Rabu, 12 Maret 2014

Ushul Fiqih



PENGERTIAN USHUL FIQIH
1.    Pengertian Ushul Fiqih
Fiqih secara etimologi “Pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengarahan potensi akal”. Sedangkan secara terminologi fiqih merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci.
 Ushul Fiqih yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum syara’ secara gelobal dengan seluk beluknya dan metode pengaliannya..
2.    Perbedaan Ushul Fiqih dan Fiqih
Ushul Fiqih memandang dalil dari sisi penunjukan atas suatu ketentuan hukum, sedangkan Fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya. Walau ada titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil.
Dengan demikian, dapat dikatakan dalil sebagai pohon yang melahirkan buah, sdangkan fikih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.
3.    Fungsi Ushul Fiqih
Ushul Fiqih bukanlah sebagai tujuan melaikan hanya sebagai sarana, fungsi Ushul Fiqih :
1)        Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum.
2)        Mengambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara secara tepat, sedang bagi orang awam supaya lebih mantap dalam mengkuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid.
3)        Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode-metode yang dikembangkan oleh para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai permasalahan baru.
4)        Memelihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil.
5)        Menyusun kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di masyarakat.
6)        Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan.
SEJARAH PERTUMBUHAN
DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQIH
1.        Pembukaan Ushul Fiqih
Salah satu pendorong diperlukannya pembukaan Ushul Fiqih adalah perkembangan wilayah islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Para ulama islam sangat membutuhakn kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetpkan hukum.
Jika dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang Ushul Fiqih seblum dibukukan adalah para sahabat dan tabi’in. Yang diperselisihkan adalah orang pertama yang mula-mula mengarang kitab Ushul Fiqih, untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu teori-teori penulisanya. Ada dua teori yang digunakan, yakni :
·        Merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab-bab fiqih dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kidahnya.
·        Merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong mujtahid untuk meng-istinbath, tanpa terkait oleh pendapat atau pemahaman sejalan maupun yang bertentangan.
Jalaluddin As-syuti berkata :”disepakati bahwa Asy-Syafi’i adalah peletak batu pertama pada ilmu Ushul Fiqih. Adapun Maliki hanya menunjukan sebagian kaidah-kaidahnya, demikian ulama-ulama lain, seperti Abu Yusuf dan Muhammad Al-Hasan (Al-Hawaji, II : 404). Dapat disimpulkan bahwa kitab Al-Risalah merupakan kitab yang pertama-tama tersusun secara sempurna dalam ilmu ushul fiqih.
2.        Tahaf-Tahaf  Perkembangan Ushul Fiqih
Secara garis besar Perkembangan Ushul Fiqih dapat dibagi dalam tiga tahapan, yaitu :
a)   Tahap awal (abad 3 H)
Di bawah pemerintahan Abbasyiah  Wilayah islam semakin meluas ke bagian Timur. Khalifah-khalifah yang berkuasa pada abad ini adalah: Al-Ma’mun (w.218 H), Al-Mu’tashim (w. 227 H) Al-Wasiq (w. 232 H), dan Al-Mutawakkil (w. 247 H). Pada masa inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan islam, yang dimulai pada masa pemerintahan Khalifa Ar-Rasyid. Ditandai dengan timbulnya semangat penerjemah dikalangan Ilmuan muslim. Buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan dalam bahasa Arab dan kemudian diberikan penjelasan (syarah). Ilmu-ilmu keagamaan juga berkembang dan semakin meluas pembahasannya. Hasil pemikiran itu berhasil mengembangkan bidang fiqih, yang mendorong untuk disusunnya metode berpikir fiqih yaitu Ushul Fiqih.
Pada abad ini lahirnya ulama-ulama besar yang meletakan dasar berdirinya madzhab-madzhab fiqih, sehingga para pengikut mereka semakin menunjukan perbedaan dalam mengungkapkan pemikiran Ushul Fiqih dari para imamnya.
Perbedaan-perbedaan pendapat dan metode masing-masing aliran semakin mendorong semangat pengkajian ilmiah dikalangan ulama abad 3 H dan semangat ini berlanjut dan semakin berkembang pada abad 4 H.
b)   Tahap Perkembangan (Abad 4 H)
Pada abad ini merupakan permulaan kelemahan dinasti Abbasyiah dalam bidang politik. Dinasti Abbasyiah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang dipimpin oleh seorang sultan. Perkembangan ilmu keislaman pada abad ini jauh lebih maju dari masa-masa sebelumnya. Karena masing-masing penguasa ingin memajukan, memakmurkan dan menopang perkembangan ilmu pengetahuan di negrinya.
Khusus dibidang pemikiran fiqih Islam abad ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ Islam. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut madzhab tertentu dan larangan untuk melakukan perpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dapat dikatakan taqlid, karena karena tiap-tiap pengikut tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna untuk menyempurnakan apa yang dirintis pendahulunya. Usaha mereka antara lain :
1)        Memperjelas ‘illat-illat hukum yang di-istinbath-kan oleh para imam mereka; mereka itu yang disebut ‘ulama takhriz;
2)        Men-tarjih-kan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab, baik dari segi riwayat dan dirayah;
3)        Setiap golongan mendukung madzhab-nya sendiri dan men-tarjih-kan dalam berbagai masalah khilafiyah.
Akan tetapi, tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup. Akibat yang ditimbulkan sebagai berikut :
1)        Kegiatan para ulama terbatas, mereka cendrung men-syarah-kan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya;
2)        Menhimpun maslah-masalah furu’ yang banyak dalam uraian yang singkat;
3)        Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah.
Kitab-kitab yang paling terkenal diantaranya :
1)        Kitab Ushul Al-kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubadilah Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi, (w. 340 H.).
2)        Kitab Al-Fushul Fi Al-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar Ar-Razim yang dikenal dengan Al-Jashshasa (305-370 H.).
3)        Kitab Bayan Kasf Al-Ahfaz, ditulis oleh Abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ciri khas perkembangan Ushul Fiqih pada abad ini, yaitu munculnya kitab-kitab Ushul Fiqih yang membahas masalah ushul fiqih secara utuh  dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya.
c)        Tahap Penyempurnaan (Abad 5-6 H.)
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai lahirnya daulah-daulah kecil, membawa arti pada perkembangan peradaban Islam. Hal ini disebabkan adanya perhatian lebih dar para pengusanya terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan dibidang ilmu Ushul Fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya ; antaralain Al-Baqilani, Al-Qadhi Abd. Al-jabar, Abd. Al-Wahab Al-Bagdhdadi, dan lain-lain. Mereka lah pelopor keilmuan islam pada zaman itu.
Kitab-kitab Ushul Fiqih yang ditulis pada zaman ini, dismping mencerminkan adanya adanya kitab ushul fiqih pada tiap madzhab, juga menunjukan adanya dua aliran ushul fiqih, yakni aliran Hanafiyah dikenal sebagai aliran fuqaha dan aliran mutakalimin. Kitab-kitab Ushul Fiqih yang paling penting antara lain :
a)        Kiitab Al-Mughni fi Al-Abwab Al-Adl wa At-Tahwid, ditulis oleh Al-Qadhi Abd. Al-Jabbar (w. 415 H./1024 H.).
b)        Kitab Al-Mu’amad fi Al-Ushul Fiqih, ditulis oleh Abu AL-Husain Al-Bashri (w. 436 H./1044 M.).
c)        Kitab Al-Iddaf fi Ushul Al-Fiqih, ditulis oleh Abu Al-Qadhi Abu Muhammad Ya’la Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalaf Al-Farra (w. 458/1065 M.).
d)       Kitab Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqih, ditulis oleh Abu AL-Ma’ali Abd. Al-Malik Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf Al-Juaini Imam Al-Haramain (w. 478 H./1094 M.).
e)        Kitab Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul, ditulis oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.). 
a.        Peran Ushul Fiqih Dalam Pengembangan Fiqih Islam
Target yang hendak dicapai oleh ilmu Ushul Fiqih ialah tercapainya kemampuan seseorang untuk mengetahui hukum syara’ yang bersifat furu’ dan kemampuanya untuk menegtahui metode istinbath hukum dari dalil dalilnya dengan jalan yang benar.
Target study fiqih bagi mujtahid ialah agar ia mampu meng-istinbath hukum yang ia hadapi dan terhindar dari kekeliruan. Bagi non-mujtahid yang mempelajari fiqih islam target nya ialah agar ia dapat mengetahui metode ijtihad imam madzhab dalam meng-istinbath hukum sehingga ia dapat men-tarjih dan men-takhrij pendapat imam madzhab tersebut.
Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddamah berkata, “Sesungguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syariah yang termulia, tertinggi nilainya dan terbanyak kaidah nya.” Para ulama memandang ilmu ushul fiqih sebagai ilmu dharuri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih.
b.        Aliran-Aliran Ushul Fiqih
Aliran pertama disebut aliran Syafi’iyah dan Jumhur Mutakallimin (ahli kalam). Aliran ini mengemban Ushul Fiqih secara teoritis murni, begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dam madzhab, sehingga adakalanya sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Pada kenyataannya pada kalangan syafi’iyah sendiri pernah terjadi pertentangan.
Kitab setandar aliran ini antara lain : Ar-Risalah (Imam Asy-Syafi’I) , Al-Mu’tamad (Abu Al-Husain Muhammad Ibnu A’li Al-Bashri), Al-Burhan fi Ushul Fiqih (Imam Al-Haramain Al-Juwaini), Al-mankhul min ta’liqat Al-Ushul, Shifa Al-Ghalil fi bayan asy-syabah wa Al-mukhil wa Masalik At-ta’lil, Al-Mushfa fi ilmi Al-Ushul (ketiganya karya Imam Abu Hamid Al-Gazali)
Aliran kedua dikenal dengan aliran Fuqaha yang dianut oleh para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan madzhab fuqaha karena dalam menyusun teorinya banyak dipengaruhi oleh furu’ yang ada dalam madzhab mereka. Aliran ini berusaha menerapkan kaidah-kaidah yang mereka sususn pada furu’. Jika sulit diterapkan mereka mengubah atau membuat kaidah baru supaya bisa diterapkan.
Kitab standar aliran ini antara lain : Kitab Al-Ushul (Imam Abu Hasan Al-Karkhi), Kitab Al-Ushul (Abu Bakar Al-Jashshash), Ushul Al-Sarakhsi (Imam Al-Sarakhsi), Ta’sis An-Nazhar (Imam Abu Zaid Al-Dabusi), dan Al-Kasyaf Al-Asrar (imam Al-Bazdawi).
OBJEK KAJIAN
USHUL FIQIH DAN FIQIH
1.        Objek Kajian Ushul Fiqih
Objek bahasan Ushul Fiqh adalah cara-cara, metode-metode, kaidah-kaidah untuk menggali hukum atau untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syari’at (firman Allah dan sabda Rasull).
Menurut pendapat Imam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H-505 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah, membagi objek bahasan Ushul Fiqh menjadi 4 (empat) bagian yaitu:
1)        Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkumfih, dan mahkum ‘laih;
2)        pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum;
3)        pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dan dalil-dalil itu; dan
4)        pembahasan ijtihad
2.        Objek Kajian Fikih
Tugas Ushul Fiqh untuk menemukan sifat-sifat yang mendasar dari dalil-dalil syara’dan sifat-sifat itu dirumuskan dalam bentuk dalil-dalil atau kaidah-kaidah secara global (umum). Dalil-dalil yang secara global telah dirumuskan oleh para ahli Ushul Fiqh ini pada gilirannya akan diterapkan oleh seorang mujtahid kepada dalil-dalil juz’I (terinci) yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dari aktivitas mujtahid dalam ijtihadnya itu akan membuahkan hukum fikih yang langsung dikaitkan dengan perbuatan mukalaf. Jadi, yang menjadi bahasan Fikih adalah menganalisis satu persatu dalil dalam Al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan hukum syara’ berhubungan dengan perbuatan mukalaf, manggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh. Empat persoalan objek pembahasan Fiqih:
1)        Hukum Syara’;
2)        Hakim dan dalil-dalilnya;
3)        Perbuatan mukalaf, dan
4)        Mukalaf.
SUMBER HUKUM ISLAM
YANG DISEPAKATI DAN TIDAK DISEPAKATI
A.     Sumber-Sumber Hukum Yang Disepakati
1.    Al-quran
Alquran adalah kumpulan firman allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan dinukilkan dengan jalan mutawatir dan dengan bahasa arab.
a.    Pokok-pokok isi al-quran ada 5, yaitu :
1)        Tauhid ( mengesakan tuhan )
2)        Ibadah
3)        Janji dan ancaman
4)        Jalan-jalan mencapai kebahagian dunia maupun akhirat
5)        Riwayat dan cerita
b.    Hukum-hukum yang ada dalam al-quran
Hukum-hukum yang ada dalam al-quran, dapat dibagi dua yaitu :
1)        Hukum-hukum yang mengatur perhubungan manusia dengan tuhannya ( allah ), yang disebut ibadah.
2)        Hukum-hukum yang mengatur pergaulan manusia ( perhubungan sesama manusia ), yaitu yang disebut mu’amalat ( dalam arti yang luas ).
c.    Dasar-dasar al-quran dalam membuat hukum, dalam mengadakan perintah dan larangan, quran selalu berpedoman kepada tiga hal, yaitu :
1)        Tidak memberatkan atau menyusahkan.
2)        Tidak memperbanyak tuntutan ( beban ).
3)        Berangsur-angsur dalam mentasyri’kan hukum.
2.        Sunah
Sunah dari segi bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk.arti tersebut bisa ditemukan dalam sabda rasulullah SAW yang berbunyi :
من سن في الاسلام سنة حسنة فله أجره وأجر من عمل بها من بعده
“ barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam islam, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya “.
Secara terminology, pengertian sunah:
1)      Menurut Ilmu fiqh, pengertian sunah menurut ahli fiqh hampir sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih. Akan tetapi, istilah sunah dalam fiqih juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa apabila ditinggalkan.
2)      Menurut Ilmu ushul fiqh, menurut ulama ahli ushul fiqih sunah adalah segala yang diriwayatkan dari nabi SAW berupa perbuatan, perkataan dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
3)      Menurut Ilmu hadits, menurut para ahli hadits sunah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
B.      Sumber-Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati
1.         Ijma’
Ijma’ menurut bahasa adalah bermaksud atau berniat, dan kesepakatan terhadap sesuatu. Sedangkan Ijma’ menurut istilah adalah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada sesuatu masa atas sesuatu hukum syara’.
a.    Macam-macam ijma’
1)   Ijma’ umat dibagi menjadi dua, yaitu :
·             Ijma’ qauli adalah suatu ijma’ dimana para ahli ijtihad mengeluarkan pendapatnya baik dengan lisan maupun tulisan yang menerangan persetujuan atas pendapat mujtahid lain dimasanya. Ijma’ ini juga disebut ijma’ bayani atau ijma’ qat’I.
·             Ijma’ sukuti adalah suatu ijma’ dimana para ahli ijtihad diam, tidak mengatakan pendapatnya. Dan diam di sini dianggap menyetujui.
2)   Ijma’ sahabat, yaitu ijma yang dikeluarkan oleh para sahabat.
3)   Ijma’ khalifah yang empat
4)   Ijma’ Abu Bakar dan Umar
5)   Ijma’ ulama Madinah
6)   Ijma’ ulama Kufah dan Basrah
7)   Ijma’ itrah (ahl al-bait atau kaum Syi’ah
2.         Qiyas
Qiyas menurut bahasa berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan”  artinya mengukur dan ukuran. Sedangkan qiyas menurut istilah adalah menetapkan hukum sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuannya berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya.
a.    Rukun qiyas
1)   Ashl (pokok), yaitu yang menjadi ukuran (maqis-alaih) atau tempat menyerupakan (al-musyabbah bih).
2)   Far’un (cabang), yaitu yang diukur (maqis) atau yang diserupakan (al-musyabbah).
3)   Illat, yaitu sebab yang menggabungkan pokok dengan cabangnya.
4)   Hukum, yaitu yang ditetapkan bagi cabang dan sama dengan yang terdapat pada pokok.
b.    Pembagian qiyas
1)      Qiyas illat, adalah mempersamakan soal cabang dengan soal pokok karena persamaan illatnya.
2)      Qiyas dalalah, adalah suatu qiyas dimana illat tidak disebutkan. Yang disebutkan hanyalah hal-hal yang menunjukan adanya illat tersebut (dalil illat).
3)      Qiyas syibih, adalah qiyas dimana cabang bisa diqiyaskan kepada dua pokok, maka cabang tersebut diqiyaskan dengan pokok yang banyak persamaannya.
3.        Istishhab
a.    Pengertian
Istishhab secara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut ulama ushul menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai mendapatkan dalil yang menunjukan pada perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai menunjukan dalil yang menunjukan perubahannya.
b.    Kehujahan Istishab
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Istishab juga telah dijadikan dasar bagi perinsip-prinsip syariat. Istishab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalilah yang tetap menetapkan hukum tersebut.
c.    Pendapat Ulama tentang Istishab
Ulama hanafiyah menetapkan bahwa istishab merupakan hujjah untuk mempertahankan apa-apa yang dimaksud oleh mereka.
4.        Istihsan
a.    Pengertian
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara”.
b.    Kehujjahan Isthisan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang menenangkannya yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini juga yang disebut dengan segi Isthisan”.
5.        Mashlahah mursalah
a.     Pengertian
Menurut bahasa al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Sedangkam menurut istilah Asy-Syatibi menurut  al-Maslahah al-Mursalah  adalah setiap perinsip syara’ yang tidak disertai bukti nash khusus, namun sesuai dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara’.
b.    Objek al-Maslahah al-Mursalah
al-Maslahah al-Mursalah  itu difokuskan pada lapangan yang tidak terdapat pada nash, baik dalam al-Quran maupun As-Sunnah  yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu i’tibar.
c.    Syarat-syarat mashlahah mursalah
1)   Hanya berlaku dalam muamalat.
2)   Tidak berlawanan dengan maksud syariat atau salah satu dalilnya yang sudah dikenal.
3)   Mashlahah adalah karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.
6.        Urf
a.    Pengertian
Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.
b.    Macam-macam ‘urf
·        ‘urf sahih adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’
·        ‘urf fasid adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia, tetapi bertentangan dengan syara’, atau membatalkan yang wajib menghalalkan yang haram.
c.         Kehujjahan ’urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan.
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’.
Imam Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nash.
7.        Dzari’ah
a.     Pengertian
Dzari’ah menurut bahasa adalah jalan menuju sesuatu. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya ibnu qayyim aj-jauziyah yang menyatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah itu dibagi menjadi dua, yaitu sad adz-dzari’ah ( yang dilarang ), dan fath adz-dzari’ah ( yang dianjurkan ).
b.    Sadd Adz-Dzari’ah
Sadd Adz-Dzari’ah adalah melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).
a.    Macam-macam dzari’ah
1)   Dzari’ah dari segi kualitas kemafsadatan
2)   Dzari’ah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
8.        Madzhab shahaby
a.    Pengertian
Madzhab shahaby (pendapat sahabat) tidak menjadi hujjah atas sahabat lainnya. Hal ini sudah disepakati, yang masih diperselisihkan ialah apakah pendapat sahabat bisa menjadi hujjah atas tabi’in dan orang-orang yang sesudah mereka. Dalam hal itu ada tiga pendapat.
Pendapat pertama :
 sahabat tidak menjadi hujjah sama sekali. Demikianlah pendapat jumhur. Perkataan seseorang mujtahid bukanlah suatu dalil yang dapat berdiri sendiri.
Pendapat kedua :
Pendapat sahabat menjadi hujjah dan didahulukan daripada qiyas. Demikianlah pendapat malik, golongan hanfiyah dan syafi’iyah. Bahkan ahmad bin hambali mendahulukan pendapat sahabat daripada hadits mursal dan hadits dha’if.
Pendapat ketiga :
Pendapat sahabat menjadi hujjah apabila dikuatkan dengan qiyas atau tidak berlawanan dengan qiyas. Jadi pendapat sahabat tersebut didahulukan daripada qiyas, yang tidak disertai pendapat sahabat.


AMM DAN KHASH
A.      Pengertian ‘Amm
Menurut etimologi adalah : شُمُوْلُ أَمْرٍ لِمُتَعَدِّدٍ artinya : mencakup sesuatu yang berbilang-bilang (tidak terbatas). Sedangkan menurut terminologi lafazh ‘amm adalah lafazh yang menunjukan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
B.       Dilalah lafazh ‘Amm
Para ulama sepakat bahwa lafazh ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Mereka pun sepakat bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat di sini ialah lafazh ‘amm yang muthlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum mencakup satuan-satuannya.
Menurut Jumhur Ulama, (Maliki, Syafi’iyyah, dan Hanabilah), dilalah ‘amm adalah zhanni. Mereka beralasan, dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah zahir, yang mempunyai kemungkinan di-takhsis. Dan kemungkinan ini pada lafazh ‘amm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i.
C.       Pengertian Khash
Menurut Al-Bazdawi, khash adalah: setiap lafazh yang dipaksakan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).
D.      Hukum Lafazh Khash
Apabila lafazh khash dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.
E.       Perbedaan Pendapat Akibat Keqath’ian Dilalah Khash
Para ulama sepakat bahwa dilalah lafazh khash adalah qath’i. namun, mereka berbeda pendapat dalam sifat ke-qath’i-annya itu, apakah lafazh khash yang dipandang qath’i dilalah-nya itu sudah jelas dengan sendirinya, sehingga tidak mempunyai kemungkinan penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafazh khash itu qath’i dilalah-nya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.
F.        Macam-Macam Lafadz Khas
Lafazh Khash itu bentuknya banyak, kadang-kadang berbentuk muthlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang-kadang berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan). Dengan demikian, macam-macam lafazh khash mencakup: muthlaq, muqayyad, amr, dan nahyi.
HUKKUM SYARI’AT
HUKUM TAKLIFI DAN WADH’I
A.      Hukum Syariat
Hukum menurut etimologi, hukum berarti man’u, yakni ‘mencegah’ dan hukum juga berarti qadha’ yang memiliki arti ‘putusan’. Sedangkan menurut istilah ahli usul fikih, hukum adalah khitab atau perintah Allah SWT, yang menuntut mukalaf (orang yang sesudah balig dan berakal sehat) untuk memilih antara mengerjakan dan tidak mengerjakan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya yang lain, sah, batal, rakhsah (kemudahan), dan azimah.
Sedangkan perbuatan yang dituntut itu disebut wajib, sunnah (mandub), haram, makruh, dan mubah. Maksud sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan, yang bersifat mengikat, yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Dengan demikian sumber hukum Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman syariat Islam.
            Pembahasan tentang hukum syara’ adalah salah satu dari beberapa objek kajian ushul fiqih. Bahkan tujuan utama dari studi ushul fiqih adalah bagaimana menyimpulkan hukum syara’ dari sumber-sumbernya.
B. Pembagian Hukum Syara
1. Hukum taklifi
            Hukum taklifi adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk membuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Sedangkan menurut para ahli ushul fiqih adalah ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulnya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat.
            Bentuk- bentuk hukum taklifi :
a.         Ijab yaitu tuntutan secara pasti dan syar’i untuk dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya, dikenai hukuman.
b.         Nadb yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya, karena orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb,
c.         Haram/tahrim adalah suatu perbuatan yang diperintahkan untuk ditinggalkan yang disertai dengan ancaman bagi orang yang menyalahinya.
d.        Karahah adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk tidak dikerjakan oleh mukallaf dengan tuntutan yang tidak pasti, seperti jika bentuk tuntutan itu sendiri menunjukkan ketidak pastian. Seperti nash yang menyatakan, “Allah memakruhkan hal ini bagi kalian,” atau sesuatu itu dilarang dan larangan itu bersamaan dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa larangan itu bermakna makruh, bukan haram.
e.         Ibahah yaitu khithab Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat. Akibat dari khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.
Sedangkan menurut ulama fikih perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum yaitu orang yang sudah balig dan berakal sehat) itu jika ditinjau dari syariat dibagi menjadi menjadi lima macam, yaitu:
a)      Fardu (wajib) yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan akan mendapat hukuman (berdosa). Perbuatan wajib ditinjau dari segi orang yang melakukannya dibagi menjadi dua, yaitu:
·            Fardu ‘ain: perbuatan yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf. Contoh : salat lima waktu.
·            Fardu kifayyah: perbuatan yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat, maka anggota-anggota masyarakat lainnya tidak dikenai kewajiban lagi. Namun, apabila perbuatan yang hukumnya fardu kifayyah itu, tidak dikerjakan oleh seorang pun dari anggota masyarakat, maka seluruh anggota masyarakat dianggap berdosa. Contohnya: memandikan, mengafani, mensalatkan dan menguburkan jenazah seorang muslim, membangun mesjid dan rumah sakit.
b)      Sunnah (mandub), yaitu suatu perbuatan yang apabila dikerjakan, pelakunya akan mendapat pahala, tetapi apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Perbuatan sunnah dibagi dua:
·            Sunnah ‘ain: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh setiap individu. Contoh: salat sunnah rawatib.
·            Sunnah kifayyah: perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh salah seorang (beberapa orang dari golongan masyarakat. Contoh: mendoakan muslim/muslimah dan memberi salam.
c)        Haram yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya dianggap berdosa dan akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala.  Contoh: berzina, mencuri, membunuh.
d)       Makruh, yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan pelakunya tidak akan mendapat siksa, tetapi apabila ditinggalkan maka pelakunya akan mendapat pahala. Contoh: meninggalkan salat Dhuha.
e)        Mubah, yaitu perbuatan yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. Contoh: usaha-usaha yang halal melebihi kebutuhan pokoknya dan memilih warna pakaian penutup auratnya.
2.Hukum Wad’i
            Hukum Wad’I adalah perintah Allah yang berkaitan dengan penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain. Kedudukan hukum wad’i sama pentingnya hukum taklifi, karena hukum taklifi sendiri baru akan mempunyai pengaruh, menurut syara’.
            Pembagian hukum wad’I :
a.       Sebab adalah sesuatu yang oleh syar’I dijadikan sebagi tanda atas suatu akibat dan hubungan adanya akibat dengan sebab serta tidak adanya akibat karena tidak adanya sebab.
  1. Syarat secara etimologi syarat berarti alamah (pertanda). Secara terminology, para ulama ushul fiqih merumuskannya dengan sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada diluar hukum itu sendiri yang ketiadaannya hukumpun tidak ada.
  2. Mani’ secara etimologi, mani’ berarti al-kaff’an al-syai’(berhenti dari sesuatu), yang dalam bahasa Indonesia berarti “halangan”. Secara terminology, para ulama ushul fiqih merumuskannya dengan sifat zhahir yang dapat diukur yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum atau ketiadaan sebab.
  3. Sah, sah berasal dari kata al-sihhat  (tidak sakit). Secara istilah, sah dapat didefinisikan sebagai perbuatan hukum yang rukun dan syaratnya terpenuhi, baik perbuatan yang termasuk wilayah ibadah maupun mu’amalah.
  4. Fasad adalah perbuatan hukum yang rukun dan syarat sahnya terpenuhi, tetapi syarat penyempurnanya diabaikan.
  5. Batal, secara bahasa, sah berasal dari kata al-sihhat  (tidak sakit). Secara istilah, sah dapat didefinisikan sebagai perbuatan hukum yang rukun dan syaratnya terpenuhi, baik perbuatan yang ternasuk wilayah ibadah maupun mu’amalah.
MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH
A.      Pengertian Mahkum Fih (Objek Hukum)
Menurut ulama Ushul fiqih mahkum fih adalah obyek hukum, yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Allah dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan; dan yang bersipat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal (Al-Bardisi: II: 148). Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum.
B.       Syarat –syarat mahkum fih
a)           Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan..
b)           Mukallaf harus mengetahui sumber taklif.
c)           Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, berkait dengan hal ini terdapat dengan beberapa syatat yaitu:
1)        tidak syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan.
2)        tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama orang lain.
3)        tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
4)        tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah,suci dalam masalah sholat.
C.       Mahkum ‘Alaih
Menurutulama ushul fiqih yang di maksud mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT. yang di sebut mukallaf. Dalam arti bahasa yaitu yang di bebani hukum, sedangkan dalam istilah mukallaf sering di sebut subjek hukum.
D.      Dasar  Taklif
Orang yang dikenai taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang bisa di bebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif. Maka orang yang belum  berakal di anggap tidak bisa memahapi taklif dari syari’(Allah dan Rosulnya).
a)        Syarat syarat taklif ada 2 yaitu:
·        Orang itu telah mampu memahami khitob syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al qur’an dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain.
·        Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut Ahliyyah, maka seseorang yang belum mampu bertindak hukum atau belum balighnya seseorang tidak dikenakan tuntutan syara’.
b)      Pengertian Ahliyyah, secara harfiyyah ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu urusan. Sedangkan secara terminologi adalah suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’. Pembagian ahliyyah:
·        Ahliyyah ada’ yaitu kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif.
·        Ahliyyah Al-wajib yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak hak yang menjadi haknya,tetapi belum mampu untuk di bebani seluruh kewajiban.
c)      Halangan ahliyyah
Seseorang dalam bertindak hukum di lihat dari segi akal, tetapi yang namanya akal kadang berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum. Seseorang kecakapannya bisa berubah karena di sebabkan oleh hal hal berikut:
·          Awaridh samawiyyah yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan di sebabkan oleh manusia.
·          Al awaridh al muktasabah yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia.

MUTLAQ DAN MUQAYYAD
A.      Pengertian Mutlaq
Mutlaq secara bahasa artinya tidak terikat, kebalikan muqayyad. Secara istilah para ulama ushul memberikan berbagai pengertian, namun pada intinya mutlaq ialah suatu lafazh yang menunjukan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.
B.       Pengertian Muqayyad
Muqayyad secara bahasa artinya sesuatu yang terikat atau yang diikatkan kepada sesuatu. Sedangkan menurut istilah para ulama ushul fiqih muqayyad adalah suatu lafazh yang menunjukan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.
C.       Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad
·             Suatu lafazh dipakai dengan mutlaq pada suatu nash, sedangkan dengan nash lain digunakan dengan muqayyad; keadaan ithlaq dan taqyid-nya bergantung pada sebab hukum.
·             Lafazh mutlaq dan muqayyad berlaku sama pada hukum dan sebabnya.
·             Lafazh mutlaq dan muqayyad yang berlaku pada nash itu berbeda, baik dalam hukumnya ataupun sebab hukumnya.
·             Mutlaq dan muqayyad berbeda dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam sebabnya.
D.      Hukum Lafal Mutlaq Dan Muqayyad
1.         Sebab dan hukum sama, maka Muqayyad menjadi penjelasan Mutlaq.
2.         Sebab dan hukum berbeda, maka Muqayyad tidak menjadi penjelasan Mutlaq
3.         Berbeda hukum tapi sebabnya sama, maka Muqayyad dan Mutlaq berdiri sendiri
E.       Hal-Hal Yang Dipermasalahkan Dalam Mutlaq Dan Muqayyad
1.         Ke-muthlaq-an dan kemuqayyadan terdapat pada sebab hukum.
2.         Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya berbeda.
MANTUQ DAN MAFHUM
A.      Pengertian Mantuq
Mantuq adalah lafal yang hukumnya memuat apa yang di ucapkan (tersurat). Menurut bahasa, manthuq artinya ucapan atau yang diucapkan. Sedangkan menurut istilah, manthuq adalah apa yang ditunjukan oleh lafadz tentang apa yang dibicarakan oleh syari’. Dapat dikatakan bahwa manthuq adalah lafadz yang mengandung arti apa adanya. Mantuq dibagi menjadi 2 yaitu :
·          Nash yaitu suatu perkataan yang jelas dan tidak mungkin di ta’wilkan lagi.
·          Zahir yatiu suatu perkataan yang menunjukkan sesuatu makna, bukan yang dimaksud dan menghendakinya kepada penta’wilan.
B.       Pengertian Mafhum
Mafhum adalah lafal yang hukumnya terkandung dalam arti dibalik mantuq (tersirat). Sedangkan menurut bahasa, artinya pemahaman atau apa yang dipahami. Adapun menurut istilah, mafhum adalah apa yang ditunjukan oleh lafadz tentang apa yang tidak dibicarakan. Jelasnya mafhum adalah lafadz yang mengandung arti di luar makna yang sebenarnya. Mafhum dibagi menjadi 2 yaitu :
1.      Mafhum muafakoh yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama dengan hukum   yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz. Mafhum muafakoh dibagi menjadi 2 yaitu :
·             Fahwal kitab yakni yang mana kadar mafhumnya lebih tinggi dari mantuqnya. Misalnya memukul orang tua lebih-lebih tidak boleh hukumnya.
·             Lahna kitab adalah mafhum yang mana kadar mafhumnya sama dengan qadar mantuq. Misalnya membakar harta anak yatim.
2.      Mafhum mukhalafah adalah apabila yang dipahamkan berbeda hukumnya dengan apa yang diucapkan, baik dalam isbat maupun nafi. Jadi yang dipahamkan selalu kebalikan hukum dari bunyi lafadz yang diucapkan.
Syarat-syarat mafhum mukhalafah:
a.           Mantuqnya tidak menentang atau bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.
b.          Mantuqnya tidak dimaksudkan untuk imtinan (mengenang budi).
c.           Mantuqnya tidak dimaksudkan untuk mengagungkan.
Kehujjahan Dalil Mafhum, menurut jumhur ushuliyah, mafhum mukhalafah dapat dijadikan sebagai hujjah syara’. Alasannya antara lain :
·            Berdasarkan logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin dicantumkan tanpa tujuan dan sebab. Sebabnya itu tidak lain adalah untuk qayyid  (pembatasan) hukum selama tidak ada dalil yang menunjukan bahwa dicantumkannya suatu sifat itu untuk targib, tarhib, dan tanfir.
·            Sikap rasulullah yang tidak menyalahkan umar bin khatab dalam memahami mafhum mukhalafah dari ayat 101 an-nisa. Namun, rasulullah menjelaskan bahwa qasar sholat dalam perjalanan dibolehkan sekalipun dalam keadaan aman.
MUJMAL DAN MUBAYYAN
A.      Pengertian
1.      Mujmal secara bahasa mubham (yang tidak diketahui) dan yang terkumpul. Sedangkan menurut istilah suatu perkara yang belum jelas maksudnya dan untuk mengetahuinya perlu penjelasan dari yang lainnya. Ketidakjelasan tersebut disebut ijmal. Ijmal bisa terjadi dalam kata-kata tunggal atau jumlah kalimat, yaitu susunan kata-kata atau tarkib. Dalam kata-kata tunggal ijmal disebabkan oleh:
a.         Tasrif kata atau pengambilannya, seperti qaala dari qaulun (perkataan) atau qailulah (tidur siang).
b.         Satu lafazh untuk menunjukan beberapa arti (musytarak).
c.         Lafazh yang digunakan untuk menunjukan istilah syara’ yang tertentu, seperti lafazh, shalat, zakat, puasa, dll.
2.      Mubayyan adalah suatu perkataan yang terang dan jelas maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya. Kejelasan tersebut adakalanya dari:
a)         Manthuq-nya, yaitu
·         Nashnya
·         Zhahir
·         Lafazh umum
b)        Mafhum-nya, yaitu:
·         Fahwal khitab
·         Lahnul khitab
·         Dalilul khitab
AMR DAN NAHI
A.      Amr (Perintah)
1.        Pengertian
Amr menurut jumhur ulama Ushul, definisi amr adalah lafazh yang menunjukan tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Definisi diatas tidak hanya ditunjukan pada lafazh yang memakai sighat amr, tetapi ditunjukan pula pada semua kalimat yang mengandung perintah, karena kalimat perintah terkadang menggunakan kalimat majazi(samar).
2.        Bentuk-Bentuk Amr Dan Hakikatnya
Amr itu digunakan dalam berbagai macam arti. Menurut Al-Amidi mnyebutkan sebanyak 15 makna, sedangkan Al-mahalli menyebutkan sebanyak 26 makna.
Menurut jumhur ulama, amr secara hakikat menunjukan wajib dan tidak bisa berpaling pada arti lain. Kecuali bila ada qarinah.
Madzhab Abu Hasyim dan sekelompok ulama mutakallimin menyatakan bahwa hakikat amr adalah nadb.
Amr itu muasytarak antara wajib dan nadb, pendapat ini dipengaruhi oleh Abu Mansur Al-Maturidi.
Qadi Abu Bakar, Al-Ghazali, dll., menyatakan bahwa Amr itu maknanya bergantung pada dalil yang menunjukan maksudnya.
3.        Keadaan Amr Bila Tidak Disertai Qarinah
Hazm berpendapat bahwa amr dalam Al- quran, sungguhpun disertai qarinah yang menunjukan wajib, kecuali ada nash lain atau ijma yang memalingkan pengertian amr dari wakib. Sedangkan jumur ulama bahwa tidak ada qarinah menunjukan wujub. Sebaliknya, adanya suatu qarinah sudah cukup mengubah hakikat arti amr. Dari kedua sikap ulama diatas ada dampak luas pada penetapanhukum.
4.        Perintah Setelah Adanya Kejadian
Para ulama telah sepakat tentang amr terhadap sesuatu dari yang tidak ada sebelumnya. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukumnya, para ulam terbagi pada tiga golongan:
a.       Menunjukan mubah, karena amr yang belum ada sebelumnya secara bahasa juga menunjukan wajib.
b.      Menunjukan wajib, karena suatu kalimat yang menunjukan kata amr itu menunjukan wajib.
c.       Perintah setelah adanya kejadian telah menghilangkan kejadian tersebut.
d.      Amr tidak menuntut dilaksanakan terus menerus.
Amr tidak menuntut untuk dilaksanakan secara langsung  atau ditunda-tunda, namun berdasarkan ketentuan-ketentuan:
·         Pelaksanaan segera atau menunda-nunda adalah tambahan dari shigat amr yang mutlaq menurut bahasa.
·         Sesungguhnya yang ditiuntut oleh amr itu pelaksanaannya, bukan dilihat dari pelaksannaannya secara langsung atau ditunda-tunda.
·         Jika amr diiringi oleh qarinah yang menuntut untuk dilasanakan secara langsung, maka harus dilaksanakan secara langsung berdasarkan ijma’.
·         Bila amr dibatasi oleh waktu maka habislah perintah tersebut bila havis waktunya, seperti ibadah puasa.
·         Bila amr itu memerlukan pelaksanaan secara langsung maka harus dilaksanakan secara langsung.
·         Bersegera dalam melaksanakan amr itu sunah.
B.       Nahyi (Larangan).
1.      Pengertian
Menurut ulama ushul nahyi adalah lafazh yang menunjukan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang harus dikerjakan) dari atas kepada bawahan. Nahyi itu seperti juga amr dapat digunakan dalam berbagai arti.
2.      Makna Shighat Nahyi
Hakikat dalalah nahyi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih makna, kecuali bila ada suatu qarinah. Perbedaan pendapat mengenai hakikat tahrim, karahah, atau keduanya:
a.         Hakikatnya itu untuk tahrim, bukan karahah, kecuali dengan qarinah.
b.         Nahyi yang tidak disertai qarinah menunjukan karahah.
c.         Musytarak antara tahrim dan karahah, baik isytirak lafazhi maupun isytarak maknawi.
d.        Hakikat tuntutan nahyi itu tasawuf.
3.      Nahyi Menuntut Untuk Meninggalkan Secara Langsung
Sesungguhnya nahyi itu menunjukan untuk meninggalkan secara langsung dan terus menerus, karena pelaksanaannya terus-menerus dan langsung termasuk dilalah nahyi. Hal itu merupakan ijma dari ulama, masa sahabat dan tabi’in.
4.      Kaitan Nahyi Dengan Fasad dan Buthlan
Dua hal penting yang berkaitan dengan masalah nahyi, yaitu:
a.         Ihwal nahyi, hal ihwal nahyi dapat dikelompokan pada empat macam:
·      Nahyi itu berada secara mutlaq, yakni tanpa ada qarinah yang menunjukan sesuatu yang dilarang,
·      Perbuatan indrawi: suatu perbuatan yang dapat diketahui secara indrawi, yang wujudnya tidak bergantung pada syara’. Sedangkan tindakan syara’: segala perbuatan syara’ yang bergantung pada syara’.
·      Nahyi itu kembali pada dzatiyah perbuata,.
·      Nahyi melekat pada suatu yang dilarang, bukan pada pokoknya.
·      Nahyi kembali pada sifat yang berkaitan dengan suatu perbuatan, tetapi perbuatan itu bisa terpisah dari perbuatan yang lain.
b.         Pengertian sah, batal, dan fasad
Sah dalam ibadah ialah sesuatu perbuatan itu telah gugur karena telah digunakan. Batal dalam ibadah ialah tidak gugurnya suatu perbuatan yang diwajibkan. Adapun arti fasad menurut jumhur sama dengan batal.