Rabu, 12 Maret 2014

PENDIDIKAN



TIPOLOGI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DAN BARAT SERTA
IMPLIKASINYA PADA PENDIDIKAN ISLAM
( ANALISIS PERBANDINGAN)

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi dan memenuhi tugas-tugas  
Sebagai langkah awal dalam penulisan skripsi

OLEH :

SIBAROAR
NPM : 07 – 03– 114
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvpAtsGsYIiTA_gLiqBnnl7hnp06vSYjtmbscLjWfwLlo-hVREpv-9i257Zddc44rkoP6eV_FJW2iYQs8fJAocrN-qvID6uquZNy4vAU6gLlIXRZY08gXitNewwyvh6GmEKM8bElemb44/s1600/Logo+STAIM.bmp



PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BADAN LAYANAN UMUM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MANDAILING NATAL
( BLU – STAIM ) PANYABUNGAN
2019
ABSTRAK

 Tipologi Filsafat Pendidikan Islam dan Barat serta Implikasinya pada Pendidikan Islam ( Analisis Perbandingan). Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam, jurusan Tarbiyah, Badan Layanan Umum Sekolah Tinggi Agama Islam (BLU STAI MADINA).

Pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkembangkan potensi bawaan baik itu jasmani ataupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma tersebut, serta mewariskannya kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan kehidupan yang terjadi dalam proses pendidikan.

Karena itu, bagaimanapun peradaban suatu masyarakat, di dalamnya berlangsung dan
terjadi suatu proses pendidikan sebagai usaha manusia untuk melestarikan hidupnya.
Dengan kata lain, pendidikan dapat diartikan sebagai hasil peradaban bangsa yang dikembangkan atas dasar pandangan hidup bangsa itu sendiri (nilai dan norma masyarakat) yang berfungsi sebagai filsafat pendidikannya atau sebagai cita-cita dan
pernyataan tujuan pendidikannya. Realisasi pemenuhan dasar manusia atau jawaban atas persoalan kehidupan manusia selalu berbeda antara manusia atau masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya. Dalam upaya untuk memajukan kehidupan suatu bangsa dan negara sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, maka di dalamnya terjadi suatu proses pendidikan atau proses belajar yang akan memberikan pengertian, pandangan dan penyesuaian bagi seseorang atau si terdidik ke arah kedewasaan dan kematangan. Hal ini terasa berbeda dengan cita-cita atau tujuan yang diinginkan oleh bangsa-bangsa Barat. Oleh karena itu, manusia memanifestasikan sistem filsafat dengan aliran yang berbeda-beda.
            Berangkat        dari      latar     belakang          itulah   penulis kemudian ingin
membahasnya dalam skripsi dan mengambil judul Tipologi Filsafat Pendidikan Islam
dan Barat serta Implikasinya pada Pendidikan Islam (Sebuah Analisis Perbadingan).
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui macam-macam tipologi filsafat pendidikan Islam, untuk mengetahui macam-macam tipologi filsafat pendidikan Barat, untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara keduanya, serta
untuk mengetahui implikasi atau dampak adanya tipologi-tipologi filsafat pendidikan
tersebut terhadap pendidikan Islam. Penelitian yang penulis lakukan ini adalah termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif. Dan dalam pengumpulan data penulis
menggunakan  metode            dokumentasi.   Sedangkan      untuk   analisisnya,      penulis
menggunakan metode perbandingan tetap (grounded research) yakni secara tetap
membandingkan satu bagian dengan bagian yang lain.

Hasil dari penelitian yang dapat penulis sampaikan di sini adalah bahwa antara tipologi filsafat pendidikan Islam dan Barat terdapat perbedaan yang cukup berarti.
Tipologi filsafat pendidikan Barat lebih mementingkan pada aspek kognitif saja, sedangkan tipologi filsafat pendidikan Islam mementingkan pada banyak aspek yakni
aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang mengakibatkan tipologi filsafat pendidikan Islam memiliki nilai yang lebih bila dibandingkan dengan tipologi filsafat
pendidikan Barat.

Kata kunci: tipologi filsafat pendidikan Islam dan tipologi filsafat pendidikan
Barat
 ............................@@@@@......................


 BAB II
TEORI PUSTAKA

Setiap yang kita renungkan keadaan masyarakat Islam di berbagai tempat dan negeri akan mendapati bahwa masyarakat-masyarakat Islam mengalami berbagai masalah budaya, ekonomi, sosial dan politik. Jika kita renungkan lebih lama masalah-masalah ini, niscaya kita akan sampai pada kesimpulan, bahwa walaupun masalah-masalah tersebut bermacam-macam, tetapi sebenarnya dapat kita kembalikan kepada beberapa sebab saja. Sebab yang pertama adalah kaum muslimin tidak melaksanakan dengan sempurna ajaran-ajaran dan hukum-hukum agama dalam segala urusan kehidupannya, dan melupakan sumber-sumber kekuatan dan kemuliaan yang mengajak kepada ilmu yang berfaedah, amal shalih dan berjihad di jalan Allah.
Hal inilah yang menyebabkan umat Islam kehilangan identitas Islam yang unik yang merupakan ciri khas Islam di masa keemasan dan kejayaan Islam.[25] Langkah pertama yang harus diambil untuk memperbaikinya adalah berusaha membina filsafat Islam yang menyeluruh, realistik, fleksibel mengambil landasan- landasan dan prinsip-prinsipnya dari ajaran-ajaran Islam yang mulia dan aqidahnya.
Filsafat adalah hasil pemikiran ahli-ahli filsafat atau ahli filosof sepanjang zaman di seluruh dunia. Sejarah pemikiran filsafat yang amat panjang bila dibandingkan dengan sejarah ilmu pengetahuan, telah memperkaya khazanah (perbendaharaan) ilmu filsafat. Sebagai ilmu tersendiri filsafat tidak saja telah menarik minat dan perhatian para pemikir, tetapi bahkan filsafat telah banyak sekali mempengaruhi perkembangan ke seluruh budaya manusia.
Filsafat telah mempengaruhi kepribadian seseorang, dalam arti filsafat mampu mempengaruhi sikap hidup, cara berpikir, kepercayaan atau ideologinya. Filsafat telah mewarisi subjek atau pribadi masing-masing individu yang demikian kuatnya sehingga setiap orang menjadi penganut suatu faham filsafat baik langsung atau tidak langsung, sadar atau pun tidak sadar.[26]
Ajaran filsafat pada dasarnya adalah hasil pemikiran seseorang atau beberapa orang ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Perbedaan- perbedaan dalam menghasilkan suatu masalah akan melahirkan kesimpulan yang berbeda-beda tentang satu masalah yang sama. Perbedaan itu dapat pula disebabkan latar belakang ahli filsafat, di samping pengaruh zaman, kondisi alam dan pikiran manusia di suatu tempat. Kenyataan itulah yang melatarbelakangi perbedaan-perbedaan tiap pokok suatu ajaran filsafat. Dan oleh penelitian para ahli kemudian ajaran filsafat tersebut disusun dengan suatu sistematika berdasarkan atau menurut kategori tertentu. Klasifikasi inilah yang yang akan melahirkan apa yang kita kenal sebagai suatu aliran (tipologi). Suatu ajaran filsafat dapat pula sebagai produk suatu zaman. Dengan demikian suatu filsafat dapat merupakan reaksi dan aksi atas sesuatu realita di dalam kehidupan manusia. Filsafat dapat berbentuk cita-cita,idealisme yang secara radikal berhasrat meninggalkan suatu pola kehidupan tertentu.[27]
Berdasarkan kenyataan sejarah, paling sedikit, ide-ide para filosof adalah jawaban terhadap problematika yang menantang pikiran manusia, jawaban atas ketidaktahuan atau verivikasi tentang suatu hal. Filsafat juga merupakan usaha memenuhi dorongan-dorongan rasional manusiawi demi kepuasan rohaniah, untuk kematangan pribadi integritas. Pengertian masing-masing individu para filosof tentang suatu kesimpulan belumlah merupakan suatu hal yang final, belum valid, tidak mutlak dan sebagainya, memberi kebebasan pada setiap orang untuk menganut atau menolak suatu aliran. Sikap demikian justru menjadi prakondisi bagi perkembangan aliran- aliran filsafat. Sikap ini dikenal dengan istilah eclectic atau eclecticism.
Perlu diketahui, setiap aliran filsafat bukanlah merupakan usaha untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan prinsipil dari suatu ajaran. Tetapi justru dalam memilih dan mengembangkan ide-ide filsafat itu, asas filosofis yang menghormati martabat kemanusiaan setiap orang tidak hanya teoritis adanya, melainkan praktis, dilaksanakan. Ini adalah suatu bukti dan jaminan konkrit kebenaran filsafat yang asasi.
Jadi mengingkari kebebasan subjek, meniadakan eclecticism bertentangan dengan asas-asas di dalam filsafat yang ideal. Dan ini perlahan-lahan tetapi pasti, membunuh perkembangan filsafat itu sendiri. Bahkan tidak adanya eclecticism itu bertentangan dengan kodrat asasi pribadi manusia yang mengandung sifat individualitas dan sifat kepribadian yang unik. Klasifikasi aliran filsafat pendidikan berdasarkan perbedaan-perbedaan teori dan praktek pendidikan yang menjadi ide pokok masing-masing aliran tersebut. Demikian pula klasifikasi tersebut akan berbeda-beda menurut cara dan dasar yang menjadi kriteria dalam menetapkan klasifikasi tersebut. Misalnya ada yang membuat klasifikasi aliran filsafat pendidikan berdasarkan asas dikotomi yakni aliran progressive dan aliran conservative. Itulah sebabnya perlu kita sadari bahwa klasifikasi aliran-aliran filsafat itu harus didasarkan atas penelitian yang mendalam dan sangat berhati-hati. Bahkan beberapa ahli membuat klasifikasi aliran-aliran filsafat yang berbeda-beda. Kenyataan tentang adanya perbedaan tentang aliran filsafat tersebut memberikan kesan bagi kita, bahwa bukanlah pembagian yang definitif dan penamaan suatu aliran secara formal yang terpenting. Melainkan asas pokok dari suatu ajaran filsafat pendidikan sebagai suatu ciri khas yang paling menonjol, yaitu esensi ajaran tersebut yang telah dapat membentuk dirinya sebagai suatu sistem filsafat.
Klasifikasi aliran-aliran filsafat pendidikan tidak didasarkan atas mana yang benar, mana yang paling lengkap, atau pun sebaliknya. Melainkan sekedar mengelompokkan berdasarkan kesamaan tiap ajaran filsafat di dalam suatu system tertentu. Demikian pula perbedaan-perbedaan di antara ajaran-ajaran tersebut satu sama lain menjadi penentu mengapa aliran-aliran tersebut dibedakan.[28]
Dengan demikian pembedaan atas aliran-aliran tertentu tidaklah secara murni membedakan keseluruhan pokok-pokok ajaran filsafat yang satu dengan ajaran filsafat yang lainnya. Meskipun mereka sudah dibedakan atas satu aliran tersendiri, namun ajaran mereka masih ada di dalam aliran yang lain. Kita tidak mungkin membedakan aliran-aliran itu secara dikotomis, secara kontradiktif dan secara diametral. Berbicara tentang filsafat pendidikan Islam tidak bisa dilepaskan dari alur pemikiran yang dikembangkan oleh para pemikirnya. Selama ini pemikiran filsafat pendidikan pada umumnya dikategorikan ke dalam dua kelompok (aliran) yaitu: pertama, aliran filsafat kritis dalam pendidikan atau mazhab pemikiran yang bersifat maju atau progresif dalam pendidikannya dan kedua, aliran atau mazhab pemikiran filsafat pendidikan yang bersifat tradisional.[29]
Ukuran maju atau progresif dan tradisional biasanya dilihat dari sejauh mana peranan pendidik dan anak didik dalam keseluruhan upaya pendidikan. Konsep pendidikan bersifat tradisional bila ia menekankan peranan pendidik dalam hal-hal lain di luar anak didik. Dalam alam pendidikan tradisional anak didik seolah-olah dijadikan sebagai obyek pasif yang perlu disesuaikan terhadap hal-hal lain di luar anak didik.
Sebaliknya suatu konsep pendidikan yang bersifat maju atau progresif apabila ia menempatkan anak didik pada kedudukan sentral dalam keseluruhan upaya pendidikan. Anak didik adalah subyek yang secara aktif dan dinamis berkembang mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang pada dasarnya berorientasi pada diri anak didik itu sendiri. Kedua konsep tersebut terus mempertahankan diri dan berkembang dengan keunggulan dan kelemahan masing-masing. Namun demikian, untuk menjadikan pemikiran kependidikan Islam sebagai titik tolak utama diperlukan kejelasan kriteria konseptual atau parameternya, seperti apa konsepnya dan bagaimana formatnya untuk dapat dipergunakan sebagai kriteria dalam pengembangan pemikiran filsafat pendidikan Islam.
A.      Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan Islam memiliki pengertian yang mengkhususkan kajian pemikiran-pemikiran yang menyeluruh dan mendasar tentang pendidikan yang berdasarkan tuntutan ajaran Islam sebagai sebuah sistem yang diyakini oleh penganutnya yang memiliki nilai-nilai tentang kebenaran yang hakiki dan mutlak untuk dijadikan sebagai pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk didalamnya aspek pendidikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah pemikiran yang radikal dan mendalam tentang berbagai masalah yang ada hubungannya dengan pendidikan Islam.
Filsafat pendidikan Islam sebagai sebuah ilmu secara epistimologis seyogyanya mempertanyakan dari mana filsafat pendidikan Islam diambil, atau dengan kata lain, sumber-sumber apa saja yang dapat menjadi pegangan keilmuan bagi filsafat pendidikan Islam.
Menurut Abudin Nata, menyebutkan bahwa filsafat pendidikan Islam bukanlah filsafat pendidikan yang bercorak liberal, bebas dan tanpa batas etika sebagaimana yang dijumpai pada filsafat pendidikan umumnya. Filsafat pendidikan Islam adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau dijiwai oleh ajaran Islam.[30]
Filsafat pendidikan berdasarkan ajaran Islam berarti sumber ajaran utama yaitu Al Qur'an dan Hadits senantiasa dijadikan sebagai landasan bagi filsafat pendidikan Islam. Filsafat pendidikan berdasarkan ajaran yang dijiwai oleh Islam berarti selain menggunakan sumber Al Qur'an dan Hadits, filsafat pendidikan Islam juga mengambil sumber-sumber dari ajaran lain yang sejalan atau tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam.
Dalam hal ini, Abdul Rahman Shalih Abdullah menyebutkan bahwa para pakar filsafat pendidikan Islam terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang mengadopsi konsep non Islam dan memadukannya dengan pemikiran pendidikan Islam. Kedua, mereka yang tergolong kelompok filsafat pendidikan Islam tradisional, yang senantiasa mengambil pandangan Al Qur'an dan Hadits tentang pendidikan Islam. Kelompok pertama oleh Abdul Rahman dipandang sebagai kelompok liberal, sedangkan kelompok yang kedua dipandang sebagai kelompok yang konservatif.[31]
Sedangkan Toto Suharto memunculkan kelompok yang ketiga, yaitu kelompok yang berupaya memadukan dan menjadikan moderasi dua kelompok tersebut. Kelompok yang ketiga berpandangan bahwa filsafat pendidikan Islam mengambil premis-premis dari Al Qur'an dan Hadits tetapi juga mengambil konsep dari luar al Qur'an dan Hadits yang tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat ajaran yang ada di dalam Al Qur'an dan Hadits.
B.       Pengertian Filsafat Pendidikan Barat
Dalam pendidikan barat,  ilmu tidak lahir dari pandangan hidup agama tertentu dan diklaim sebagai seseuatu yang bebas nilai. Namun hal itu sebanarnya tidak benar-benar bebas nilai tapi hanya bebas dari nilai-nilai keagamaan dan ketuhanan. Menurut Naquib  al-Attas, ilmu dalam peradaban barat tidak dibangun diatas wahyu dan kepercayaan agama namun dibangun di atas tradisi budaya yang diperkuat dengan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekuler yang memusatkan manusia sebagai makhluk yang rasional. Akibatnya, ilmu pengetahan serta nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah. Sehingga dari cara pandang yang sperti inilah pada akhirnya akan melahirkan ilmu-ilmu sekuler. 
Ilmu  yang dikembangkan dalam pendidikan Barat dibentuk dari acuan pemikiran falsafah mereka yang dituangkan dalam pemikiran yang bercirikan materialisme, idealisme, sekularisme, dan rasionalisme. Pemikiran ini mempengaruhi konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri. René Descartes misalnya, tokoh filsafat Barat asal Prancis ini menjadikan rasio sebagai kriteria satu-satunya dalam mengukur kebenaran.[32]
Selain itu para filosof lainnya seperti John Locke, Immanuel Kant, Martin Heidegger, Emillio Betti, Hans-Georg Gadammer, dan lainnya juga menekankan rasio dan panca indera sebagai sumber ilmu mereka, sehingga melahirkan berbagai macam faham dan pemikiran seperti empirisme, humanisme, kapitalisme, eksistensialisme, relatifisme, atheisme, dan lainnya, yang ikut mempengaruhi berbagai disiplin keilmuan, seperti dalam filsafat, sains, sosiologi, psikologi, politik, ekonomi, dan lainnya
C.      Tipologi Filsafat Pendidikan Islam dan Barat
1.      Tipologi filsafat pendidikan islam
Ajaran filsafat yang komprehensif telah menduduki status tinggi dalam kehidupan kebudayan manusia, yakni sebagai ideologi suatu bangsa dan negara. Seluruh aspek kehidupan suatu bangsa diilhami dan berpedoman pada ajaran- ajaran filsafat yang digunakan oleh bangsa itu. Dengan demikian kehidupan sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayan, bahkan kesadaran atas nilai- nilai hukum dan moral bersumber pada ajaran filsafat itu.
Pola dan sistem berpikir filosofis dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan alam, manusia dan alam sekitar menjadi objek pemikiran filsafat pendidikan Islam. Oleh karena itu, filsafat pendidikan Islam mempunyai sasaran pembahasan tentang hakikat permasalahan pendidikan yang bersumber pada ajaran Islam, maka pola dan sistem berpikir serta ruang lingkup permasalahan yang dibahas pun harus bertitik tolak dari pandangan Islam.
Filsafat pendidikan yang membahas permasalahan pendidikan Islam tidak berarti membatasi diri pada permasalahan yang ada dalam ruang lingkup kehidupan beragama umat Islam semata-mata, melainkan juga menjangkau permasalahan luas yang berkaitan dengan pendidikan bagi umat Islam.[33]
Bidang ilmu pendidikan dengan berbagai cabang-cabangnya merupakan landasan ilmiah bagi pelaksanaan pendidikan, terus berkembang secara dinamis. Sedangkan filsafat pendidikan sesuai dengan peranannya merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijaksanaan dan pelaksanaan pendidikan. Dengan demikian, seluruh permasalahan menyangkut kehidupan umat manusia yang berpengaruh terhadap kehidupan umat manusia juga termasuk pemikiran filsafat pendidikan Islam. Misalnya masalah pendidikan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, masalah perubahan sosial, masalah kependudukan, masalah moral dan sebagainya.
Dalam  pemikiran (filsafat) pendidikan Islam, Hasan Langgulung menyatakan bahwa “sumber-sumber pemikiran pendidikan Islam adalah: al Qur'an, Hadits, kata sahabat, kemaslahatan sosial, nilai-nilai serta pemikir-pemikir Islam."[34]
Sedangkan menurut Jalal bahwa sumber pemikiran pendidikan Islam hanya al Qur'an dan Hadits saja tidak perlu bersusah payah mencari sumber yang lain, karena Allah telah mengutus Nabi Muhammad sebagai seorang guru. Pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Islam dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang di belahan dunia Islam pada periode modern terutama dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman. Kajian tentang tipologi dan konstruksi pemikiran filsafat pendidikan Islam, yang menjadi landasan bagi penyelenggaraan sistem pendidikan Islam, akan dapat menjelaskan sejauh mana masing-masing tipologi tersebut mampu memberikan kontribusi terhadap pengembangan sistem pendidikan nasional, dan mana pula di antara tipologi-tipologi tersebut yang layak atau kurang layak untuk dikembangkan di Indonesia
Tipologisasi dalam semua aspek pemikiran berimplikasi pada penyederhanaan (simplification)  terhadap berbagai persoalan yang kompleks. Sebuah wacana yang seharusnya berkembang dan meluas akan dipahami secara simpel setelah dilakukan tipologisasi.[35] Pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan juga dapat dicermati dari pola pemikiran Islam yang berkembang di belahan dunia Islam pada periode modern ini, terutama dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modernitas. Sehubungan dengan itu, M. Amin Abdullah mencermati adanya empat model (tipologi) pemikiran (filsafat) pendidikan Islam.[36]
1.      Tipologi Tekstualis Salafi
Tipologi ini berupaya memahami ajaran dan nilai mendasar yang terkandung di dalam al Qur'an dan Hadits Nabi dengan melepaskan diri, kurang begitu mempertimbangkan situasi konkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim (era klasik maupun kontemporer) yang mengitarinya. Masyarakat ideal yang diidamkan adalah masyarakat salaf (masyarakat era kenabian dan para sahabat yang menyertainya), dengan rujukan utama pemikirannya adalah al Qur'an dan Hadits Nabi tanpa menggunakan pendekatan yang lainnya. Dengan kata lain tipologi tekstualis salafi ini mementingkan dalil-dalil nash ayat-ayat Al Qur'an dan Hadits.[37]
Dalam konteks pemikiran (filsafat) pendidikan Islam model tekstualis salafi ini menyajikan dengan cara memahami atau menafsirkan nash-nash tentang pendidikan dengan nash yang lain atau dengan menukil dari pendapat sahabat, juga berusaha membangun konsep pendidikan Islam melalui kajian tekstual lughawi atau berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Arab dalam memahami nash Al Qur'an dan Hadits Nabi Saw, kata-kata sahabat (periode salaf), untuk selanjutnya berusaha mempertahankan, melestarikan nilai-nilai dan praktik pendidikan tersebut hingga sekarang.
Dalam bangunan filsafat pendidikan Islam model ini dapat dikategorikan sebagai tipologi perennial tekstualis salafi dan sekaligus esensial tekstualis salafi. Pamameter perennial tekstualis salafi adalah watak regresifnya yang ingin kembali ke masa salaf sebagai masyarakat yang ideal yang difahaminya secara kontekstual. Sedangkan parameter esensial tekstualis salafi adalah watak konservatifnya untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai luhur yang telah dipraktikkan pada masa salaf, yang juga dipahami secara tekstual tanpa adanya verivikasi atau falsifikasi kontekstualisasi.[38]
a.       Asas Belajar Tekstualis Salafi
Pendidikan adalah usaha untuk membantu atau menolong mengembangkan manusia sebagai makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial, makhluk susila dan makhluk keagamaan. Wahyu yang pertama kali diturunkan mengandung perintah untuk membaca. Dari wahyu pertama itu pula, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Islam memerintahkan supaya belajar yang merupakan sarana peningkatan terbaik untuk mencerdaskan umat manusia, khususnya bila ilmu yang dipunyai tersebut diikuti dengan amal shalih.[39]
Asas belajar tipologi perennial esensial salafi diorientasikan kepada upaya membantu peserta didik menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf, menjelaskan, menyebarkan warisan sejarah dan budaya salaf melalui sejumlah inti pengetahuan yang terakumulasi serta telah berlaku sepanjang masa karena karena itulah penting untuk diketahui oleh semua orang.[40]
Metode pembelajarannya bisa dilakukan melalui ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan dan pemberian tugas. Manajemen kelas lebih diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur, tapat dan sesuai tatanan, teratur dalam menjalankan tugas-tugas. Peranan guru pendidikan agama Islam adalah sebagai figur yang memiliki otoritas tinggi meyakini kebijakan masa lalu, penyebar kebenaran dan seorang yang ahli dalam bidangnya. Seorang guru harus sanggup menguasai mata pelajaran yang sedang diberikannya. Memperdalam pengetahuan tentang bidang studi yang dikuasainya. Seorang guru atau dosen mempunyai kedudukan yang tinggi dalam studi tingkat tinggi, merupakan tempat kepercayaan dan penghargaan bagi murid-muridnya.
b.      Kurikulum Tekstualis Salafi
Kurikulum adalah istilah yang telah diketahui oleh setiap orang, setiap orang pernah mendengarkan kata itu. Tetapi mungkin hanya sedikit orang yang tahu bahwa kurikulum sangat penting posisinya dalam pendidikan. Sebagus apapun rumusan tujuan jika tidak dilengkapi dengan program yang tepat maka tujuan itu tidak akan tercapai. Kurikulum ini adalah laksana jalan yang dilalui dalam mencapai tujuan.[41]
Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani yaitu curir yang berarti pelari dan curere berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olah raga yang berarti a litle racecourse (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olah raga). Dari pengertian ini, dalam konteks dunia pendidikan memberi pengertian sebagai circle of instruction yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat di dalamnya. Pendapat yang lain mengatakan bahwa kurikulum adalah arena pertandingan, tempat pelajar bertanding untuk menguasai pelajaran guna mencapai garis penamat berupa diploma, ijazah atau gelar kesarjanaan.
Dalam kosa kata bahasa Arab, istilah kurikulum dikenal dengan kata manhaj yang berarti jalan terang atau jalan terang yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Apabila kata tersebut dikaitkan dengan pendidikan, maka manhaj berarti jalan terang yang dilalui pendidik atau guru latih dengan orang- orang yang didik atau      dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mereka.[42]
Kurikulum pendidikan agama Islam berbeda-beda isinya menurut kondisi perkembangan agama Islam, karena kaum muslimin berada di dalam lingkungan dan negeri yang berbeda-beda, walaupun kaum muslimin telah sepakat bahwa Kitab suci al Qur'an dan Hadits dijadikan sebagai sumber pertama dan kedua dalam mengembangkan ilmu-ilmu agama maupun umum.[43]
Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam menurut tipologi tekstualis salafi ini adalah pengembangan kurikulum yang ditekankan pada doktrin-doktrin agama, kitab-kitab, serta mata pelajaran-mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada masa salaf. Dalam kurikulum pendidikan agama Islam bidang aqidah dan ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji, nikah dan lain- lain) atau baca al Qur'an   misalnya, dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan dan menyebarkan aqidah serta amaliah ubudiyah yang benar sesuai dengan amaliah para ulama salaf.[44]
Adanya penyelewengan dibidang-bidang tersebut akan segera diketahui dengan tolak ukur mereka yakni mengembalikan ajaran agama kepada keadaan semula sebagaimana yang terjadi di masa salaf al shalih (zaman Nabi Muhammad Saw, sahabat dan masa tabi'in).
2.      Tipologi Tradisionalis Madzhabi
Tradisionalis Madzhabi ini berupaya memahami ajaran, nilai mendasar yang terkandung dalam al Qur'an dan Hadits melalui bantuan khazanah pemikiran Islam klasik, namun seringkali kurang begitu mempertimbangkan sosio-historis masyarakat setempat yang hidup di dalamnya. Hasil pemikiran ulama terdahulu dianggap sudah pasti atau absolut. Pola pikirnya selalu bertumpu pada hasil ijtihad terdahulu dalam menyelesaikan segala persoalan. Kitab kuning menjadi rujukan pokok.
Dalam pengembangannya pemikiran (filsafat) pendidikan Islam ia lebih menekankan pada pemberian terhadap materi pemikiran para pendahulunya yang menjadi sumber acuannya dan tidak ada keberanian untuk mengubah substansi materi pemikiran para pendahulunya. Pendidikan Islam lebih berfungsi sebagai upaya mempertahankan serta mewariskan nilai, tradisi dan budaya serta praktik sistem pendidikan Islam terdahulu dari generasi ke generasi berikutnya tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan konteks perkembangan zaman dan era kontemporer yang dihadapinya.
a.       Asas Belajar Tradisionalis Madzhabi
Pendidikan adalah suatu proses. Proses interaksi antara pendidik dengan peserta didik.[45] Pendidikan Islam menurut tipologi ini lebih berfungsi sebagai upaya mempertahankan, mewariskan nilai, tradisi dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan konteks perkembangan zaman dan era kontemporer yang dihadapinya. Bertolak dari karakteristik tersebut, asas belajar yang dikehendaki oleh tipologi ini adalah membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran agama sebagai hasil interpretasi ulama pada masa pasca salaf atau masa klasik, pertengahan untuk menjelaskan serta menyebarkan warisan ajaran, nilai-nilai dan pemikiran para pendahulunya yang dianggap mapan secara turun temurun karena penting untuk diketahui semua orang.[46]
Metode-metode pembelajarannya bisa dilakukan melalui cermah, dialog, diskusi atau perdebatan dengan tolak ukur pandangan-pandangan imam mazhabnya dan pemberian tugas. Manajemen kelas lebih diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur, tepat sesuai tatanan, teratur dalam menjalankan tugas-tugas.
Evaluasi menggunakan ujian-ujian obyektif yang terstandarisasi dan tes kompetensi yang berbasis amaliah. Peranan seorang guru pendidikan agama Islam adalah sebagai figur yang memiliki otoritas tinggi, penyebar kebenaran dan seorang yang ahli pada bidangnya.[47]
b.      Kurikulum Tradisionalis Madzhabi
Tujuan pendidikan yang akan dicapai oleh kurikulum dalam pendidikan Islam, adalah sama dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri yaitu membentuk akhlak yang mulia, dalam kaitannya dengan penciptaan manusia. Dalam hal ini, maka dalam pengertian yang luas, kurikulum pendidikan Islam berisi materi untuk pendidikan seumur hidup, sebagai realisasi tuntunan Nabi untuk menuntut ilmu mulai dari buaian sampai ke liang lahat. Berhubungan dengan asas belajar yang dimiliki oleh tipologi tradisionalis madzhabi ini, maka pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam ditekankan pada doktrin-doktrin, nilai-nilai agama sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitab karya ulama terdahulu, yang berisi tentang hal-hal- hal penting (dasar) dan esensial serta mata pelajaran-mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada masa pasca salaf.
Kurikulum pendidikan agama Islam bidang aqidah dan ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji dan nikah), misalnya dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan dan menyebarkan pemikiran aqidah hasil karya imam-imam mazhab terdahulu serta mengamalkannya sejalan dengan pandangan mereka, tanpa ada keberanian untuk mengkritisi atau mengubah substansi materi pemikiran para pendahulunya, kecuali hanya memberikan syarh dan hasyisyah terhadap pemikiran pendahulunya. Melanggar ajaran dan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan pandangan para pendahulunya dianggap sebagai penyelewengan di bidang-bidang tersebut.
3.      Tipologi Modernis
Berbeda dengan kedua tipologi di atas, tipologi modernis lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang bebas, modifikatif, progresif dan dinamis            dalam  menghadapi, merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman yang secara terus menerus agar dapat berbuat sesuatu, mampu mengadakan penyesuaian kembali sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan dari lingkungan yang ada di masa sekarang.
Modernis berupaya memahami ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung        di dalam al Qur'an dan Hadits dengan semata-mata mempertimbangkan kondisi, tantangan sosio-hostoris dan kultural yang dihadapi oleh masyarakat Muslim kontemporer tanpa mempertimbangkan muatan khazanah intelektual muslim era klasik yang terkait dengan persoalan keagamaan dan kemasyarakatan.
Tipe ini ingin memasuki teknologi modern tanpa mempertimbangkan khazanah intelektual muslim dan bangunan masyarakat muslim yang terbentuk berabad-abad, dengan obsesi pemahaman langsung terhadap nash al Qur'an dan langsung loncat ke peradaban modern. Dalam konteks pemikiran (filsafat pendidikan Islam) sikap bebas dan modifikatif tersebut bukan berarti kebebasan tanpa adanya keterikatan. Hanya saja kemodernan ini bersifat relatif, terikat oleh ruang dan waktu, karena yang modern secara mutlak hanyalah Tuhan pencipta seluruh alam. Untuk mengarah ke sana diperlukan sikap lapang dada dalam menerima, mendengarkan pemikiran dan teori pendidikan orang lain dalam rangka mengejar ketinggalan serta mencapai kemajuan pendidikan Islam itu sendiri.[48]
Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa pemikiran (filsafat) pendidikan Islam modernis memiliki sikap yang progresif, dinamis dan sikap bebas modifikatif dalam pengembangan pendidikan Islam menuju ke arah kemajuan pendidikan Islam yang diridhoi olehNya. Untuk mengarah ke sana diperlukan sikap lapang dada dalam memerima, mendengarkan pemikiran dan teori pendidikan orang lain, termasuk di dalamnya melakukan transformasi, mengakomodasi atau bahkan mengadopsi pemikiran, temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sistem pendidikan modern yang berasal dari non muslim, dalam rangka mengejar ketinggalan serta mencapai kemajuan sistem pendidikan Islam itu sendiri.[49]
Dalam praktiknya produk pemikiran (filsafat) pendidikan Islam semacam itu terkadang terjebak pada pandangan dikotomis yang memilahkan antara pendidikan agama dengan pendidikan umum. Pendidikan agama diorientasikan pada pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang bermuara pada persoalan aqidah, syariah, akhlak atau iman, Islam, ihsan dalam rangka membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa. Sementara pendidikan umum diorientasikan pada penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya dan seni modern, kadang-kadang kurang diwarnai oleh jiwa dan nilai ajaran agama yang absolut, bahkan pendidikan agama ikut terjebak pada orientasi penguasaan ilmu pengetahuan agama (aspek kognitif) semata dan kurang menghiraukan terhadap aspek afektif dari agama, sehingga menimbulkan sikap kepribadian yang membelah (split of personality).
Untuk menghindari hal tersebut maka proses pendidikan Islam yang bertendensi ke arah kemajuan tersebut perlu mendasarinya dengan nilai-nila absolut (wahyu) yang bersifat membimbing pikiran atau kecerdasan dan kemampuan dasar untuk tumbuh dan berkembang. Dengan nilai absolut itulah proses pendidikan akan berlangsung ke arah tujuan yang tidak berubah-ubah, sungguhpun ia secara progresif, dinamis berusaha melakukan adopsi dan akomodasi terhadap sistem pendidikan yang berasal dari luar.[50]
a.       Asas Belajar Modernis
Asas belajar menurut tipologi modernis lebih diorientasikan kepada upaya memberikan ketrampilan-ketrampilan dan alat-alat kepada peserta didik sehingga dapat digunakan untuk berinteraksi dengan lingkungannya yang selalu berada pada proses perubahan, sehingga ia bersikap dinamis dalam menghadapi, merespon tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan lingkungannya serta mampu menyesuaikan dan melakukan penyesuaian kembali dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan iptek dengan dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran universal (Allah).[51]
Metode pembelajaran bisa dilakukan dengan cooperative learning, scientific method (metode ilmiah), yaitu dengan jalan mengidentifikasi masalah-masalah terkait dengan tema-tema yang dibahas, merumuskan hipotesis dan melaksanakan penelitian di lapangan. Manajemen kelas lebih diarahkan pada pemberian kesempatan kepada peserta didik untuk berpartisipasi, keterlibatan aktif     dalam pembelajaran, serta penciptaan proses belajar mengajar yang demokratis.
Evaluasi pembelajarannya lebih banyak menggunakan evaluasi formatif dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu yang berbeda antara satu dengan lainnya, sehingga perlu dikembangkan kemampuan (kelebihannya) tersebut. Selain itu juga menggunakan metode feedback yakni berusaha mencari dan menemukan umpan balik secara terus menerus. Peranan guru pendidikan agama Islam adalah sebagai fasilitator dan memimpin serta mengatur pembelajaran.
Melalui pendidikan inilah para pendidik Islam mampu mengahasilkan pribadi-probadi yang nantinya menjadi pendidik pula, menyebarkan agama Islam kepada generasi selanjutnya. Kemunduran Islam dapat dianggap akibat dari kurang giatnya para pendidik. Demikian pula sebaliknya kemajuan Islam sebagian besar terletak pada kegiatan pendidiknya. Ini adalah hukum yang banyak terbukti dalam sejarah perkembangan agama Islam, yang harus mendapatkan perhatian dan peringatan bagi para pendidik Islam umumnya.[52]
Jelaslah kiranya betapa pentingnya peranan pendidik bagi perkembangan agama Islam dan betapa erat hubungan antara usaha-usaha para pendidik tersebut dengan perkembangan dan kemajuan pendidikan Islam.
b.      Kurikulum Modernis
Dengan asas belajar seperti itu, maka dalam mengembangkan kurikulum pendidikan agama Islam lebih ditekankan pada penggalian problem-problem yang tumbuh dan berkembang di lingkungannya atau yang dialami oleh peserta didik, untuk selanjutnya ia dilatih atau diberi pengalaman untuk memecahkannya dalam perspektif ajaran dan nilai-nilai yang terkandung di dalam agama Islam.[53]
Dalam pengembangkan kurikulum pendidikan agama Islam misalnya, peserta didik diajak untuk menggali, menemukan dan mengidentifikasi masalah- masalah kerusakan lingkungan, dekadensi moral, kenakalan remaja, sex bebas dan lain-lain. Masalah-masalah yang telah diidentifikasi oleh peserta didik tersebut akan menjadi tema-tema pembelajaran pendidikan agama Islam. Tema-tema tersebut bersifat tentatif, sehingga bagi peserta didik di kelas atau di sekolah lain bisa jadi berbeda sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman mereka masing-masing.
4.      Tipologi Neo-Modernis
Neo-Modernis berupaya memahami ajaran al Qur'an dan nilai yang mendasar, terkandung di dalam al Qur'an dan Hadits dengan mengikutsertakan, mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan yang ditawarkan oleh dunia modern. Tipologi neo modernis selalu mempertimbangkan al Qur'an dan Hadits, khazanah pemikiran Islam klasik, serta pendekatan-pendekatan keilmuan yang muncul pada abad ke-19 dan 20 Masehi. Jargon yang sering dikumandangkan adalah memelihara hal-hal baik yang telah ada sambil mengembangkan nilai-nilai baru yang lebih baik.[54]
Jargon    tersebut menggaris bawahi      adanya unsur   perenialisme    dan esensialisme, yakni sikap regresif, konservatif terhadap nilai-nilai ilahi dan nilai-nilai insani (budaya manusia) yang telah ada, telah dibangun serta dikembangkan oleh para pemikir dan masyarakat terdahulu. Namun sikap tersebut muncul setelah dilakukan kontekstualisasi dalam arti mendudukkan khazanah intelektual muslim klasik pada konteksnya. Pemikiran-pemikiran muslim klasik bukan berarti telepas dari kritik terutama dalam konteks keberlakuannya pada masa sekarang. Hal-hal yang dipandang relevan akan dilestarikan sebaliknya bila kurang relevan akan disikapi dengan cara mencari alternatif lainnya yang baik dalam konteks pendidikan masyarakat muslim kontemporer. Hal ini menunjukkan adanya sikap dinamis dan progresif serta sikap rekonstruktif walaupun tidak radikal. Karena itu, dalam konteks pemikiran (filsafat) pendidikan Islam ia dapat dikategorikan sebagai tipologi perennial esensial kontekstual falsifikatif.[55]
Dengan jargon yang dikumandangkan oleh tipologi neo modernis ini, menggaris bawahi perlunya para pemikir, pemerhati dan pengembang pendidikan Islam untuk mendudukkan pemikiran, pengembangan pendidikan yang dilakukan pada era kenabian dan sahabat serta oleh para ulama terdahulu (pasca salaf) sebagai pengalaman mereka dalam konteks ruang dan zamannya.
Selanjutnya pengalaman tersebut perlu dilakukan uji falsifikasi, agar ditemukan relevan atau tidaknya dengan konteks sekarang maupun yang akan datang. Hal-hal yang dipandang relevan akan dilestarikan, sebaliknya bila kurang relevan akan dicarikan alternatif lainnya atau dilakukan rekonstruksi tertentu dalam konteks pendidikan masyarakat muslim kontemporer.
a.       Asas Belajar Neo Modernis
Asas belajar dalam pendidikan agama Islam diorientasikan untuk membantu peserta didik dalam menguak, menemukan dan menginternalisasikan kebenaran-kebenaran masa lalu pada masa salaf atau masa klasik dan pertengahan. Selain itu tipologi ini ingin menjelaskan, menyebarkan warisan ajaran dan nilai salaf atau para pendahulunya yang dianggap mapan dalam ujian sejarah, karena itu penting diketahui oleh semua orang. Di lain pihak, tipologi ini ingin memberikan ketrampilan dan alat-alat kepada peserta didik yang dapat dipergunakan untuk berinteraksi dengan lingkungannya yang selalu berada dalam proses perubahan, sehingga ia bersikap dinamis dalam menghadapi, merespon tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan lingkungannya, serta mampu menyesuaikan, melakukan penyesuaian kembali dengan tuntutan perubahan sosial dan perkembangan IPTEK yang dilandasi nilai-nilai kebenaran universal (Allah).
Bagi pendidikan modern, kesinambungan merupakan tantangan terbesar, sebab kebutuhan terus bertambah dan tujuan yang terus memperbaharui diri membebani pendidikan dengan tanggung jawab yang baru pula. Sehubungan dengan pengalaman-pengalaman baru, metode kreatif dan bermacam-macam  ketrampilan. Dari sinilah muncul seruan bahwa tugas pendidikan adalah membantu individu agar mampu belajar bagaimana belajar.[56]
Sedangkan dalam hal-hal yang bersifat antisipasi terhadap masalah-masalah negatif yang aktual di masyarakat, maka peserta didik dilatih untuk mengolah informasi tentang masalah-masalah tersebut, serta memecahkannya secara kreatif dalam perspektif ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam dengan memperhatikan konteks sosial budaya masyarakatnya.
Metode pembelajarannya dapat menggunakan metode ceramah dan dialog, diskusi atau perdebatan dan pemberian tugas. Manajemen kelas lebih diarahkan pada pembentukan karakter, keteraturan, keseragaman, bersifat kaku dan terstruktur, tepat dan sesuai tatanan, teratur dalam menjalankan tugas-tugas. Evaluasi pembelajarannya bisa menggunakan ujian-ujian obyektif yang terstandarisasi atau ujian-ujian essay, tes prestasi belajar yang terstandarisasi serta
Menggunakan tes kompetensi berbasis amaliah. Evaluasi  lebih banyak menggunakan evaluasi formatif dengan asumsi bahwa setiap peserta didik mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu yang berbeda-beda antara peserta didik satu dengan peserta didik lainnya, sehingga perlu dikembangkan kemampuan- kemampuan yang telah dimiliki peserta didik tersebut.[57]
Peran seorang guru pendidikan agama Islam adalah sebagai figur yang memiliki otoritas tinggi dan meyakini kebajikan masa lalu, penyebar kebenaran serta tentunya seorang yang ahli dalam bidangnya. Tugas seorang pendidik tidaklah mudah. Para pendidik memegang peranan sangat penting dalam proses pendidikan. Terutama pada saat-saat permulaan proses pendidikan dan permulaan taraf pendidikan (masa kanak-kanak) titik berat kebijaksanaan dan titik berat pertanggungjawaban terletak di tangan pendidik.
Dalam doktrin agama Islam terdapat hal-hal yang bersifat doktrin, rasional, supra rasional, nilai-nilai esensial dan universal serta ada pula hal-hal yang berada dalam wilayah akal serta nilai-nilai bersifat instrumental dan lokal.
b.      Kurikulum Neo Modernis
Untuk mencapai asas belajar yang dikembangkan tipologi neo modernis ini, maka pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam ditekankan pada pelestarian doktrin-doktrin, nilai-nilai agama yang dipandang mapan sebagaimana tertuang dan terkandung dalam kitab-kitan terdahulu, berisi hal-hal utama (dasar) dan esensial, serta mata pelajaran-mata pelajaran kognitif sebagaimana yang ada pada masa salaf dan pasca salaf, juga ditekankan pada penggalian problem-problem yang tumbuh dan berkembang di lingkungan atau yang dialami oleh peserta didik, untuk selanjutnya ia dilatih atau diberi pengalaman untuk mecahkannya secara kritis dalam perspektif ajaran dan nilai-nilai agama Islam.[58]
Dalam kurikulum pendidikan agama Islam yang menyangkut doktrin-doktrin ibadah khusus (shalat, puasa, zakat, haji, nikah dan lain lain) atau nilai- nilai esensial dalam Islam yang teruji dalam sejarah, seperti tawadhu', pentingnya jihad fi sabilillah, larangan hasud, dendam dan sebagainya merupakan ajaran nilai-nilai yang harus dilestarikan, dipertahankan dan disebarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, untuk diamalkan dengan benar dalam kehidupan sehari-hari.
Namun demikian dalam hal-hal yang bersifat aktual peserta didik juga dilatih untuk menggali problem-problem yang tumbuh dan berkembang di lingkungannya atau yang dialami oleh peserta didik, berbeda konteksnya dengan yang dialami oleh para pendahulunya. Peserta didik dilatih atau diberi pengalaman untuk memecahkannya dalam perspektif ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Misalnya peserta didik diajak untuk menggali, menemukan dan mengidentifikasi masalah-masalah pengangguran, dekadensi moral, kenakalan remaja, narkoba sebagai dampak dari proses globalisasi budaya dan etika. Masalah-masalah yang telah diidentifikasi tersebut akan menjadi tema-tema pembelajaran pendidikan agama Islam.
Dilihat dari kurikulum yang diterapkan oleh tipologi ini, maka jelas terlihat bahwa fungsi pendidikan yang ingin dicapai adalah: upaya mengembangkan potensi peserta didik secara optimal serta interaksinya dengan tuntutan dan kebutuhan lingkungannya, tanpa mengabaikan tradisi yang telah mengakar di masyarakat dan masih relevan untuk dilestarikan, menumbuh kembangkan nilai-nilai  ilahiyah dan insaniyah dalam konteks perkembangan IPTEK dan perubahan sosial yang ada.[59]
2.      Tipologi filsafat pendidikan barat
Meskipun para filosof adalah orang-orang yang suka berselisih dalam membahas permasalahannya, namun setidaknya mereka sepakat bahwa kehidupan tidak teruji adalah kehidupan yang tidak layak untuk dijalani.
Pencarian filsafati merupakan usaha tidak mengenal lelah untuk merambah ke wilayah-wilayah kehidupan, keyakinan, prasangka-prasangka belum teruji yang tidak lain adalah usaha untuk menyaring dan menguji kesejatian (truth) secara kritis dan berkelanjutan. Tugas ini adalah tanpa akhir, dan menjadi ukuran kualitas usaha-usaha spekulatif yang kita lakukan. Semakin mantap kita menangani persoalan yang muncul dari penyelidikan dengan penuh gairah, semakin kental semangat filsafat yang kita miliki.[60]
Dalam proses pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat sepanjang kurun waktu dengan obyek permasalahan hidup di dunia telah melahirkan berbagai macam pandangan, adakalanya satu dengan lainnya bersifat saling menguatkan tetapi tidak jarang pula yang berbeda atau bahkan saling berlawanan.
Hal ini disebabkan karena perbedaan pendekatan yang dipakai oleh mereka berbeda walaupun untuk satu obyek yang sama. Selain itu faktor zaman dan pandangan hidup yang melatarbelakangi mereka, serta tempat di mana mereka bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka. Theodore Brameld menentukan klasifikasi filsafat pendidikan menjadi empat macam. Perlu kita ketahui bahwa perbedaan klasifikasi ini bukanlah sesuatu yang definitif dan formal, namun ia hanya berbeda dalam penekanan suatu sistem yang menjadi ciri khas dari suatu ajaran filsafat pendidikan tersebut. Adapun aliran-aliran tersebut adalah:[61]
a.       Tipologi Progressivisme
Adalah aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh di abad 20 ini.Biasanya aliran ini dihubungkan dengan pandangan hidup liberal yang memiliki sifat-sifat fleksibel (tidak kaku, tidak menolak pada perubahan, dan tidak terikat oleh doktrin tertentu), curios (ingin mengetahui, ingin menyelidiki) toleran dan mempunyai hati terbuka.
Progressivisme disebut dengan nama yang berbeda-beda seperti Pragmatisme, Instrumentalisme, Experimentalisme dan Environmentalisme.[62]
Masing-masing istilah dari penamaan itu merupakan perwujudan dari ide asasiyang menjadi wataknya. Dikatakan sebagai progressivisme, karena aliran ini mengakui dan berusaha mengembangkan asas progressivisme dalam semua realita, terutama dalam diri manusia sebagai subjek. Pragmatisme karena asas utama dalam kehidupan manusia adalah untuk tetap survive terhadap semua tantangan-tantangan hidup manusia, harus praktis, melihat segala sesuatu dari segi kegunaannya. Instrumentalisme karena aliran ini menganggap bahwa potensi intelegensi manusia sebagai kekuatan utama manusia harus dianggap sebagai alat atau instrumen untuk menghadapi semua tantangan dan problematika yang dihadapi umat manusia. Intelegensi bukanlah tujuan, tetapi alat untuk hidup, untuk kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadian manusia.
a.       Asas belajar progressivisme
Aliran ini telah meletakkandasar- dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berfifkir untuk mengembangakan bakat dan kemampuan yang terpendam di dalam dirinya tanpa tanpa dihambat oleh rintangan-rintangan yang dibuat oleh orang lain.[63]
Filsafat progresivisme mempunyai konsep bahwa anak didik memepunyai akal dan kcaerdasan. Akal dan kecerdasan merupakan potensi kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan potensiyang bersifat kreatif dan dinamis tersebut anak didik mempunyai bekal untuk menghdapi dan memecahkann problem-promlem yang dihadapinya. Dengan potensi yang dimilikinya tersebut, anak didik berkembang menjdi individu yang aktif, kreatif dan dinamis dalam mengahdapi lingkungannya.
Praktek kerja dilabolatorium, bengkel dan kebun juga merupakan kegiatan-kegiatan yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing atau belajar untuk bekerja.[64] Sehingga progresivisme mengahrapakan ingin  out put pendidikan disekolah yang memiliki keahlian dan kecakapan langsung dapat diterapakn d masyarakat luas.
Selain itu, anak didik harus diberi kebebasan dan kemerdekaan dalam bersikap, berbuat dengan sesuai dengan cara masing-masing. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kecerdasan dan daya kreasi anak. Untuk itu pendidikan hendaknya yang progresive. Dengan kata lain prinsip yang digunakan adalah kebebasan prilaku anak didik sebagai subjek pendidikan, sedangkan seorang guru hanya sebagai mentransferkan ilmunya sebagai pokok dari profesi tenaga pendidik dan murid tidak hanya saja menerima pengetahuan sebanyak-banyaknya dari guru, tanpa terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Dalam abad ini, terjadi perubahan besar mengenai konsep pendidikan dan pengajaran. Hal ini mempengaruhi pula terhadap cara belajar mengajar disekolah yang kini berangsur-angsur beralih menuju  penyelengaraan sekolah yang progresif.
b.      Kurikulum progresivisme
Sikap progresivisme memandang segala sesuatu berdasrkan fleksibilitas dan dinamis, tercermin dalam pandangan tentang kurikulum sebagai pengalaman eduktif, bersifat experimental, adanya rencana dan susunan yang teratur.
Progresivisme menghendaki sekolah yang memiliki kurikulum bersifat fleksibilitas ( tidak kaku, tidak menolak perubahan dan tidak terikat oleh doktrin tertentu), luas dan terbuka. Dengan berpijak pada sistem tersebut, maka kurikulum dapat direvisi dan dievaluasi setiap saat sesuai dengan kebutuhan setempat.[65]
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, progresivisme menghendaki jenis kurikulum yang bersifat luwes dan terbuka. Jadi, kurikulum edukatifnya harus dapat memenuhi dan mewadahi aspirasi anak, orang tua dan masyarakat. Sifat kurikulumnya adalah bersifat eksperimental atau tipe core curriculum[66].
Kurikulum dipusatkan pada pengalaman (kurikulum) yang didasarkan atas kepentingan manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang serba kompleks. Karena itu memerlukan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya yang serba kompleks. Karena itu memerlukan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan demi kelangsungan hidupnya. Hidup bukan untuk kelestarian pertumbuhan saja, melainkan juga untuk perkembangan pribadinya. Karena itulah manusia harus belajar dari pengalaman.
Progresivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan secara terpisah, tetapi harus terintregrasi menjadi satu unit. Dengan demikian core currculum mengandung ciri integrated curriculum  dengan menggunakan metode problem solving.
Melalui proses pendidikan dengan menggunakan kurikulum yang bersifat integrated  kurikulum ( masalah yang ada didalam masyarakat disusun terintegrasi) dengan pendidikan belajar sambil berbuat  dan metode pemecahan masalah diharapkan anak didik menjadi maju mempunyai kecakapan praktis dan dapat memecahkan problem sosial sehari-hari dengan baik.
3.      Tipologi esensialisme
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan nilai yang jelas. Bagi aliran ini, pendidikan adalah suatu pemelihara kebudayaan dan tradisi. Maka esensialisme dianggap para ahli sebagai aliran yang selalu ingin kembali pada kebudayaan lama, warisan sejarah telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan umat manusia.
Dasar pijakan aliran filsafat pendidikan ini lebih fleksibel, terbuka untuk perubahan. Toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan, tahan lama, memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih mempunyai tata aturan yang jelas.
a.       Asas belajar esensialisme
Belajar dapat didefenisikan sebagai jiwa yang berkembang dengan sendirinya sebagai substansi spritual yang membina dan menciptakan diri sendiri. Bila orang berhadapan dengan benda-benda bukan berarti semua itu telah memiliki ruang, bentuk dan ikatan waktu. Bentuk, benda dan raung waktu telah ada pada budi manusia sebelum ada pengamatan.
Belajar adalah proses aktif pribadi untuk mengerti dan menguasai sesuatu. Murid menduduki posisi sebagai penerima isi semesta ini. Tentang proses belajar bagaimana subjek mengerti realita. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada angkatan berikutnya.
b.      Kurikulum esensialisme
Materi atau isi tentang suatu hal yang akan dipelajari tersimpul dalam kurikulum. Karena sesuatu tidak terbatas di dalam kehidupan manusia, maka perlu ada pedoman untuk melaksanakan pendidikan supaya tujuan pendidikan tercapai . dalam artian kemampuan dasar menjadi prioritas bagi kaum esensialis.
Isi pendidikan perlu ditetapkan guna efektifitas pembinaan kepribadian. Artinya perlu ada materi pokok yang mangarahkan pengetahuan sebagai isi dan harus dikuasai dalam kehidupannya. Kurikulum esensialisme dianggap sebagai miniatur dunia  yang oleh guru  dan administrator pendidikan itu dipandang  sebagai kenyataan benar, dan bernilai berguna. Esensialisme menggunakan sebagai pola kurikulum dalam sejarah perkembangan pendidikannya.
 Kurikulum yang minimal sebagai tak dapat dikurangi itu berdasarkan pada dasar kepercayaan esensialisme. Yaitu, bahwa dalam realita semesta ini, segala sesuatu itu ada dalam hubungannya dengan hukum-hukum objektif yang mutlak sebagai eksistensi dan sebagai fakta-fakta.
4.      Tipologi perennialisme
Aliran perenialisme mengandung kepercayaan filsafat, berpengang pada nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi. Dengan melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modren telah menimbulkan banyak krisis di berbagai bidang umat manusia.
Perennialisme mengandung pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perennialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan di zaman sekarang. Dari pendapat ini dapat diketahui bahwa perennialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi seorang untuk bersikap tegas dan lurus.
a.       Asas belajar perennialisme
Menurut perennialisme, penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsipnya adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Prinsip pertama mampu mempunyai peranan penting karena ia telah memiliki evidensi terseendiri. Dengan pengetahuan, barang penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal memahami faktor-faktor dan problema yang perlu diselesaikan dan berusaha untuk mengadakan penyelesaian terhadap masalahnya.[67]
      Sekolah sebagai tempat yang utama dalam pendidikan mempersiapkan anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam bidang akalnya sangat bergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah mendidik dan mengajarkannya[68] .
b.      Kurikulum perennilaisme
Kurikulum yang diinginkan oleh aliran ini tersendiri atas subjek atau mata pelajaran sebagai disiplin ilmu dengan menolak menggabungkan IPA, dan IPS. Hanya mata pelajaran yang sungguh mereka anggap dapat mengembangkan kemampuan inetelektual seperti matematika, fisika, kimia, biologi, sedangkan yang berkenaan dengan emosi dan jasmani seperti seni rupa agak dikesampingkan. Pelajaran yang diberikan termasuk pelajaran yang sulit karena memerlukan kecerdasan yang tinggi. Kurikulum ini memberikan pelajaran yang sungguh-sungguh untuk studi di perguruan tinggi.
Prinsip kurikulum dasar bahwa pendidikan sebagai persiapan berlaku pula pada pendidikan menengah. Perennialisme membedakan kurikulum pendidikan menengah antara program menengah dan kejuruan.
Aliran perennialisme juga menaruh perhatian besar terhadap pendidikan orang dewasa. Tujuan pendidikan orang dewasa adalah meningkatkan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam pendidikan lama sebelum itu, menetralisir pengeruh-pengaruh jelek yang ada. Nilai pendidikan orang dewasa secara filosofi adalah mengembangkan sikap bijaksana guna mampu mereorganisasi pendidikan anak-anaknya dan membina kebudayaanya.
5.      Tipologi rekonstruksionalisme
Kata rekonstruksionalisme berasal dari bahasa bahasa inggris  reconstruct  yang menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruksionalisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Dalam arti rekonstruksi pengalaman yang berlangsung dalam hidup.
Aliran rekonstruksionalisme pada prinsipnya sepaham dengan aliran perennialisme yaitu berawal dari krisis kebudayaan modern. Keduanya memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zman yang mempunyai kebudayaan tergangguv oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
a.       Asas belajar rekonstruksionalisme
Aliran rekonstruksionalisme berkeyakinan penyelematan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karena itu maka pembinaan kembali daya intelektual dan spritual sehat melalui pendidikan yang tepat akan membina manusia dengan nilai norma yang benar demi generasi sekarang dan genarsi yang akan datang. Sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Aliran ini juga memmiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu masa dunia yang diatur oleh rakyat secara demokratis, bukanlah suatu negara yang dikuasai oleh golongan tertentu.
Dalam aliran ini, hendak mengatasi kritis kehidupan modern, dengan berusaha mencari kesepakatan semua mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan umat manusia dalam satu tatanan baru seluruh lingkungannya. Sehingga mampu mewujudkan cita-cita pendidikan yang dimaksudkan.
b.      Kurikulum rekonstruksionalisme
Kurikulum rekonstruksionalisme berisi tentang mata pelajaran yang  berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa depan. Kurikulumnya lebih berisi  tentang masalah masalah sosial, ekonomi dan politik yang dihadapi umat manusia, termasuk di dalamnya masalah-masalah pribadi para peserta didik itu sendiri dan program-program perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif, struktur organisasi kurikulum terbentuk dari cabang-cabang ilmu sosial dan proses-proses penyelidikan ilmiah sebagai metode pemecahan masalah.[69]














BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
  1. Perbandingan antara tipologi filsafat pendidikan islam dengan pendidikan barat.
  1. Perbedaan antara tipologi filsafat pendidikan islam dengan pendidikan barat.
Agama islam memberi penghargaan tinggi terhadap akal, tidak sedikit ayat-ayat al qur`an yang manganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak berfikir dan menggunakan akalnya. Semua semua bentuk didalam al Qur`an tersebut mengandung anjuran, dorongan bahkan perintah agar manusia banyak berfirkir dan menggunakan akalnya. [70]
Perkembangan filsafat dalam dunia  islam, nampak nyata setelah umat Islam
 ( bangsa Arab  pada masa itu) berkomunikasi dengan dunia sekitarnya, berhubungan dengan peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa arab yang didudukinya serta menerima pengaruhnya.
Perkembangan filsafat tersebut dipercepat oleh kaum muslimin dengan dengan adanya usaha peterjemahan berbagai macam buku ilmu pengetahuan, terutama filasafat yunani ke dalam bahasa Arab. Namun demikian, bukan berarti bahwa pemikiran filosofis belum dikenal oleh umat islam sebelum itu. Sebelum masuknya istilah filsafat dan filosof dalam dunia Islam, umat Islam telah mengenal istilah “ al hikmah “  dan usaha mencari al hikmah, mempunyai pengertian dasar yang sama dengan filsafat. [71]
Dalam beberapa hal, rasanya tidak cukup proposional jika membandingkan filsafat pendidikan Islam  yang beriorentasi pada wahyu dengan filsafat pendidikan barat yang murni rasional. Akan tetapi mengingat epistimologi Islam tidak mengenal pertentangan antara wahyu dengan  dan akal, maka perbandingan antara filsafat Islam dengan filsafat pendidikan barat ini menjadi mungkin.
Dalam dunia pendidikan barat, kita akan menemukan banyak konsep berbeda mengenai tujuan umum pendidikan. Sebagian diantaranya adalah pendidikan untuk hidup, pendidikan untuk mengisi waktu luang, pendidikan adalah untuk mencapai efesiensi sosial, pendidikan adalah untuk mencapai kehidupan demokrasi dan sebagainya.
Dengan beberapa rujukan diatas, maka perbandingan antara filsafat pendidikan Islam dan barat ini menjadi penting adanya dalam merumuskan sebuah filsafat yang khas dengan ajaran Islam, berbeda dengan filsafat-filsafat pendidikan yang lainnya. Dilain pihak perbandingan semacam itu perlu dilakukan dalam rangka tegak dan kokohnya epistimologi pendidikan Islam yang mandiri. Secara umum ada beberapa perbandingang filsafat perbandingan antara filsafat pendidikan Islam dan barat  antara lain :
1.      Filsafat pendidikan Islam berdasarkan pada wahyu, sedangkan filsafat pendidikan Barat berpijak pada humanistis murni dan filsafat pendidikan profan yang mengandalkan rasionalisasi. Atas dasar ini filsafat pendidikan
Islam tidak mengenal kebenaran terbatas, tetapi universal. Sedangkan filsafat pendidikan Barat mengenal kebebasan parsial, sehingga sering terjadi semacam pertarungan antar ide atau teori pendidikan. Hal ini jelas membuat para pemerhati pendidikan mengalami kebingungan dalam menentukan teori pendidikan ideal dan dominan sebagai acuan bagi perumusan tujuan dan orientasi pendidikan.
2.      Filsafat pendidikan Islam berusaha mengembangkan pandangan integral antara yang profan dan yang sakral, sedangkan filsafat pendidikan Barat hanya mengembangkan aspek profan saja. Karena itu di dalam filsafat pendidikan Barat kepribadian sifat manusia dikembangkan secara parsial. Kondisi ini merupakan imbas dari sistemnilai yang dialami Barat. Pendidikan model Barat tidak bermaksud mencapai nilai-nilai tertentu, tetapi ia cenderung untuk mencapai tujuan secara singkat, yaitu mencetak manusia mono dimensial, ahli dalam bidang tertentu tetapi mengabaikan aspek ruhani manusia. Keadaan ini berbeda dengan filsafat pendidikan Islam yang mengintegralkan antara kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat sekaligus. Hal ini karena filsafat pendidikan Islam memandang manusia sebagai khalifah Allah yang perlu melakukan relasi baik dengan Tuhan, sesama maupun dengan alam lingkungan sekitarnya.
3.      Filsafat pendidikan Islam memperhatikan dan mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, mulai dari hati hingga akal, sedangkan filsafat pendidikan Barat hanya mementingkan akal saja. Semua realitas kehidupan manusia sesungguhnya tidak dapat dijelaskan melalui rasio. Ada hal-hal yang hanya dapat dijelaskan oleh hati dan sanubari manusia. Filsafat pendidikan Islam memandang hati bukan hanya secara fisik biologis, tetapi hati adalah raja yang memimpin seluruh tubuh manusia berfungsi sebagai sarana untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan.
4.      Ide-ide dan gagasan-gagasan dalam filsafat pendidikan Islam selain bersifat teoritik, juga bersifat realistik yang dapat diwujudkan dalam bentuk tingkah laku. Adapun ide-ide dan gagasan-gagasan dalam filsafat pendidikan Barat sulit ditransformasikan dalam bentuk action, apalagi dijadikan sebagai pandangan hidup         (way of life). Filsafat idealisme, realisme semuanya hanya ada dataran ideal yang sulit ditransformasikan dalam kehidupan nyata.
Dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan proses yang suci untuk mewujudkan tujuan asasi hidup, yaitu beribadah kepada Allah dengan segala maknanya yang luas. Dengan demikian pendidikan merupakan bentuk tertinggi dari ibadah dalam Islam dengan alam sebagai lapangannya, manusia sebagai pusatnya dan hidup beriman sebagai tujuannya.


Pendidikan Islam memperhatikan keseimbangan antara kemaslahatan individu dan kemaslahatan kelompok, sehingga tidak terjadi penganiayaan diantara mereka. Dengan demikian pendidikan Islam tidak seperti pendidikan komunis yang membuat individu kehilangan kebebasan dan menjadi satu jari-jari yang berpusat pada roda kepentingan masyarakat dan tidak pula seperti pendidikan Barat yang memberikan kebebasan individu tetapi terkadang mengorbankan kebebasan orang lain dan kehormatan masyarakat.          
Para filosof Islam sangat memperhatikan perbedaan-perbedaan individual antara anak-anak yaitu perbedaan-perbedaan yang timbul karena keturunan, perbedaan pembawaan dan bakat dari kecil. Mereka mengerti benar akan perbedaan individual ini, sehingga para filosof sangat memperhatikan hal ini dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Hal ini sangat berbeda dengan filosof Barat di pertengahan abad ke-20, mereka berkata bahwa pendidikan dapat melakukan segala-galanya, dengan melupakan masalah-masalah keturunan serta pengaruh-pengaruhnya, melupakan bakat anak-anak sejak kecil.
 Menurut pandangan Barat, pendidikan lebih diorientasikan kepada pembentukan anak didik untuk menjadi manusia sesungguhnya, dengan pendidikan yang      dimilikinya      maka    anak didik aka mampu  untuk mempertahankan hidupnya di masa sekarang maupun di masa akan datang. Pendidikan Barat lebih mengutamakan kepada pendidikan secara kognitif saja (kecerdasan akal), sedangkan pendidikan Islam selain mengembangkan pendidikan yang berorientasi kepada kognitif, tidak kalah penting adalahkecerdasan seorang anak didik terhadap (hubungan dengan Allah SWT sebagai penciptaNya).
  1. Persamaan antara Tipologi Filsafat Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Barat.
Peradaban manusia sekarang telah mengalami suatu cobaan yang dahsyat, persis seperti apa yang dihadapi di Negara Yunani pada abad ke-3 Masehi, di Semenanjung Arabia abad ke-6 Masehi dan di Eropa pada abad ke-15 Masehi. Cobaan yang ada yaitu keruntuhan berbagai pola hidup dan cara pandang terhadapnya. Dalam menghadapi dilema tersebut muncul dua kelompok. Kelompok yang pertama yakni melihat nilai-nilai lama yang mulai runtuh sedangkan nilai-nilai baru belum muncul untuk menggantikan nilai-nilai lama. Sedangkan kelompok yang kedua yaitu melihat keruntuhan nilai-nilai lama itu menyelinap masuk ke dalam nilai-nilai baru dan membantu menegakkannya.[72]
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan antara filsafat pendidikan Islam dengan filsafat pendidikan Barat, yang jelas filsafat pendidikan Islam harus bisa bersikap bijak dan selektif untuk mengambil hal-hal positif dari filsafat pendidikan Barat. Nilai-nilai positif dari filsafat pendidikan Barat merupakan "hikmah"  yang hilang dari kaum muslimin. Oleh karena itu, kaum muslimin harus mengambil dan memanfaatkannya demi kemajuan dan kejayaan Islam kembali.
Di samping itu, dalam beberapa hal filsafat pendidikan Islam tak jarang mengambil konsep-konsep atau teori-teori yang berasal dari filsafat pendidikan Barat. Adopsi dan adaptasi semacam itu dilakukan karena yang menjadi keyakinan ilmiah kaum muslimin adalah:
(QS. Al Baqarah ayat 269)
Selain al Qur’an yang ada di dalam Surat al Baqarah tersebut, di dalam hadits juga disebutkan bahwa: Perkataan hikmah adalah barang yang hilang dari kaum mukmin, maka ia berhak atasnya dimanapun menemukannya. (HR.Turmudzi).
Dalam pandangan Islam, seorang yang berilmu (berpengetahuan) memiliki kedudukan yang tinggi sekalipun ia berasal dari golongan rendah, karena di dalam Islam tidak memandang kepada darah dan keturunan tetapi Islam lebih memandang kepada ketaqwaan dan ilmu.
No.
Tipologi filsafat pendidikan
Parameter/ ciri pemikiran
1.       


Tektualis salafi
Mempertahankan dan melestarikan nilai- nilai Dimasa salaf  Masyarakat yang ideal adalah masyarakat salaf
Perenialisme
Mempertahankan     dan     kembali     pada kebudayaan masa lampau
Melestarikan,         membanggakan         dan memulihkan kepercayaan dan nilai-nilai yang ada pada masa silam
Tektualis mazhabi
Mempertahankan        dan        melestarikan pemikiran Islam klasik
Esensialisme
Menginginkan manusia kembali kepada kebudayaan lama,       terutama       sejak renaissance
2.       
Modrenisme
Progresif dan dinamis dalam menghadapai
dan merespon tuntutan dan kebutuhan
lingkungan (adaptasi dengan tuntutan dan perubahan sosial serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi)
progressiffisme
Menginginkan seseorang untuk maju dan berbuat    sesuatu       sehingga       mampu mengadakan    penyesuaian    diri    dengan lingkungannya
3.       
Neo modernis
Konservatif         dengan       melakukan kontekstualisasi dan uji falsifikasi Membangun kembali pendidikan Islam dengan   mempertimbangkan      khazanah intelektual muslim klasik
rekonstruksionalisme
Melalui lembaga dan proses pendidikan,
ingin merombak tata susunan yang lama
untuk menciptakan suatu dunia dengan
kebudayaan yang baru







[25] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al Husna, 1992), Cet II, hal.34
[26] Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Surabaya: Usaha Nasional, 1986), Cet III, hal. 221
[27] Ibid., hal. 222
[28] Ibid., hal. 224
[29] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat (PSAPM) Bekerja Sama dengan Pustaka Pelajar, 2003), hal. 4
[30] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar Ruzz, 2006), hal. 39
[31] Ibid., hal. 40
[33] Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1987), hal. 7
[34] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Surabaya: Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat (PSAPM) Bekerja Sama dengan Pustaka Pelajar, 2003), hal. 44
[35] Ibid., hal. 100
[36] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 88
[37] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, op.cit., hal. 50
[38] Ibid., hal. 52
[39] Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Cet I, hal. 59
[40] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, op.cit., hal. 126
[41] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2006), Cet I, hal. 98
[42] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal. 56
[43] Ali Al Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal. 58
[44] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, loc.cit.
[45] Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif, (Yogyakarta: Pustak Pelajar, 2005), hal. 130
[46] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi,op.cit.,hal. 128
[47] Ibid., hal. 129
[48] Samsul Nizar, op.cit., hal. 45
[49] Ibid., hal. 5
[50] Ibid., hal. 56
[51] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, op.cit., hal. 130
[52] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al Ma'arif, 1962), Cet I, hal. 29
[53] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi, loc.cit.
[54] Ibid., hal. 95
[55] Ibid., hal. 96
[56] Hery Noer Aly dan Munzier, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta: Friska Agung Insani, 2003), Cet III, hal. 37
[57] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, op.cit., hal. 134
[58] Ibid., hal. 132
[59] Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Bandung: Nuansa, 2003), hal. 43
[60] James Collins, Dkk, Perennialisme Melacak Jejak Filsafat Abadi, (Yogyakarta: Tiara Wacana,1996), hal. 187
[61] Zuhairini, op.cit., hal. 20
[62] Muhammad Noor Syam op. cit., hal. 228

[63] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2007), hal. 89
[64] Ibid., hal. 90

[65] Jalaluddin dan Abdullah Idi, op.cit., hal 95

[66] Ibid., hal. 96

[67] Jalaluddin dan Abdullah Idi, op.cit., hal. 111
[68]Ibid.,

[69] Redja Mudyaharjo, op.cit., hal. 156-157

[70] Muhaimin, dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hal. 306
[71]Toto Suharto, op.cit., hal. 64-66
[72] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka Al Husna,
1988), hal. 105



Tidak ada komentar:

Posting Komentar