereka.
4.
Istihsan
a.
Pengertian
Menurut bahasa, istihsan berarti
menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh,
ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada
suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara”.
b.
Kehujjahan Isthisan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam
bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya
Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri,
karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya
berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang
jelas, karena adanya beberapa factor yang menenangkannya yang membuat hati
mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya
adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum)
dan ini juga yang disebut dengan segi Isthisan”.
5.
Mashlahah mursalah
a.
Pengertian
Menurut bahasa al-Maslahah al-Mursalah adalah
suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak
ada pembatalnya. Sedangkam menurut istilah Asy-Syatibi menurut al-Maslahah al-Mursalah adalah setiap perinsip syara’ yang tidak
disertai bukti nash khusus, namun sesuai dengan tindakan syara’ serta
maknanya diambil dari dalil-dalil syara’.
b.
Objek al-Maslahah al-Mursalah
al-Maslahah al-Mursalah itu difokuskan pada lapangan yang tidak
terdapat pada nash, baik dalam al-Quran maupun As-Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada
penguatnya melalui suatu i’tibar.
c.
Syarat-syarat mashlahah mursalah
1)
Hanya berlaku dalam muamalat.
2)
Tidak berlawanan dengan maksud
syariat atau salah satu dalilnya yang sudah dikenal.
3)
Mashlahah adalah karena kepentingan
yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.
6.
Urf
a.
Pengertian
Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan,
ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal oleh manusia dan telah
menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.
b.
Macam-macam ‘urf
·
‘urf sahih adalah sesuatu yang telah
saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’
·
‘urf fasid adalah sesuatu
yang telah saling dikenal oleh manusia, tetapi bertentangan dengan syara’, atau
membatalkan yang wajib menghalalkan yang haram.
c.
Kehujjahan ’urf
Para ulama berpendapat bahwa urf
yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para
hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan.
Ulama Malikiyah banyak menetapkan
hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa
yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan
tidak bertentangan dengan syara’.
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul
Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat
Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima
, hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum
nash.
7.
Dzari’ah
a.
Pengertian
Dzari’ah menurut bahasa adalah jalan menuju sesuatu.
Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa
pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi, pendapat
tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya ibnu qayyim
aj-jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu
yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat
kalau dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yaitu sad adz-dzari’ah ( yang dilarang
), dan fath adz-dzari’ah ( yang dianjurkan ).
b.
Sadd Adz-Dzari’ah
Sadd Adz-Dzari’ah adalah melaksanakan suatu pekerjaan
yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).
a.
Macam-macam dzari’ah
1)
Dzari’ah dari segi kualitas
kemafsadatan
2)
Dzari’ah dari segi kemafsadatan yang
ditimbulkan
8.
Madzhab shahaby
a.
Pengertian
Madzhab shahaby (pendapat sahabat) tidak menjadi
hujjah atas sahabat lainnya. Hal ini sudah disepakati, yang masih
diperselisihkan ialah apakah pendapat sahabat bisa menjadi hujjah atas tabi’in
dan orang-orang yang sesudah mereka. Dalam hal itu ada tiga pendapat.
Pendapat pertama :
sahabat tidak menjadi hujjah sama sekali.
Demikianlah pendapat jumhur. Perkataan seseorang mujtahid bukanlah suatu dalil
yang dapat berdiri sendiri.
Pendapat kedua :
Pendapat sahabat menjadi hujjah dan
didahulukan daripada qiyas. Demikianlah pendapat malik, golongan hanfiyah dan
syafi’iyah. Bahkan ahmad bin hambali mendahulukan pendapat sahabat daripada
hadits mursal dan hadits dha’if.
Pendapat ketiga :
Pendapat sahabat menjadi hujjah
apabila dikuatkan dengan qiyas atau tidak berlawanan dengan qiyas. Jadi pendapat
sahabat tersebut didahulukan daripada qiyas, yang tidak disertai pendapat
sahabat.
AMM DAN KHASH
A. Pengertian ‘Amm
Menurut etimologi adalah : شُمُوْلُ أَمْرٍ لِمُتَعَدِّدٍ
artinya : mencakup sesuatu yang berbilang-bilang (tidak terbatas). Sedangkan
menurut terminologi lafazh ‘amm adalah lafazh yang menunjukan satu makna
yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
B. Dilalah lafazh
‘Amm
Para ulama sepakat bahwa lafazh ‘amm yang disertai qarinah
(indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah.
Mereka pun sepakat bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang
khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat di sini ialah lafazh ‘amm yang
muthlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya
takhsis, atau tetap berlaku umum mencakup satuan-satuannya.
Menurut Jumhur Ulama, (Maliki, Syafi’iyyah, dan Hanabilah), dilalah ‘amm
adalah zhanni. Mereka beralasan, dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah
zahir, yang mempunyai kemungkinan di-takhsis. Dan kemungkinan ini
pada lafazh ‘amm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak
dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i.
C. Pengertian Khash
Menurut Al-Bazdawi, khash adalah: setiap lafazh yang
dipaksakan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).
D. Hukum Lafazh Khash
Apabila lafazh khash dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa
batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq,
selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafazh itu
dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib
bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang
memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafazh itu
dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa
hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah
(indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.
E. Perbedaan
Pendapat Akibat Keqath’ian Dilalah Khash
Para ulama sepakat bahwa dilalah lafazh khash adalah qath’i. namun,
mereka berbeda pendapat dalam sifat ke-qath’i-annya itu, apakah lafazh
khash yang dipandang qath’i dilalah-nya itu sudah jelas
dengan sendirinya, sehingga tidak mempunyai kemungkinan penjelasan lain atau
perubahan makna, ataukah sekalipun lafazh khash itu qath’i dilalah-nya,
tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.
F. Macam-Macam
Lafadz Khas
Lafazh Khash itu bentuknya banyak, kadang-kadang berbentuk muthlaq
tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-kadang
berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang-kadang
berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy
(larangan). Dengan demikian, macam-macam lafazh khash mencakup: muthlaq,
muqayyad, amr, dan nahyi.
HUKKUM SYARI’AT
HUKUM TAKLIFI
DAN WADH’I
A. Hukum Syariat
Hukum menurut etimologi, hukum berarti man’u, yakni ‘mencegah’ dan
hukum juga berarti qadha’ yang memiliki arti ‘putusan’. Sedangkan
menurut istilah ahli usul fikih, hukum adalah khitab atau perintah Allah SWT,
yang menuntut mukalaf (orang yang sesudah balig dan berakal sehat) untuk
memilih antara mengerjakan dan tidak mengerjakan, atau menjadikan sesuatu
sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya yang lain, sah, batal,
rakhsah (kemudahan), dan azimah.
Sedangkan perbuatan yang dituntut itu disebut wajib, sunnah (mandub),
haram, makruh, dan mubah. Maksud sumber hukum adalah segala sesuatu yang
melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan, yang bersifat
mengikat, yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata.
Dengan demikian sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar,
acuan, atau pedoman syariat Islam.
Pembahasan tentang hukum syara’ adalah
salah satu dari beberapa objek kajian ushul fiqih. Bahkan tujuan utama dari
studi ushul fiqih adalah bagaimana menyimpulkan hukum syara’ dari
sumber-sumbernya.
B. Pembagian
Hukum Syara
1. Hukum taklifi
Hukum taklifi adalah tuntutan
Allah yang berkaitan dengan perintah untuk membuat atau perintah untuk
meninggalkan suatu perbuatan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqih adalah
ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulnya yang berhubungan langsung dengan perbuatan
orang mukallaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan,
anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih
untuk berbuat atau tidak berbuat.
Bentuk- bentuk hukum taklifi :
a.
Ijab yaitu tuntutan secara pasti dan syar’i untuk
dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang
meninggalkannya, dikenai hukuman.
b.
Nadb yaitu tuntutan
untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti.
Seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya, karena orang yang
meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu
disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb,
c.
Haram/tahrim adalah suatu
perbuatan yang diperintahkan untuk ditinggalkan yang disertai dengan ancaman
bagi orang yang menyalahinya.
d.
Karahah adalah sesuatu
yang dituntut syar’i untuk tidak dikerjakan oleh mukallaf dengan tuntutan yang
tidak pasti, seperti jika bentuk tuntutan itu sendiri menunjukkan ketidak
pastian. Seperti nash yang menyatakan, “Allah memakruhkan hal ini bagi kalian,”
atau sesuatu itu dilarang dan larangan itu bersamaan dengan sesuatu yang
menunjukkan bahwa larangan itu bermakna makruh, bukan haram.
e.
Ibahah yaitu khithab
Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat. Akibat dari
khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih
itu disebut mubah.
Sedangkan menurut ulama fikih perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum
yaitu orang yang sudah balig dan berakal sehat) itu jika ditinjau dari syariat
dibagi menjadi menjadi lima macam, yaitu:
a)
Fardu (wajib) yaitu perbuatan yang
apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan akan
mendapat hukuman (berdosa). Perbuatan wajib ditinjau dari segi orang yang
melakukannya dibagi menjadi dua, yaitu:
·
Fardu ‘ain: perbuatan yang
harus dikerjakan oleh setiap mukallaf. Contoh : salat lima waktu.
·
Fardu kifayyah: perbuatan
yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, maka
anggota-anggota masyarakat lainnya tidak dikenai kewajiban lagi. Namun, apabila
perbuatan yang hukumnya fardu kifayyah itu, tidak dikerjakan oleh seorang pun
dari anggota masyarakat, maka seluruh anggota masyarakat dianggap
berdosa. Contohnya: memandikan, mengafani, mensalatkan dan menguburkan
jenazah seorang muslim, membangun mesjid dan rumah sakit.
b)
Sunnah (mandub), yaitu suatu
perbuatan yang apabila dikerjakan, pelakunya akan mendapat pahala, tetapi
apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Perbuatan sunnah dibagi dua:
·
Sunnah ‘ain: perbuatan yang
dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap individu. Contoh: salat sunnah
rawatib.
·
Sunnah kifayyah: perbuatan
yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh salah seorang (beberapa orang dari
golongan masyarakat. Contoh: mendoakan muslim/muslimah dan memberi salam.
c)
Haram yaitu perbuatan yang apabila
dikerjakan pelakunya dianggap berdosa dan akan mendapat siksa, tetapi apabila
ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala. Contoh: berzina, mencuri, membunuh.
d)
Makruh, yaitu perbuatan yang apabila
dikerjakan pelakunya tidak akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan
maka pelakunya akan mendapat pahala. Contoh: meninggalkan salat Dhuha.
e)
Mubah, yaitu perbuatan yang boleh
dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Contoh: usaha-usaha yang halal melebihi
kebutuhan pokoknya dan memilih warna pakaian penutup auratnya.
2.Hukum Wad’i
Hukum Wad’I adalah perintah
Allah yang berkaitan dengan penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau
penghalang bagi yang lain. Kedudukan hukum wad’i sama pentingnya hukum taklifi,
karena hukum taklifi sendiri baru akan mempunyai pengaruh, menurut syara’.
Pembagian hukum wad’I :
a.
Sebab adalah sesuatu
yang oleh syar’I dijadikan sebagi tanda atas suatu akibat dan hubungan
adanya akibat dengan sebab serta tidak adanya akibat karena tidak adanya sebab.
- Syarat secara etimologi syarat berarti alamah (pertanda). Secara terminology, para ulama ushul fiqih merumuskannya dengan sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri yang ketiadaannya hukumpun tidak ada.
- Mani’ secara etimologi, mani’ berarti al-kaff’an al-syai’(berhenti dari sesuatu), yang dalam bahasa Indonesia berarti “halangan”. Secara terminology, para ulama ushul fiqih merumuskannya dengan sifat zhahir yang dapat diukur yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau ketiadaan sebab.
- Sah, sah berasal dari kata al-sihhat (tidak sakit). Secara istilah, sah dapat didefinisikan sebagai perbuatan hukum yang rukun dan syaratnya terpenuhi, baik perbuatan yang termasuk wilayah ibadah maupun mu’amalah.
- Fasad adalah perbuatan hukum yang rukun dan syarat sahnya terpenuhi, tetapi syarat penyempurnanya diabaikan.
- Batal, secara bahasa, sah berasal dari kata al-sihhat (tidak sakit). Secara istilah, sah dapat didefinisikan sebagai perbuatan hukum yang rukun dan syaratnya terpenuhi, baik perbuatan yang ternasuk wilayah ibadah maupun mu’amalah.
MAHKUM FIH DAN
MAHKUM ALAIH
A.
Pengertian Mahkum Fih (Objek Hukum)
Menurut ulama
Ushul fiqih mahkum fih adalah obyek hukum, yaitu perbuatan seorang
mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Allah dan Rosul-Nya), baik
yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih
suatu pekerjaan; dan yang bersipat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah,
sah serta batal (Al-Bardisi: II: 148). Para ulama pun sepakat bahwa seluruh
perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf dan terhadap
perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum.
B.
Syarat –syarat mahkum fih
a)
Mukallaf harus mengetahui perbuatan
yang akan di lakukan..
b)
Mukallaf harus mengetahui sumber
taklif.
c)
Perbuatan harus mungkin untuk
dilaksanakan atau ditinggalkan, berkait dengan hal ini terdapat dengan beberapa
syatat yaitu:
1)
tidak syah suatu tuntutan yang
dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan.
2)
tidak syah hukumnya seseorang
melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama orang lain.
3)
tidak sah suatu tuntutan yang
berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
4)
tercapaianya syarat taklif tersebut,
seperti iman dalam masalah ibadah,suci dalam masalah sholat.
C. Mahkum ‘Alaih
Menurutulama
ushul fiqih yang di maksud mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang
yang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT. yang di sebut mukallaf. Dalam arti
bahasa yaitu yang di bebani hukum, sedangkan dalam istilah mukallaf sering di
sebut subjek hukum.
D. Dasar Taklif
Orang yang
dikenai taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk
mengerjakan tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang bisa di bebani hukum
apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif. Maka orang
yang belum berakal di anggap tidak bisa memahapi taklif dari syari’(Allah
dan Rosulnya).
a)
Syarat syarat taklif ada 2 yaitu:
·
Orang itu telah mampu memahami khitob
syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al qur’an dan sunnah baik
langsung maupun melalui orang lain.
·
Seseorang harus mampu dalam
bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut Ahliyyah, maka seseorang
yang belum mampu bertindak hukum atau belum balighnya seseorang tidak dikenakan
tuntutan syara’.
b)
Pengertian Ahliyyah, secara harfiyyah ahliyyah adalah
kecakapan menangani sesuatu urusan. Sedangkan secara terminologi adalah suatu
sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk
menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’. Pembagian ahliyyah:
·
Ahliyyah ada’ yaitu kecakapan
bertindak hukum bagi seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung
jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif.
·
Ahliyyah Al-wajib yaitu sifat
kecakapan seseorang untuk menerima hak hak yang menjadi haknya,tetapi belum
mampu untuk di bebani seluruh kewajiban.
c)
Halangan ahliyyah
Seseorang dalam
bertindak hukum di lihat dari segi akal, tetapi yang namanya akal kadang
berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum.
Seseorang kecakapannya bisa berubah karena di sebabkan oleh hal hal berikut:
·
Awaridh samawiyyah yaitu halangan
yang datangnya dari Allah bukan di sebabkan oleh manusia.
·
Al awaridh al muktasabah yaitu
halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia.
MUTLAQ DAN
MUQAYYAD
A.
Pengertian Mutlaq
Mutlaq secara bahasa artinya tidak terikat, kebalikan muqayyad.
Secara istilah para ulama ushul memberikan berbagai pengertian, namun pada
intinya mutlaq ialah suatu lafazh yang menunjukan hakikat sesuatu
tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.
B.
Pengertian Muqayyad
Muqayyad secara bahasa artinya
sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Sedangkan menurut
istilah para ulama ushul fiqih muqayyad adalah suatu lafazh yang
menunjukan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang
mempersempit keluasan artinya.
C.
Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad
·
Suatu lafazh dipakai dengan
mutlaq pada suatu nash, sedangkan dengan nash lain digunakan dengan
muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab
hukum.
·
Lafazh mutlaq dan muqayyad
berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
·
Lafazh mutlaq dan muqayyad
yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab
hukumnya.
·
Mutlaq dan muqayyad
berbeda dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
D.
Hukum Lafal Mutlaq Dan Muqayyad
1.
Sebab dan hukum sama, maka Muqayyad
menjadi penjelasan Mutlaq.
2.
Sebab dan hukum berbeda, maka Muqayyad
tidak menjadi penjelasan Mutlaq
3.
Berbeda hukum tapi sebabnya sama,
maka Muqayyad dan Mutlaq berdiri sendiri
E.
Hal-Hal Yang Dipermasalahkan Dalam
Mutlaq Dan Muqayyad
1.
Ke-muthlaq-an dan
kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum.
2.
Mutlaq dan muqayyad
terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya berbeda.
MANTUQ DAN
MAFHUM
A.
Pengertian Mantuq
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang di ucapkan
(tersurat). Menurut bahasa, manthuq
artinya ucapan atau yang diucapkan. Sedangkan menurut istilah, manthuq adalah apa yang ditunjukan oleh
lafadz tentang apa yang dibicarakan oleh syari’. Dapat dikatakan bahwa manthuq adalah lafadz yang mengandung
arti apa adanya. Mantuq dibagi menjadi 2 yaitu :
·
Nash yaitu suatu
perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi.
·
Zahir yatiu suatu
perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan
menghendakinya kepada penta’wilan.
B.
Pengertian Mafhum
Mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti
dibalik mantuq (tersirat). Sedangkan menurut bahasa, artinya pemahaman
atau apa yang dipahami. Adapun menurut istilah, mafhum adalah apa yang
ditunjukan oleh lafadz tentang apa yang tidak dibicarakan. Jelasnya mafhum adalah lafadz yang mengandung
arti di luar makna yang sebenarnya. Mafhum dibagi menjadi 2 yaitu :
1.
Mafhum muafakoh yaitu apabila
hukum yang dipahamkan sama dengan hukum
yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muafakoh dibagi
menjadi 2 yaitu :
·
Fahwal kitab yakni
yang mana kadar mafhumnya lebih tinggi dari mantuqnya. Misalnya memukul orang tua
lebih-lebih tidak boleh hukumnya.
·
Lahna kitab adalah mafhum
yang mana kadar mafhumnya sama dengan qadar mantuq. Misalnya
membakar harta anak yatim.
2.
Mafhum mukhalafah adalah apabila
yang dipahamkan berbeda hukumnya dengan apa yang diucapkan, baik dalam isbat
maupun nafi. Jadi yang dipahamkan selalu kebalikan hukum dari bunyi
lafadz yang diucapkan.
Syarat-syarat mafhum mukhalafah:
a.
Mantuqnya tidak menentang atau
bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
b.
Mantuqnya tidak dimaksudkan untuk
imtinan (mengenang budi).
c.
Mantuqnya tidak dimaksudkan untuk
mengagungkan.
Kehujjahan Dalil Mafhum, menurut jumhur ushuliyah, mafhum mukhalafah dapat dijadikan
sebagai hujjah syara’. Alasannya antara lain :
·
Berdasarkan logika, setiap syarat
atau sifat tidak mungkin dicantumkan tanpa tujuan dan sebab. Sebabnya itu tidak
lain adalah untuk qayyid
(pembatasan) hukum selama tidak ada dalil yang menunjukan bahwa
dicantumkannya suatu sifat itu untuk targib,
tarhib, dan tanfir.
·
Sikap rasulullah yang tidak
menyalahkan umar bin khatab dalam memahami mafhum mukhalafah dari ayat
101 an-nisa. Namun, rasulullah
menjelaskan bahwa qasar sholat
dalam perjalanan dibolehkan sekalipun dalam keadaan aman.
MUJMAL DAN
MUBAYYAN
A.
Pengertian
1.
Mujmal secara
bahasa mubham (yang tidak diketahui) dan yang terkumpul. Sedangkan
menurut istilah suatu perkara yang belum jelas maksudnya dan untuk
mengetahuinya perlu penjelasan dari yang lainnya. Ketidakjelasan tersebut
disebut ijmal. Ijmal bisa terjadi dalam kata-kata tunggal atau
jumlah kalimat, yaitu susunan kata-kata atau tarkib. Dalam kata-kata tunggal ijmal
disebabkan oleh:
a.
Tasrif
kata atau pengambilannya, seperti qaala dari qaulun (perkataan) atau qailulah
(tidur siang).
b.
Satu lafazh untuk
menunjukan beberapa arti (musytarak).
c.
Lafazh
yang digunakan untuk menunjukan istilah syara’ yang tertentu, seperti lafazh,
shalat, zakat, puasa, dll.
2.
Mubayyan adalah suatu
perkataan yang terang dan jelas maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari
lainnya. Kejelasan tersebut adakalanya dari:
a)
Manthuq-nya, yaitu
·
Nashnya
·
Zhahir
·
Lafazh umum
b)
Mafhum-nya, yaitu:
·
Fahwal khitab
·
Lahnul khitab
·
Dalilul khitab
AMR DAN NAHI
A. Amr
(Perintah)
1.
Pengertian
Amr menurut jumhur ulama
Ushul, definisi amr adalah lafazh yang menunjukan tuntutan dari atasan
kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Definisi diatas tidak
hanya ditunjukan pada lafazh yang memakai sighat amr, tetapi ditunjukan
pula pada semua kalimat yang mengandung perintah, karena kalimat perintah
terkadang menggunakan kalimat majazi(samar).
2.
Bentuk-Bentuk Amr Dan Hakikatnya
Amr itu digunakan dalam berbagai macam
arti. Menurut Al-Amidi mnyebutkan sebanyak 15 makna, sedangkan Al-mahalli
menyebutkan sebanyak 26 makna.
Menurut jumhur ulama, amr secara hakikat
menunjukan wajib dan tidak bisa berpaling pada arti lain. Kecuali bila ada qarinah.
Madzhab Abu Hasyim dan sekelompok ulama
mutakallimin menyatakan bahwa hakikat amr adalah nadb.
Amr itu muasytarak
antara wajib dan nadb, pendapat ini dipengaruhi oleh Abu Mansur
Al-Maturidi.
Qadi Abu Bakar, Al-Ghazali, dll.,
menyatakan bahwa Amr itu maknanya bergantung pada dalil yang menunjukan
maksudnya.
3.
Keadaan Amr Bila Tidak Disertai Qarinah
Hazm berpendapat bahwa amr dalam
Al- quran, sungguhpun disertai qarinah yang menunjukan wajib, kecuali
ada nash lain atau ijma yang memalingkan pengertian amr
dari wakib. Sedangkan jumur ulama bahwa tidak ada qarinah
menunjukan wujub. Sebaliknya, adanya suatu qarinah sudah cukup
mengubah hakikat arti amr. Dari kedua sikap ulama diatas ada dampak luas
pada penetapanhukum.
4.
Perintah Setelah Adanya Kejadian
Para ulama telah sepakat tentang amr terhadap
sesuatu dari yang tidak ada sebelumnya. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya,
para ulam terbagi pada tiga golongan:
a.
Menunjukan mubah, karena
amr yang belum ada sebelumnya secara bahasa juga menunjukan wajib.
b.
Menunjukan wajib, karena
suatu kalimat yang menunjukan kata amr itu menunjukan wajib.
c.
Perintah setelah adanya kejadian
telah menghilangkan kejadian tersebut.
d.
Amr tidak
menuntut dilaksanakan terus menerus.
Amr
tidak menuntut untuk dilaksanakan secara langsung atau ditunda-tunda, namun berdasarkan
ketentuan-ketentuan:
·
Pelaksanaan segera atau
menunda-nunda adalah tambahan dari shigat amr yang mutlaq menurut
bahasa.
·
Sesungguhnya yang
ditiuntut oleh amr itu pelaksanaannya, bukan dilihat dari
pelaksannaannya secara langsung atau ditunda-tunda.
·
Jika amr diiringi
oleh qarinah yang menuntut untuk dilasanakan secara langsung, maka harus
dilaksanakan secara langsung berdasarkan ijma’.
·
Bila amr dibatasi
oleh waktu maka habislah perintah tersebut bila havis waktunya, seperti
ibadah puasa.
·
Bila amr itu
memerlukan pelaksanaan secara langsung maka harus dilaksanakan secara langsung.
·
Bersegera dalam
melaksanakan amr itu sunah.
B. Nahyi
(Larangan).
1. Pengertian
Menurut ulama ushul nahyi adalah
lafazh yang menunjukan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang harus
dikerjakan) dari atas kepada bawahan. Nahyi itu seperti juga amr
dapat digunakan dalam berbagai arti.
2. Makna
Shighat Nahyi
Hakikat dalalah nahyi adalah untuk
menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih makna, kecuali bila ada suatu
qarinah. Perbedaan pendapat mengenai hakikat tahrim, karahah,
atau keduanya:
a.
Hakikatnya itu untuk tahrim, bukan karahah, kecuali
dengan qarinah.
b.
Nahyi yang tidak
disertai qarinah menunjukan karahah.
c.
Musytarak antara tahrim dan karahah,
baik isytirak lafazhi maupun isytarak maknawi.
d.
Hakikat tuntutan nahyi itu tasawuf.
3. Nahyi Menuntut Untuk
Meninggalkan Secara Langsung
Sesungguhnya nahyi itu menunjukan untuk
meninggalkan secara langsung dan terus menerus, karena pelaksanaannya
terus-menerus dan langsung termasuk dilalah nahyi. Hal itu merupakan ijma
dari ulama, masa sahabat dan tabi’in.
4. Kaitan Nahyi
Dengan Fasad dan Buthlan
Dua hal penting yang berkaitan dengan masalah nahyi,
yaitu:
a.
Ihwal nahyi, hal ihwal
nahyi dapat dikelompokan pada empat macam:
· Nahyi itu berada
secara mutlaq, yakni tanpa ada qarinah yang menunjukan sesuatu
yang dilarang,
· Perbuatan
indrawi: suatu perbuatan yang dapat diketahui secara indrawi, yang wujudnya
tidak bergantung pada syara’. Sedangkan tindakan syara’: segala
perbuatan syara’ yang bergantung pada syara’.
· Nahyi itu kembali
pada dzatiyah perbuata,.
· Nahyi melekat pada
suatu yang dilarang, bukan pada pokoknya.
· Nahyi kembali pada
sifat yang berkaitan dengan suatu perbuatan, tetapi perbuatan itu bisa terpisah
dari perbuatan yang lain.
b.
Pengertian sah, batal, dan fasad
Sah dalam ibadah ialah sesuatu
perbuatan itu telah gugur karena telah digunakan. Batal dalam ibadah ialah
tidak gugurnya suatu perbuatan yang diwajibkan. Adapun arti fasad menurut
jumhur sama dengan batal.