Minggu, 29 Maret 2015

HIWALAH



Top of Form
Bottom of Form
  • Twitter
  • Facebook
PengusahaMuslim.com
solusi instan membuat laporan keuangan akhir tahun
Hukum Oper-kredit (pengalihan Utang) Dalam Fikih Islam (bagian Pertama Dari 2 Seri Tulisan)
03

Islam adalah agama yang paling sempurna dan komprehensif, mencakup dan mengatur segala urusan kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan masalah akidah (keyakinan), ibadah (ritual), muamalah (interaksi sesama makhluk), ekonomi, politik, maupun akhlak dan adab.
Di antara bentuk muamalah yang diatur dalam ajaran Islam adalah masalah oper-kredit (pengalihan utang), atau dalam istilah syariah dinamakan dengan "al-hiwalah". Untuk lebih jelasnya, akan kami sebutkan permasalahan seputar "al-hiwalah" (oper-kredit) dalam pembahasan berikut ini.
A. Pengertian "al-hiwalah"
Menurut bahasa, kata "al-hiwalah"--huruf ha’ dibaca kasrah atau kadang-kadang dibaca fathah--berasal dari kata "at-tahawwul" yang berarti 'al-intiqal' (pemindahan/pengalihan). Orang Arab biasa mengatakan, "Hala ’anil ’ahdi," yaitu 'berlepas diri dari tanggung jawab'. Abdurrahman Al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "al-hiwalah", menurut bahasa, adalah, “Pemindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain.” [1]
Adapun pengertian "al-hiwalah", menurut istilah para ulama fikih, adalah sebagai berikut, “Pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.”
Menurut Hanafiyah, yang dimaksud "al-hiwalah" adalah, “Memindahkan beban utang dari tanggung jawab muhil (orang yang berutang) kepada tanggung jawab muhal ‘alaih (orang lain yang punya tanggung jawab membayar utang pula).” [2]
Menurut Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, "al-hiwalah" adalah, “Pemindahan atau pengalihan hak untuk menuntut pembayaran utang dari satu pihak kepada pihak yang lain.”
Gambaran sederhananya adalah: Si A (muhal) memberi pinjaman kepada si B (muhil), sedangkan si B masih mempunyai piutang pada si C (muhal ‘alaih). Begitu si B tidak mampu membayar utangnya pada si A, ia mengalihkan beban utang tersebut kepada si C. Dengan demikian, si C yang harus membayar utang si B kepada si A, sedangkan utang si C sebelumnya--yang ada pada si B--dianggap selesai.
B. Landasan hukum al-hiwalah
Al-hiwalah diperbolehkan, berdasarkan dalil dari Assunnah, ijma’ para ulama, dan qiyas (analogi) yang sahih.
Dalil Assunnah: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pengulur-uluran pembayaran utang yang dilakukan oleh seorang kaya merupakan sebuah bentuk kezaliman. Jika (pembayaran piutang, ed.) salah seorang di antara kalian dialihkan kepada orang lain yang mudah membayar utang, hendaklah pengalihan tersebut diterima.” [3]
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pula, “Haram bagi orang yang mampu membayar utang untuk melalaikan utangnya. Apabila salah seorang di antara kalian mengalihkan utangnya kepada orang lain, hendaklah pengalihan itu diterima, asalkan orang lain (yang diminta membayar utang) itu mampu membayarnya.” [4]
Ijma’ ulama: Para ulama telah sepakat memperbolehkan al-hiwalah. Hal ini dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim. [5]
C. Jenis al-hiwalah
Mazhab Hanafi membagi al-hiwalah dalam beberapa bagian:
Ditinjau dari segi objek akad, al-hiwalah dibagi menjadi dua jenis:
1. Hiwalah al-haq (pengalihan hak piutang), yaitu apabila yang dialihkan itu merupakan hak untuk menuntut pembayaran utang .
2. Hiwalah ad-dain (pengalihan utang), yaitu apabila yang dialihkan itu adalah kewajiban untuk membayar utang.
Ditinjau dari jenis akad, hiwalah dibagi menjadi dua jenis:
1. Al-hiwalah al-muqayyadah (pengalihan bersyarat), yaitu pengalihan sebagai ganti dari pembayaran utang muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua).
Sebagai contoh: A memberi piutang kepada B sebesar 5 juta, sedangkan B memberi piutang kepada C sebesar 5 juta. Kemudian, B mengalihkan haknya untuk menuntut piutangnya yang berada pada C kepada A, sebagai ganti pembayaran utang B kepada A.
Dengan demikian, al-hiwalah al-muqayyadah pada satu sisi merupakan hiwalah al-haq karena mengalihkan hak menuntut piutangnya dari C ke A (pengalihan hak). Pada sisi lain, al-hiwalah al-muqayyadah sekaligus merupakan hiwalah ad-dain karena kewajiban B kepada A dialihkan menjadi kewajiban C kepada A (pengalihan utang).
2. Al-hiwalah al-muthlaqah (pengalihan mutlak), yaitu pengalihan utang yang tidak ditegaskan sebagai ganti rugi dari pembayaran utang muhil (pihak pertama) kepada muhal (pihak kedua).
Sebagai contoh: A berutang kepada B sebesar 5 juta. Kemudian, A mengalihkan utangnya kepada C, sehingga C berkewajiban membayar utang A kepada B, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang tersebut sebagai ganti rugi dari pembayaran utang C kepada A.
Dengan demikian, al-hiwalah al-muthlaqah hanya mengandung hiwalah ad-dain karena yang terjadi hanya: utang A kepada B dipindahkan menjadi utang C kepada B.
D. Rukun al-hiwalah
Menurut Mazhab Hanafi, rukun al-hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan al-hiwalah) dari muhil (pihak pertama) dan qabul (pernyataan menerima al-hiwalah) dari muhal (pihak kedua) kepada muhal ‘alaih (pihak ketiga).
Menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, rukun hiwalah ada enam:
1. Pihak pertama (muhil), yaitu orang yang meng-hiwalah-kan (mengalihkan) utang.
2. Pihak kedua (muhal), yaitu orang yang di-hiwalah-kan (orang yang mempunyai utang kepada muhil).
3. Pihak ketiga (muhal ‘alaih), yaitu orang yang menerima al-hiwalah.
4. Ada piutang muhil kepada muhal.
5. Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil.
6. Ada sighat al-hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan perkataan, “Aku alihkan utangku yang sebenarnya bagi engkau kepada fulan (maksudnya: aku alihkan kewajibanku kepadamu untuk membayar utangku yang ada pada fulan, ed.),” dan qabul dari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima pengalihan darimu.” [6]

Bersambung, insya Allah.
Dipublikasikan ulang dari Majalah Pengusaha Muslim, Rubrik "Fikih Kontemporer", dengan penyuntingan tata bahasa oleh redaksi www.PengusahaMuslim.com
==
Catatan kaki:
[1] Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, hlm. 210.
[2] Ad-Dur Al-Mukhtar Syarhu Tanwir Al-Abshar, V:340; dinukil dari Mauqif Asy-Syari’ah min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashshirah, karya Dr. Abdullah Abdurrahim Al-Abadi, hlm. 339.
[3] HR. Bukhari dalam Shahih-nya, IV:585, no. 2287, dan Muslim dalam Shahih-nya, V:471, no. 3978; dari hadis Abu Hurairah radhi'allahu 'anhu.
[4] HR. Ahmad dan Al-Baihaqi.
[5] I’lam Al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, I:380; dinukil dari Al-Mulakhkhas Al-Fiqhi, karya Syekh Shalih Al-Fauzan, II:81 dan Taudhih Al-Ahkam, karya Abdullah Al-Bassam, IV:579.
[6] Fiqh Asy-Syafi’iyyah, karya Ahmad Idris, hlm. 57--58.

FIQH MUAMALAH : HAWALAH (Pemindahan utang piutang)

19.07 |

PENDAHULUAN

Bila menganalisis berbagai perintah agama islam dengan seksama, maka dengan mudah kita dapat memperoleh prinsip yang berkaitan dengan piutang konsumtif. Adapun prinsip piutang konsumtif adalah Prinsip kemurnian, perjanjian, pembayaran dan bantuan yang timbul dari kenyataan bahwa mengambil suatu kredit tanpa suatu sebab yang shahih, ditolak oleh Rasulullah yang diriwayatkan berlindung dari utang maupun dosa. Aisyah berkata rasulullah SAW biasa berdoa dengan mengucapkan kata-kata “Yaa Allah, aku berlindung padamu dari dosa dan berutang”. Seseorang bertanya padanya “Yaa Rasulullah, mengapa begitu sering engkau berlindung dari berutang?” Jawabnya “Bila orang berutang, dia berdusta, berbohong dan berjanji. Tetapi memungkiri janjinya” (HR. BUKHARI)
Sedangkan dalam hawalah ini terjadi perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dan pengalihan penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum Muslimin dari zaman Nabi Muhammad SAW sampai sekarang. Dalam al-Qur’an kaum Muslimin diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Firman Allah : (QS.Al-Maidah: 2 )  
Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong menolong yang merupakan manifestasi dari semangat ayat tersebut[1][1].
Kemudian berdasarkan hadist Barangsiapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyai piutang pada orang lain yang mampu, kemudian dia memindahkan kewajiban membayar hutangnya kepada orang lain yang mampu itu, maka orang yang mampu tersebut wajib menerima kewajiban itu.  Nabi saw bersabda: “Penundaan orang yang mampu (melunasi hutang) itu adalah zhalim, dan apabila seorang di antara kamu menyerahkan (kewajiban pembayaran hutangnya) kepada orang kaya, maka terimalah.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5876).
Selanjutnya pembahasan mengenai Hawalah akan dikupas tuntas dalam pembahasan berikut ini.



PEMBAHASAN

A.    DEFINISI HAWALAH
Secara bahasa pengalihan hutang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan[2][2].
Penjelasan yang dimaksud adalah memindahkan hutang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran hutang)[3][3].
لغة : النقل من محل إلى محل
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah[4][4]
نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”.
2. Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
نقل الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”.
3. Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:

عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.
4. Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah:
عقد يقتضى تحويل دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.
5. Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah:
نقل الحق من دمة المحيل إلى دمة المحال عليه
“Pemindahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban yang menerima pemindahan”.
6. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah:
إنتقال الدين من دمة إلى دمة
Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.
7.  Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hawalah ialah pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggunggan muhal ‘alaih.
8. Idris Ahmad, Hiwalah adalah “Semacam akad (ijab qobul) pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula kepada yang memindahkan.

B.     DASAR HUKUM HAWALAH
Hiwalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma’:
1.      Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw, bersabda:
مطل ا لغني ظلم فادا أ تبع أ حدكم على ملي فليتبع
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih(diterima pengalihan tersebut)”.(HR Jama’ah)
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az Zahiriyah berpendapat : bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat : perintah itu bersifat sunnah.
2.      Ijma’
Para ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah dibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/ benda, karena hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial.

C.    RUKUN HAWALAH
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
1.      Pihak pertama, muhil (المحيل):
Yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
2.      Pihak kedua, muhal atau muhtal (المحال او المحتال):
Yakni orang berpiutang kepada muhil.
3.      Pihak ketiga muhal ‘alaih (المحال عليه):
Yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal.
4.      Ada hutang  pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (المحال به):
Yakni hutang muhil kepada muhtal.
5.      Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama
Utang muhal ‘alaih kepada muhil.
6.      Ada sighoh (pernyataan hiwalah).

D.    SYARAT-SYARAT HAWALAH
Persyaratan hawalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih.
 Persyaratan yang berkaitan dengan Muhil, ia disyaratkan harus, pertama, berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum. Kedua, kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena hawalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Di samping itu persyaratan ini diwajibkan para fukoha terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal. Pertama, Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil. Kedua, kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia bersedia menerima akad hawalah.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Alaih. Pertama, sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya karena tidak boleh dipaksakan. Ketiga, ia menerima akad hawalah dalam majlis atau di luar majlis.
Persyaratan yang berkaitan dengan Muhal Bih. Pertama, ia harus berupa hutang dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhal. Kedua, hutang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan[5][5].
E.     JENIS-JENIS HAWALAH
Ada dua jenis hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah.
a.       Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
b.      Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka hawalah tidak sah.
Hawalah Haq
Hawalah ini adalah pemindahan piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
Hawalah Dayn
Hawalah ini adalah pemindahan hutang kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hawalah Haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hawalah yang telah diterangkan di depan.
F.     HAKIKAT HAWALAH
            Kalangan Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa hawalah adalah pengecualian dalam transaksi jual beli, yakni menjual hutang dengan hutang. Hal ini karena manusia sangat membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang paling dianggap sahih di kalangan Syafi’iah dan juga menurut salah satu riwayat di kalangan Hanabilah. Dasarnya adalah Hadist yang artinya : jika salah seorang dari kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, maka terimalah (HR.Bukhari dan Muslim)
            Yang sahih menurut Hanabilah bahwa hawalah adalah murni transaksi irfaq (memberi manfaat) bukan yang lainnya[6][6].
Ibnu al-Qayyim berkata, “Kaidah-kaidah syara’ mendukung dibolehkannya hawalah, dan ini sesuai dengan qiyas[7][7]

G.    UNSUR KERELAAN DALAM HAWALAH
1.      Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima pindahan) adalah hal yang wajib dalam hawalah karena hutang yang dipindahkan adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang kepada yang lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena penyelesaian tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal ‘alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal (orang yang menerima pindahan) wajib menerima pemindahan itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama mengenai tidak adanya kewajibanmuhal (orang yang menerima pindahan) untuk menerima hawalah adalah karena muhal ‘alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan demikian, jika muhal ‘alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima hawalah. Namun jika muhal ‘alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima hawalah.
2.      Kerelaan Muhal ‘Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal ‘alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jika alah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Di samping itu, hak ada pada muhil dan ia boleh menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih karena setiap orang mempunyai sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan hutang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal ‘alaih. Dan muhal ‘alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya[8][8].

H.    BEBAN MUHIL SETELAH HAWALAH
Apabila hawalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hawalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal ‘alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal boleh kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan hutang kepada orang lain, kemudian muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada muhil[9][9].
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam keadaan muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya[10][10].
I.       KEDUDUKAN HUKUM HAWALAH
Pertama, jika hawalah telah disetujui oleh semua pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan ia kini bebas dari penagihan utang. Demikian menurut jumhur ulama. Kedua, dengan ditandatanganinya akad hawalah, maka hak penagihan Muhal ini telah dipindahkan kepada Muhal alaih. Dengan demikian ia memiliki wilayah penagihan kepadanya.
J.      BERAKHIRNYA AKAD HAWALAH
Akad hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
1.      Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi kepada Muhil.
2.      Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
3.      Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
4.      Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
5.      Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
6.      Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.

PENUTUP
Demikianlah makalah tentang Pemindahan utang piutang (Hawalah) yang dapat kami uraikan, semoga memberikan manfaat bagi kita dan dapat menambah khazanah keilmuan, khususnya mengenai bahasan dalam Fiqh Mu’amalah.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam tulisan maupun penyusunannya, karena selain kami masih dalam tahap belajar, kami juga manusia biasa yang tidak akan lepas dari salah dan dosa. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran konstruktif pembaca demi perbaikan makalah kami selanjutmya.

DAFTAR PUSTAKA
·         Ath Thayyar, Abdullah bin Muhammad, 2004, Ensiklopedi Fiqh Mu’amalah Dalam Pandangan 4 Madzhab, cet I, Yogyakarta: Maktabah Al Hanif.
·         Sabiq, Sayyid, 1987, Fikih Sunnah, Bandung : PT Al-ma'rif.
·         Suhendi, Hendi, 2008, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
·         http//syariahlife.wordpress.com/2007/hawalah/
·         http//ekonomisyariah.net/2009/hawalah-pemindahan-utang-piutang-dalam-perspektif-islam-dan-konvensional/


Aplikasi Hawalah Dalam Dunia Perbankan.
Fikih kontemporer , khususnya dalam dunia perbankan, mengembangkan konsep hawalah ini dalam beberapa bentuk, antara lain bilyet giro cek bertempo. Dalam hal ini, kita cobntohkan seorang penulis buku yang mendapatkan royalti dari sebuah penerbit. Ketika jatuh tempo membayar royalti, penerbit memberikan giro yang berisi jumlah uang tertentu yang bisa dicairkan antara penerbit dan bank. Dalam kasus ini, penerbit adalah muhil, kemudian bank sebagai muhal alaih dan penulis sebagai muhal.
Kontrak hawalah dalam perbankan biasanya diterapkan pada hal-hal berikut:
1.    Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
2.    Post dated check.
3.    Bill discounting. Secara prinsip serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahsan fee tidak didapati pada akad hawalah.
  Aplikasi Hiwalah dalam LKS :
1.      Factoring atau anjak piutang, yaitu nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, lalu bank membayar piutang tersebut, kemudian bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
2.      Post Dated Check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
3.      Bill Discounting, secara prinsip bill discounting serupa dengan hiwalah. Hanya saja bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak didapati dalam kontrak hiwalah.[7]


FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO. 12/DSN-MUI/IV/2000
Tentang Hiwalah

Menetapkan : FATWA TENTANG HAWALAH

Pertama : Ketentuan Umum dalam Hawalah

1.      Rukun Hawalah adalah Muhil, yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpihutang dan sekaligus berpiutang, Muhal atau Muhtal, yakni orang yang berpiutang kepada muhil, Muhal ‘alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal, Muhal Bih, yakni hutang kepada muhtal, dan sighat (ijab-qabul).
2.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3.      Akan dituangkan secara tertulis, melalui korespondensasi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
4.      Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal ‘alaih.
5.      Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
6.      Jika transaksi hawalah teah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal ‘alaih, dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.

Kedua : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.





[1][1] http//ekonomisyariah.net/2009/hawalah-pemindahan-utang-piutang-dalam-perspektif-islam-dan-konvensional/
[2][2] Drs. H. Hendi Suhendi M.Si, Fiqh Muamalah, hal: 99
[3][3] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, Bandung : PT Al-ma'rif, Cet 1, 1987.
[4][4] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, hal: 99
[5][5] http//syariahlife.wordpress.com/2007/hawalah/
[6][6] Ibnu Qudamah : al-Mughni, juz VII, hlm. 56, Hasyisyah ibni ‘Abidin, juz VI,hlm.274, Imam an Nawawi: Raudhah ath-Thalibin, juz IV, hlm. 706, dan Ibnu Rusyd: Bidayatul Mujtahid, juz II, hlm. 299.
[7][7] Ibnu al-Qayyim: I’lam al-Muwaqqi’in, juz I, hlm. 439.
[8][8] Abdullah bin Muhammad ath Thayyar, 2004,Ensiklopedi Fiqh Mu’amalah Dalam Pandangan 4 Madzhab, cet I, Yogyakarta: maktabah alHanif, hlm 215-216
[9][9] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, 2008, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal 103
[10][10] Sayyid sabiq, Fiqh al-Sunnah hal. 44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar