Hukum Oper-kredit (pengalihan Utang) Dalam Fikih Islam
(bagian Pertama Dari 2 Seri Tulisan)
03
Islam adalah agama
yang paling sempurna dan komprehensif, mencakup dan mengatur segala urusan
kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan masalah akidah (keyakinan),
ibadah (ritual), muamalah (interaksi sesama makhluk), ekonomi, politik, maupun
akhlak dan adab.
Di antara bentuk
muamalah yang diatur dalam ajaran Islam adalah masalah oper-kredit (pengalihan
utang), atau dalam istilah syariah dinamakan dengan "al-hiwalah".
Untuk lebih jelasnya, akan kami sebutkan permasalahan seputar "al-hiwalah"
(oper-kredit) dalam pembahasan berikut ini.
A. Pengertian "al-hiwalah"
Menurut bahasa, kata
"al-hiwalah"--huruf ha’ dibaca kasrah atau
kadang-kadang dibaca fathah--berasal dari kata "at-tahawwul"
yang berarti 'al-intiqal' (pemindahan/pengalihan). Orang Arab biasa
mengatakan, "Hala ’anil ’ahdi," yaitu 'berlepas diri dari
tanggung jawab'. Abdurrahman Al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
"al-hiwalah", menurut bahasa, adalah, “Pemindahan dari suatu
tempat ke tempat yang lain.” [1]
Adapun pengertian
"al-hiwalah", menurut istilah para ulama fikih, adalah sebagai
berikut, “Pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang
wajib menanggungnya.”
Menurut Hanafiyah,
yang dimaksud "al-hiwalah" adalah, “Memindahkan beban utang
dari tanggung jawab muhil (orang yang berutang) kepada tanggung jawab muhal
‘alaih (orang lain yang punya tanggung jawab membayar utang pula).” [2]
Menurut Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali, "al-hiwalah" adalah, “Pemindahan atau
pengalihan hak untuk menuntut pembayaran utang dari satu pihak kepada pihak
yang lain.”
Gambaran sederhananya
adalah: Si A (muhal) memberi pinjaman kepada si B (muhil),
sedangkan si B masih mempunyai piutang pada si C (muhal ‘alaih). Begitu
si B tidak mampu membayar utangnya pada si A, ia mengalihkan beban utang
tersebut kepada si C. Dengan demikian, si C yang harus membayar utang si B
kepada si A, sedangkan utang si C sebelumnya--yang ada pada si B--dianggap
selesai.
B. Landasan hukum al-hiwalah
Al-hiwalah diperbolehkan, berdasarkan dalil dari Assunnah,
ijma’ para ulama, dan qiyas (analogi) yang sahih.
Dalil Assunnah:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pengulur-uluran
pembayaran utang yang dilakukan oleh seorang kaya merupakan sebuah bentuk
kezaliman. Jika (pembayaran piutang, ed.) salah seorang di antara kalian
dialihkan kepada orang lain yang mudah membayar utang, hendaklah pengalihan
tersebut diterima.” [3]
Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda pula, “Haram bagi orang yang mampu membayar
utang untuk melalaikan utangnya. Apabila salah seorang di antara kalian mengalihkan
utangnya kepada orang lain, hendaklah pengalihan itu diterima, asalkan orang
lain (yang diminta membayar utang) itu mampu membayarnya.” [4]
Ijma’ ulama: Para ulama telah sepakat
memperbolehkan al-hiwalah. Hal ini dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim. [5]
C. Jenis al-hiwalah
Mazhab Hanafi membagi
al-hiwalah dalam beberapa bagian:
Ditinjau dari segi
objek akad, al-hiwalah dibagi menjadi dua jenis:
1. Hiwalah al-haq (pengalihan hak piutang), yaitu apabila yang dialihkan itu merupakan hak untuk menuntut pembayaran utang .
2. Hiwalah ad-dain (pengalihan utang), yaitu apabila yang dialihkan itu adalah kewajiban untuk membayar utang.
1. Hiwalah al-haq (pengalihan hak piutang), yaitu apabila yang dialihkan itu merupakan hak untuk menuntut pembayaran utang .
2. Hiwalah ad-dain (pengalihan utang), yaitu apabila yang dialihkan itu adalah kewajiban untuk membayar utang.
Ditinjau dari jenis
akad, hiwalah dibagi menjadi dua jenis:
1. Al-hiwalah al-muqayyadah (pengalihan bersyarat), yaitu pengalihan sebagai ganti dari pembayaran utang muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua).
1. Al-hiwalah al-muqayyadah (pengalihan bersyarat), yaitu pengalihan sebagai ganti dari pembayaran utang muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua).
Sebagai contoh: A
memberi piutang kepada B sebesar 5 juta, sedangkan B memberi piutang kepada C
sebesar 5 juta. Kemudian, B mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang
berada pada C kepada A, sebagai ganti pembayaran utang B kepada A.
Dengan demikian, al-hiwalah
al-muqayyadah pada satu sisi merupakan hiwalah al-haq karena
mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C ke A (pengalihan hak). Pada sisi
lain, al-hiwalah al-muqayyadah sekaligus merupakan hiwalah ad-dain
karena kewajiban B kepada A dialihkan menjadi kewajiban C kepada A (pengalihan
utang).
2. Al-hiwalah
al-muthlaqah (pengalihan mutlak),
yaitu pengalihan utang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran
utang muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua).
Sebagai contoh: A
berutang kepada B sebesar 5 juta. Kemudian, A mengalihkan utangnya kepada C,
sehingga C berkewajiban membayar utang A kepada B, tanpa menyebutkan bahwa
pemindahan utang tersebut sebagai ganti rugi dari pembayaran utang C kepada A.
Dengan demikian, al-hiwalah
al-muthlaqah hanya mengandung hiwalah ad-dain karena yang terjadi
hanya: utang A kepada B dipindahkan menjadi utang C kepada B.
D. Rukun al-hiwalah
Menurut Mazhab
Hanafi, rukun al-hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan al-hiwalah)
dari muhil (pihak pertama) dan qabul (pernyataan menerima al-hiwalah)
dari muhal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak ketiga).
Menurut Mazhab
Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, rukun hiwalah ada enam:
1. Pihak pertama (muhil), yaitu orang yang meng-hiwalah-kan (mengalihkan) utang.
2. Pihak kedua (muhal), yaitu orang yang di-hiwalah-kan (orang yang mempunyai utang kepada muhil).
3. Pihak ketiga (muhal ‘alaih), yaitu orang yang menerima al-hiwalah.
4. Ada piutang muhil kepada muhal.
5. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil.
6. Ada sighat al-hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan perkataan, “Aku alihkan utangku yang sebenarnya bagi engkau kepada fulan (maksudnya: aku alihkan kewajibanku kepadamu untuk membayar utangku yang ada pada fulan, ed.),” dan qabul dari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima pengalihan darimu.” [6]
1. Pihak pertama (muhil), yaitu orang yang meng-hiwalah-kan (mengalihkan) utang.
2. Pihak kedua (muhal), yaitu orang yang di-hiwalah-kan (orang yang mempunyai utang kepada muhil).
3. Pihak ketiga (muhal ‘alaih), yaitu orang yang menerima al-hiwalah.
4. Ada piutang muhil kepada muhal.
5. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil.
6. Ada sighat al-hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan perkataan, “Aku alihkan utangku yang sebenarnya bagi engkau kepada fulan (maksudnya: aku alihkan kewajibanku kepadamu untuk membayar utangku yang ada pada fulan, ed.),” dan qabul dari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima pengalihan darimu.” [6]
Bersambung, insya
Allah.
Dipublikasikan ulang
dari Majalah Pengusaha Muslim, Rubrik "Fikih Kontemporer",
dengan penyuntingan tata bahasa oleh redaksi www.PengusahaMuslim.com
==
Catatan kaki:
[1] Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, hlm. 210.
[2] Ad-Dur Al-Mukhtar Syarhu Tanwir Al-Abshar, V:340; dinukil dari Mauqif Asy-Syari’ah min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashshirah, karya Dr. Abdullah Abdurrahim Al-Abadi, hlm. 339.
[3] HR. Bukhari dalam Shahih-nya, IV:585, no. 2287, dan Muslim dalam Shahih-nya, V:471, no. 3978; dari hadis Abu Hurairah radhi'allahu 'anhu.
[4] HR. Ahmad dan Al-Baihaqi.
[5] I’lam Al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, I:380; dinukil dari Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, karya Syekh Shalih Al-Fauzan, II:81 dan Taudhih Al-Ahkam, karya Abdullah Al-Bassam, IV:579.
[6] Fiqh Asy-Syafi’iyyah, karya Ahmad Idris, hlm. 57--58.
Catatan kaki:
[1] Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, hlm. 210.
[2] Ad-Dur Al-Mukhtar Syarhu Tanwir Al-Abshar, V:340; dinukil dari Mauqif Asy-Syari’ah min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashshirah, karya Dr. Abdullah Abdurrahim Al-Abadi, hlm. 339.
[3] HR. Bukhari dalam Shahih-nya, IV:585, no. 2287, dan Muslim dalam Shahih-nya, V:471, no. 3978; dari hadis Abu Hurairah radhi'allahu 'anhu.
[4] HR. Ahmad dan Al-Baihaqi.
[5] I’lam Al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, I:380; dinukil dari Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, karya Syekh Shalih Al-Fauzan, II:81 dan Taudhih Al-Ahkam, karya Abdullah Al-Bassam, IV:579.
[6] Fiqh Asy-Syafi’iyyah, karya Ahmad Idris, hlm. 57--58.
FIQH MUAMALAH : HAWALAH (Pemindahan utang piutang)
19.07 |
PENDAHULUAN
Bila
menganalisis berbagai perintah agama islam dengan seksama, maka dengan mudah
kita dapat memperoleh prinsip yang berkaitan dengan piutang konsumtif. Adapun
prinsip piutang konsumtif adalah Prinsip kemurnian, perjanjian, pembayaran dan
bantuan yang timbul dari kenyataan bahwa mengambil suatu kredit tanpa suatu
sebab yang shahih, ditolak oleh Rasulullah yang diriwayatkan berlindung dari
utang maupun dosa. Aisyah berkata rasulullah SAW biasa berdoa dengan
mengucapkan kata-kata “Yaa Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan
berutang”. Seseorang bertanya padanya “Yaa Rasulullah, mengapa begitu sering
engkau berlindung dari berutang?” Jawabnya “Bila orang berutang, dia berdusta,
berbohong dan berjanji. Tetapi memungkiri janjinya” (HR. BUKHARI)
Sedangkan
dalam hawalah ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang
kepada orang lain. Dan pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah
dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai
sekarang. Dalam al-Qur’an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong
menolong satu sama lain. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Firman Allah :
(QS.Al-Maidah: 2 )
Akad hawalah
merupakan suatu bentuk saling tolong menolong yang merupakan manifestasi dari
semangat ayat tersebut[1][1].
Kemudian
berdasarkan hadist Barangsiapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyai
piutang pada orang lain yang mampu, kemudian dia memindahkan kewajiban membayar
hutangnya kepada orang lain yang mampu itu, maka orang yang mampu tersebut
wajib menerima kewajiban itu. Nabi saw
bersabda: “Penundaan orang yang mampu (melunasi hutang) itu adalah zhalim,
dan apabila seorang di antara kamu menyerahkan (kewajiban pembayaran hutangnya)
kepada orang kaya, maka terimalah.” (Shahih: Shahihul Jami’us
Shaghir no: 5876).
Selanjutnya
pembahasan mengenai Hawalah akan dikupas tuntas dalam pembahasan berikut ini.
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
HAWALAH
Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut
sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah
memindahkan dan mengalihkan[2][2].
Penjelasan
yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang
yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan
pembayaran hutang)[3][3].
لغة :
النقل من محل إلى محل
Sedangkan
pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam
mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
Menurut Hanafi, yang
dimaksud hiwalah[4][4]
نقل
المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
“Memidahkan tagihan
dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab
pula”.
2. Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan Hiwalah adalah:
نقل
الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang
menjadi tanggung jawab orang lain”.
3. Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud
dengan Hiwalah adalah:
عقد
يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang
dari seseorang kepada yang lain”.
4. Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa
yang dimaksud Hiwalah adalah:
عقد
يقتضى تحويل دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari
beban seseorang menjadi beban orang lain”.
5. Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah
adalah:
نقل الحق
من دمة المحيل إلى دمة المحال عليه
“Pemindahan kewajiban dari beban yang
memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”.
6. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah
adalah:
إنتقال
الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan utang dari beban
seseorang menjadi beban orang lain”.
7.
Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hawalah ialah pemindahan dari
tanggungan muhil menjadi tanggunggan muhal ‘alaih.
8. Idris Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad
(ijab qobul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada
orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.
B. DASAR HUKUM HAWALAH
1. Hadits
Imam
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw,
bersabda:
مطل ا
لغني ظلم فادا أ تبع أ حدكم على ملي فليتبع
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan
oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan
kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima
pengalihan tersebut)”.(HR Jama’ah)
Pada
hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang
yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah
ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang
yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat
terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan
pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat :
bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam
rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah
itu bersifat sunnah.
2. Ijma’
Para
ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada hutang yang tidak
berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab
itu harus pada utang atau kewajiban finansial.
C. RUKUN
HAWALAH
Menurut
mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari
pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan
pihak ketiga.
Menurut
mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1. Pihak
pertama, muhil (المحيل):
Yakni
orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
2. Pihak
kedua, muhal atau muhtal (المحال او المحتال):
Yakni
orang berpiutang kepada muhil.
3. Pihak
ketiga muhal ‘alaih (المحال عليه):
Yakni
orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
4. Ada
hutang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال
به):
Yakni
hutang muhil kepada muhtal.
5. Ada
hutang pihak ketiga kepada pihak pertama
Utang
muhal ‘alaih kepada muhil.
6. Ada
sighoh (pernyataan hiwalah).
D. SYARAT-SYARAT
HAWALAH
Persyaratan hawalah ini berkaitan
dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhil, ia
disyaratkan harus, pertama,
berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika
ia berakal dan baligh. Hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak
kecil karena tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang
bertanggung secara hukum. Kedua,
kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena hawalah mengandung pengertian kepemilikan
sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Di samping itu persyaratan ini
diwajibkan para fukoha terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau
ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad hawalah.
Persyaratan
yang berkaitan dengan Muhal. Pertama,
Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat
yang harus dipenuhi oleh Muhil. Kedua,
kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia
bersedia menerima akad hawalah.
Persyaratan
yang berkaitan dengan Muhal Alaih. Pertama,
sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya karena
tidak boleh dipaksakan. Ketiga, ia menerima akad hawalah dalam majlis atau di
luar majlis.
Persyaratan
yang berkaitan dengan Muhal Bih. Pertama,
ia harus berupa hutang dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada
Muhal. Kedua, hutang tersebut harus
berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan
dengan pelunasan atau penghapusan[5][5].
E. JENIS-JENIS
HAWALAH
Ada dua jenis
hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah.
a. Hawalah
Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (
orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari
pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan
A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang
pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab
Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini
sebagai kafalah.
b. Hawalah
Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal
Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh
(jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
Hawalah Haq
Hawalah ini
adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam
bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai
Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang
lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti
adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
Hawalah Dayn
Hawalah ini
adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini
berbeda dari hawalah Haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya
dengan hawalah yang telah diterangkan di depan.
F. HAKIKAT
HAWALAH
Kalangan
Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa hawalah adalah pengecualian dalam
transaksi jual beli, yakni menjual hutang dengan hutang. Hal ini karena manusia
sangat membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang paling dianggap
sahih di kalangan Syafi’iah dan juga menurut salah satu riwayat di kalangan
Hanabilah. Dasarnya adalah Hadist yang artinya : jika salah seorang dari kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada
orang kaya, maka terimalah (HR.Bukhari dan Muslim)
Yang
sahih menurut Hanabilah bahwa hawalah adalah murni transaksi irfaq (memberi
manfaat) bukan yang lainnya[6][6].
Ibnu al-Qayyim berkata,
“Kaidah-kaidah syara’ mendukung dibolehkannya hawalah, dan ini sesuai dengan
qiyas[7][7]
G. UNSUR
KERELAAN DALAM HAWALAH
1. Kerelaan
Muhal
Mayoritas
ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang
yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang
dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu
orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian
tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanabilah
berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu
mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal (orang yang
menerima pindahan) wajib menerima pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya
kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan
di atas.
Alasan
mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajibanmuhal (orang yang menerima
pindahan) untuk menerima hawalah adalah karena muhal ‘alaih kondisinya
berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran.
Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat
dikatakan bahwa muhal wajib menerima hawalah. Namun jika muhal ‘alaih termasuk
orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama
berpendapat muhal tidak wajib menerima hawalah.
2. Kerelaan
Muhal ‘Alaih
Mayoritas
ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat
kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jika alah seorang diantara kamu sekalian
dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari
dan Muslim). Di samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya
sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah
berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang
mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka
ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang
rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih. Dan muhal
‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari
keduanya[8][8].
H. BEBAN MUHIL
SETELAH HAWALAH
Apabila
hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata
muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal
dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat
ulama jumhur.
Menurut
madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang
fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh
kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang
kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal
dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada
muhil[9][9].
Abu Hanifah,
Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan
atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada
muhil untuk menagihnya[10][10].
I. KEDUDUKAN
HUKUM HAWALAH
Pertama, jika hawalah telah disetujui
oleh semua pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan ia kini bebas dari
penagihan utang. Demikian menurut jumhur ulama. Kedua, dengan ditandatanganinya akad hawalah, maka hak penagihan
Muhal ini telah dipindahkan kepada Muhal alaih. Dengan demikian ia memiliki
wilayah penagihan kepadanya.
J. BERAKHIRNYA
AKAD HAWALAH
Akad hawalah akan berakhir oleh
hal-hal berikut ini.
1. Karena
dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai
tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan
kembali lagi kepada Muhil.
2. Hilangnya
hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya
akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3. Jika
Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad
hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4. Meninggalnya
Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah
salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka berakhirlah
sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
5. Jika
Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia
menerima hibah tersebut.
6. Jika
Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.
PENUTUP
Demikianlah makalah tentang Pemindahan utang piutang (Hawalah) yang
dapat kami uraikan, semoga memberikan manfaat bagi kita dan dapat menambah
khazanah keilmuan, khususnya mengenai bahasan dalam Fiqh Mu’amalah.
Kami menyadari
bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam tulisan
maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar, kami juga
manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan makalah kami
selanjutmya.
DAFTAR PUSTAKA
· Ath Thayyar,
Abdullah bin Muhammad, 2004, Ensiklopedi
Fiqh Mu’amalah Dalam Pandangan 4 Madzhab, cet I, Yogyakarta: Maktabah Al
Hanif.
·
Sabiq, Sayyid, 1987, Fikih Sunnah, Bandung : PT
Al-ma'rif.
·
Suhendi, Hendi, 2008, Fiqh Muamalah, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
·
http//syariahlife.wordpress.com/2007/hawalah/
·
http//ekonomisyariah.net/2009/hawalah-pemindahan-utang-piutang-dalam-perspektif-islam-dan-konvensional/
Aplikasi Hawalah Dalam Dunia Perbankan.
Fikih kontemporer , khususnya dalam
dunia perbankan, mengembangkan konsep hawalah ini dalam beberapa bentuk, antara
lain bilyet giro cek bertempo. Dalam hal ini, kita cobntohkan seorang penulis
buku yang mendapatkan royalti dari sebuah penerbit. Ketika jatuh tempo membayar
royalti, penerbit memberikan giro yang berisi jumlah uang tertentu yang bisa
dicairkan antara penerbit dan bank. Dalam kasus ini, penerbit adalah muhil,
kemudian bank sebagai muhal alaih dan penulis sebagai muhal.
Kontrak hawalah dalam perbankan
biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:
1. Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang
memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank
lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
2. Post dated check.
3. Bill discounting. Secara prinsip serupa dengan hawalah.
Hanya saja, dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan
pembahsan fee tidak didapati pada akad hawalah.
Aplikasi Hiwalah dalam LKS :
Aplikasi Hiwalah dalam LKS :
1.
Factoring atau anjak piutang, yaitu nasabah yang
memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, lalu
bank membayar piutang tersebut, kemudian bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
2.
Post Dated Check, dimana bank bertindak sebagai juru
tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
3.
Bill Discounting, secara prinsip bill discounting
serupa dengan hiwalah. Hanya saja bill discounting, nasabah harus
membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hiwalah.[7]
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO.
12/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Hiwalah
Menetapkan : FATWA TENTANG HAWALAH
Pertama : Ketentuan Umum dalam Hawalah
1.
Rukun Hawalah adalah Muhil, yakni orang
yang berhutang dan sekaligus berpihutang dan sekaligus berpiutang, Muhal atau
Muhtal, yakni orang yang berpiutang kepada muhil, Muhal ‘alaih, yakni orang
yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal, Muhal Bih,
yakni hutang kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
2.
Pernyataan ijab dan qabul harus
dinyatakan oleh pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan
kontrak (akad).
3.
Akan dituangkan secara tertulis,
melalui korespondensasi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
4.
Hawalah dilakukan harus dengan
persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
5.
Kedudukan dan kewajiban para pihak
harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
6.
Jika transaksi hawalah teah dilakukan,
pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal ‘alaih, dan hak penagihan
muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
Kedua
: Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
[1][1]
http//ekonomisyariah.net/2009/hawalah-pemindahan-utang-piutang-dalam-perspektif-islam-dan-konvensional/
[5][5]
http//syariahlife.wordpress.com/2007/hawalah/
[6][6]
Ibnu Qudamah : al-Mughni, juz VII, hlm. 56, Hasyisyah ibni ‘Abidin, juz
VI,hlm.274, Imam an Nawawi: Raudhah ath-Thalibin, juz IV, hlm. 706, dan Ibnu
Rusyd: Bidayatul Mujtahid, juz II, hlm. 299.
[7][7]
Ibnu al-Qayyim: I’lam al-Muwaqqi’in, juz I, hlm. 439.
[8][8]
Abdullah bin Muhammad ath Thayyar, 2004,Ensiklopedi
Fiqh Mu’amalah Dalam Pandangan 4 Madzhab, cet I, Yogyakarta: maktabah
alHanif, hlm 215-216
[9][9]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, 2008,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal 103
[10][10]
Sayyid sabiq, Fiqh al-Sunnah hal. 44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar