Senin, 10 Maret 2014

Kekerasan Dalam RumahTangga.............


BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.    Kekerasan Dalam RumahTangga
Keluarga adalah unit lingkungan terkecil yang didalamnya terdapat hubungan pertalian kekeluargaan (ibu, bapak, anak). Juga bisa diartikan orang yang bertempat tinggal di rumah, bisa saudara, kerabat, pembantu atau yang lainnya. Namun di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara yang ikut bertempat tinggal, misalnya orang tua, baik dari suami atau istri, saudara kandung atau saudara tiri dari kedua belah pihak.[1]
Menurut Kamus Bahasa Indonesia kontemporer, kekerasan adalah perihal atau sifat keras, paksaan, perbuatan yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang  lain.[2]  Secara leksikal kekerasan diturunkan dari bahasa Latin, yakni violentia yang berarti kekerasan, keganasan, aniaya, perkosaan, kehebatan.[3] Menurut Johan Galtung,  kekerasan  terjadi  bila  manusia  dipengaruhi  sedemikian  rupa  sehingga realisasi  jasmani  dan  mental  aktualnya  berada  di  bawah  realisasi  potensialnya.[4]
 Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 2 butir a sampai c menyebutkan bahwa rumah tangga adalah :
a.       Suami, istri, dan anak.
b.      Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena adanya hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga.
c.       Orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.[5]
Firman Allah dalam surat At-Tahriim ayat 6 yang memberikan gambaran terkait keluarga sebagai berikut :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydߊqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pköŽn=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâŸxÏî ׊#yÏ© žw tbqÝÁ÷ètƒ ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtƒur $tB tbrâsD÷sムÇÏÈ  

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Jika melihat firman Allah di atas adalah suatu perintah bagi suami untuk menjaga isteri juga anak-anaknya  yang merupakan tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, adapun hubungannya dengan konsep keluarga di atas adalah, ayat ini tidak menyebutkan perindipidu namun Allah sebutkan secara global yang termasuk di dalamnya istri, anak, dan keluarga yang ada hubungan darah, perkawinan maupun perwalian.[6]
Kekerasan ada begitu banyak definisi dan masing-masing berbeda satu sama lain. Dengan kata lain, bila yang potensial lebih tinggi dari yang actual,  tetapi bahwa intipati kekerasan itu selalu sama dan tentu saja menyakitkan. Kekerasan pada hakikatnya yang terdalam menyentuh kodrat naluri manusia. Sosok kekerasan pada dasarnya  tidak  membahagiakan.  Mengacu  pada  paham  kekerasan, maka dengan kekerasan itu sebetulnya manusia diformat sedemikian rupa sehingga realisasi  potensialnya  atau  apa  yang  mungkin  untuk  diwujudkan  sesuai  dengan tingkat wawasan, pengetahuan, sumber daya dan kemajuan yang dicapai jumlahnya tetap berada dalam realisasi potensial.[7]
Apakah  kekerasan  dalam  kehidupan  manusia  sesuatu  yang  sudah  menjadi instink atau reaksi yang naluriah. Wendell H. Oswalt dalam bukunya Understanding Our  Culture,  menolak  argumen  itu,  kekerasan  katanya  adalah  learned  behavior, tingkah  laku  yang  diperoleh  karena  belajar.  
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat dirumuskan Kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan atau sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan perempuan baik secara fisik maupun secara psikologis.
         Hal penting lain bahwa kekerasan terjadi dengan cara kebetulan tidak dikatagorikan sebagai kekerasan walaupun menimbulkan kerugian pada perempuan.[8]
          Kekerasan terhadap perempuan[9] adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, atau ancaman tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum  maupun kehidupan pribadi. Dalam Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan  Pasal 1[10].
          Pengertian Kekerasan dalam rumah tangga penullis mengambil kesimpulan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah  kekerasan yang tidak saja menimbulkan luka tetapi juga termasuk kekerasan terhadap seksual, psikologis, penalantaran dalam rumah tangga.
1.      Bentuk-bentuk KDRT
KDRT merupakan jenis kekerasan yang memiliki sifat-sifat khas yakni dilakukan di dalam rumah, pelaku dan korban adalah anggota keluarga. Maka kekerasaan  dalam Rumah Tangga tidak hanya dalam bentuk fisik melainkan bisa berupa Psikis, Melantarkan rumah tangga, Kekerasaan Seksual namun bentuk kekerasan dalam rumah tangga tidak saja terjadi pada perempuan tetapi bisa juga terjadi pada laki-laki tetapi frekuensinya lebih kecil dibandingkan dengan perempuan.
Adapun bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga di mulai dari mengancam melukai, merusak barang  atau menakut - nakuti, mencabut hak dan melakukan pengasingan, penganiayaan secara emosional dan mental dengan jalan penyerangan seksual serta berbagai  penyerangan secara fisik atau tanpa senjata[11].
Adapun bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi dapat dibagi kepada :
a.       Kekerasan Pisik
b.      Kekerasan psikologis  
c.       Kekerasan Seksual
d.      Penelantaran dalam rumah tangga
      Dengan demikian penulis merincikan sebagaimana dibawah ini :
a.       Kekerasan Fisik
           Kekerasan fisik adalah kekerasan yang mengenai badan dan akan mengakibatkan rasa sakit,  atau luka, dalam Pasal 6 Undang-Undang Penghapusan  Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebutkan “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau Luka berat”Kekerasan fisik biasanya berdampak langsung di tubuh seperti memar-memar di tubuh atau goresan luka.
Akibat dari  kekerasan fisik adalah luka-luka mulai dari luka yang ringan sampai berat bahkan kematian. Pada umumnya kekerasan yang terjadi pada perempuan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut :
a)      Luka pada kulit dan Jaringan Kulit.[12]
          Luka pada kulit adalah suatu hal yang paling sering didapatkan pada penganianyaan perempuan. Ada beberapa bentuk perlukaan yang sering dikaitkan dengan penganianyan adalah :
1.      Memar akibat tamparan yang kuat dengan meninggalkan bekas telapak tangan.
2.      Memar yang membentuk gambaran jari atau bu jari sering tampak pada muka, lengan atau pantat
3.       Memar yang berbentuk garis, lngkungan, lingkaran yang di akibatan oleh tali pinggang, dan sebagainya
4.      Bekas gigitan manusia yang berbentuk sabit
5.      Luka bakar,  seperti disebabkan oleh api yang terbuka, benda padat yang panas atau benda cair yang panas, sudutan api rokok pada tangan, kaki dan pantat merupakan bentuk yang cukup sering dijumpai, benda padat seperti bentuk strika dipunggung
b)      Luka di daerah Wajah[13]
      Luka di daerah wajah dapaat meliputi mata, telinga, hidung dan mulut :
1.      Mata adalah organ yang sensitive, bila seseorang kena pukulan di mata  maka akan terjadi kemungkinan pendarahan dalam rongga bola mata, di lokasi lansa mata, pendarahan retiana mata, atau pendarahan selaput kelopak mata
2.      Hidung yang mengalami pula akan menimbulkan pergeseran sekat hidung atau patahnya tulang rawan, atau mimisan.
3.      Mulut yang mendapat pukulan langsung dapat menimbulkan terlepasnya gigi bahkan patah tulang rahang bawah.
4.      Pukulan tunggal yang keras pada telinga dapat menimbulkan robekan gendang telinga dan pendarahan, pendarahan dibelakang gendang telinga, patah pada tulang tengkorak.
c)      Luka pada Kepala dan susunan Syaraf Pusat.[14]
         Menjabak rambut hingga suatu daerah rambut tercabut merupakan hal yang umum dalam penganiayaan. Kekerasan tumpul dengan intensitas tuingg pada kepala dapat mengakbatkan gangguan pada susunan syaraf pusat
d)     Luka pada Dada[15]
          Kekerasan dengan benda tumpul mengenai dada dapat menimbulan patahnya tulang rusuk, dapat menimbulkan komplikasi pendarahan  dalam rongga dada dan masuknya udara  ke dalam rongga dada atau ke jaringan kulit.
e)      Luka Pada Tulang[16]
        Kekerasan terhadap tulang menimbulkan rasa sakit dan bengkak, kelumpuhan serta kesulitan bergerak.
b.      Kekerasan  psikologis  ini  sering  juga  dikenal  dengan  kekerasan mental  atau  dalam  beberapa  referensi  ada  juga  yang  memakai  istilah tersebut dengan kekerasan verbal.
Apapun istilahnya yang dianggap lebih cocok, yang jelas kekerasan jenis ini tidak menimbulkan bukti-bukti fisik seperti adanya memar, luka, goresan dan lain sebagainya, melainkan kekerasan psikologis ini lebih berdampak pada kejiwaan dan umumnya pemulihannya tidaklah mudah, bahkan  dapat  melampaui  waktu  yang  cukup  lama.  Kekerasan  psikologis dapat merusak jiwa, semangat seseorang sebab ia   menghilangkan kegembiraan dan vitalitas hidup.[17]
Sebagaimana dikemukakan dalam literatur-literatur yang ada, salah satu bentuk kekerasan verbal yang paling nyata dan mudah dikenali adalah memanggil atau  menyebut  seseorang  dengan  sebutan yang sangat merendahkan, seperti: " bodoh, pelacur, anjing, bangsat, dan sebagainya. beberapa bentuk tersembunyi/ tersamarkan sehingga sulit dikenali, yang paling  mudah  dikenali  hanya  nama  panggilan/  sebutan  untuk  isteri yang merendahkan saja.[18] Kekerasaan psikologis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, Hilangnya rasa percaya diri. Hilangnya kemampuan  untuk bertindak, Rasa tidak berdaya , dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh korban tidak bervariasi banyak sebagaimana dengan bentuk kekerasan lainnya. Berdasarkan keterangan atau pernyataan dari para korban tersebut dapat diartikan bahwa bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh korban adalah berupa adanya pemaksaan  atau  pemerkosaan  terhadap  isteri  sendiri  untuk  melakukan hubungan  intim, dan selain itu adanya pelecehan  seksual terhadap  isteri.[19]
c.         Penelantaran rumah tangga, Istilah kekerasan penelantaran  keluarga ini dalam Undang-undang Nomor  23  Tahun  2004  tentang  Penghapusan  Kekerasan  dalan  Rumah Tangga   disebut   dengan   penelantaran   rumah   tangga,   ada  juga   dalam referensi yang lain menyebutnya dengan istilah kekerasan ekonomis. Kekerasan penelantaran keluarga  ini  terjadi  ketika  laki-laki  atau  suami  tidak  mempedulikan keluarga  dalam  rumah  tangga,  suami  tidak  memberikan  nafkah  kepada isteri dan anak, suami meninggalkan  isteri dan anak-anak dalam kurun waktu yang lama, suami bukan hanya tidak memberikan uang belanja untuk kebutuhan   keluarga   kepada   isteri.[20]
2.      Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Rumah Tangga
Dalam rumah tangga, ketegangan dan konflik menjadi hal yang biasa, dalam perselisihan pendapat, perdebatan bahkan pertengkaran dapat dilihat sebagai sesuatu yang normal, dimana hal-hal tersebut menjadi bagian dari bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang secara spesifik mengacu kepada pengertian kekerasan dalam rumah tangga.
Terjadi kekerasan dalam rumah tangga itu bukan hanya karena masalah lemahnya penegak hukum. Namun juga dikarenakan ketakutan dari anggota keluarga yang teraniaya untuk melaporkan kasus kekerasan tersebut kepada polisi. Kekerasan dalam rumah tangga timbul karena kondisi ekonomi, atau menganggap sebagai aib yang tidak perlu diketahui orang lain.
Kekerasan yang seharusnya tidak perlu terjadi dalam suatu lembaga yang disebut keluarga. Menyelesaikan persoalan rumah tangga dengan cara melakukaan kekerasan terhadap pasangan atau anggota keluarga tidak akan menuntaskan masalah. Dalam hal ini dapat mengakibatkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga adalah disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :
1)      Faktor Ekonomi
Pekerjaan bisa memicu adanya KDRT, jika pekerjaan itu ternyata berpenghasilan  sedikit atau bahkan karena pekerjaannya serabutan sehingga penghasilannya tidak dapat memenuhi nafkah hidup keluarga. Penghasilan keluarga, Kebutuhan yang membengkak sekalipun penghasilanna besar pun dapat memicu adanya KDRT. Maka dengan factor ekonomi sebagai faktor penyebab terjadinya KDRT, menurut Veronika Ata,[21] berhubungan   dengan   incame   (penghasilan)   keluarga.   Penghasilan   ini   juga berkaitan erat dengan pekerjaan. Pekerjaan seorang bapak keluarga sangat menentukan kehidupan ekonomi keluarga. Tentunya penghasilan lebih besar dari kebutuhan    dalam   rumah   tangga   atau   manajemen    keuangan    yang   patut diperhatikan.
2). Faktor Cemburu
Kecemburuan baik di pihak isteri maupun suami bisa memicu terjadinya kekerasan. Maka cemburu  selalu  menghiasi  kehidupan  keluarga.  Kecemburuan  telah  menjadi beban yang berat tatkala relasi di antara suami dan istri mulai mengendor. Padahal  sesunguhnya  kecemburuan  itu terjadi  bisa saja terjadi  karena “komunikasi”  yang  kurang  antara  suami-istri.  Kecemburuan  bisa  diatasi  jika suami-istri  selalu berkomunikasi  secara baik dan terbuka,  jika dalam pekerjaan ataupun relasi social.[22]
3). Faktor menggunakan Narkoba
Masyarakat  Mandailing Natal sebagaimana  masyarakat  yang keras watak dan sifat egos. Ketika seorang suami/bapak telah menghisap ganja, maka biasanya ada kecenderungan  untuk bertindak  brutal dan baik terhadap isteri ataupun anak.
Berdasarkan  paparan  di  atas,  ada  pemahaman  bahwa  fenomena  kasus KDRT di Mandailing Natal nampaknya memiliki fenomena tersendiri. Artinya bahwa sekalipun banyak kasus KDRT yang terjadi, tetapi tidak semuanya diproses secara hukum berdasarkan UU KDRT, tetapi menggunakan jalur kekeluargaan” atau kesepahaman para pihak” serta sebaliknya banyak pula yang belum terkuak atau bahkan diselesaikan secara kekeluargaan.
B.     Hukum Kekerasan Dalam RumahTangga
1.      Kajian KDRT menurut Hukum Islam
KDRT dalam pandangan Islam, bisa disebut kejahatan atau bukan ketika bersesuaian dengan konsep Islam dalam memandang kekerasan sebagai kejahatan atau jarimah adalah perbuatan-perbuatan tercela (qabih) yang ditetapkan oleh hukum syara.
Adapun yang ditetapkan oleh hukum syara’ tersebut adalah sebagai berikut .
1)      Jika dalam Ayat واضربوهنّ  jelas fi’il amr yang berasal dari fi’il madhi bermakna pukul artinya seseorang yang menjatuhkan sesuatu dari anggota tangannya kepada orang lain.
2)      Untuk Ayat وضرب الله مثلا kalimat fi’il madI ini bukan arti pukul, namun mempunyai arti i’tibar (perumpamaan).
3)       Jika untuk Ayat عن اضرب بعصاك الحجر artinya fi’il amar yang tersebut sama artinya dengan pukul, hanya bedanya dengan suatu alat.[23]
Bagi fuqaha yang berpendapat tentang dibolehkanya melakukan pemukulan, mereka mendasarkannya pada surat an-Nisa’ (4): 34 yang berbunyi :
Baen baris na da bg
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  

Artinya :  Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

        Asbabun Nuzul ayat diatas adalah (kronologi historis) sebagaimana diriwayatkan oleh az-Zamakhsyari tentang peristiwa Sa’ad ibn Ar-Rabi’ ibn ‘Amr dan isterinya Habibah binti Zaid ibn Abi Zuhair sebagai peristiwa yang melatar belakangi turunya Ayat ini. Diriwayatkan bahwa Habibah nusyuz terhadap suaminya Sa’ad, salah seorang pemimpin Ansar. Lalu Sa’ad memukul Habibah, puteri Zaid ibn Zuhair ini mengeluhkan perlakuan suaminya kepada ayahnya. Sang ayah kemudian mengadukan hal itu kepada Nabi. Nabi menganjurkan Habibah membalas dengan setimpal (qisas). Berkenaan peristiwa itulah turun surat an-Nisa’ Ayat 34 ini. Setelah Ayat turun, Nabi bersabda: “Kita  menginginkan  satu cara, Allah menginginkan cara yang lain. Yang diinginkan Allah itulah yang terbaik” (أردنا أمرا وأراد الله أمرا والذى أراد الله خير). Kemudian dibatalkan hukum qisas terhadap pemukulan suami itu.[24]
Ada juga beberapa hadist yang dikerap kali dijadikan dasar dalam masalah ini oleh fuqaha, diantaranya:
ألآواستوصوا بالنساء خيرا, فإن هن عوان عندكم ليس تملكون منهن شيئا غير ذالك إلا أن يأتين بفاحشة مبينة, فإن فعلن فاههجروهن فى المضاجع واضربوهن ضربا غيرمبرح, فإن أطعنكم فلاتبغو عليهن سبيلا ألا إن لكم على نسائكم حقا فحقكم عليهن فلا يوطعن فروشكم من تكرهون ولايأذن فىبيوتكم لمن تكرهون ألاوحقهن عليكم أن تحسنوا إليهن فىكسوتهن وطعامهن[25]
Sebenarnya masih terdapat ayat lain yang cukup beralasan untuk dijadikan pembanding dalam mengkaji persoalan pemukulan terhadap isteri ini yaitu;
وخذ بيدك ضغثا فاضرب به ولاتحنث إنا وجدنه صابرا نعم العبدإنه أواب[26]
Sebagaian ulama berpendapat dengan berdasarkan pada ayat di atas tentang dibolehkannya suami memukul isterinya dalam rangka memberi pelajaran. Seperti halnya nabi Ayyub yang memukul isterinya karena telah melanggar hak-hak suami.[27]
Dari Ayat di atas juga menunjukkan tentang dibolehkannya pemukulan terhadap isteri dengan batasan tidak sampai melampaui batas sebagai instrument pendidikan, dalam arti lain, dibolehkanya tindakan tersebut bukan berarti tanpa adanya unsur kemakruhan atau suatu yang lebih baik jika harus dihindari.[28]
Walaupun kelihatanya secara tekstual syari’at membolehkan suami memukul isteri yang nusyuz, akan tetapi bagaimanapun harus diperhatikan penjelasan Rasulullah dalam menetapkan syarat-syarat diperbolehkannya tindak pemukulan tersebut, yaitu tidak boleh dimaksudkan untuk menghina derajat atau martabat wanita, menyakiti isterinya dan tidak boleh dilakukan dengan motifasi menggangu atau tindakan balas dendam.[29] Dalam hal pemukulan, para mufassir sepakat bahwa pemukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghair mubarrih) pukulan yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak muka.
Menurut Muhammad 'Ali as-Sabuni dan Wahbah az-Zuhaili, bagian yang harus dihindari dalam tahap pemukulan adalah:
a.       Bagian muka, karena muka adalah bagian tubuh yang dihormati.
b.      Bagian perut dan bagian lain yang dapat menyebabkan kematian, karena   pemukulan ini bukan bermaksud untuk mencidrai apalagi membunuh isteri yang nusyuz, melainkan untuk mengubah sifatnya.
c.       Memukul hanya pada satu tempat, karena akan menambah rasa sakit dan akan memperbesar timbulnya bahaya.[30]
Dalam rangka memberi pendidikan bagi isteri yang nusyuz  ar-Razi dan at-Tabari juga tampaknya memiliki pemahaman yang tidak jauh berbeda dengan ulama fiqh. Mereka tidak menafikan adanya kemungkinan untuk memukul isteri asal telah diyakini melakukan nusyuz. Hanya  saja untuk masalah pemukulan ini, kedua mufassir tersebut bahkan tampaknya semua mufassir sepakat memberikan catatan bahwa pukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghaira mubarrih), yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak muka. Ringkasnya, mereka mengatakan wa ad-dharbu mubah wa tarkuhu afdal (pemukulan itu boleh dan meninggalkannya lebih baik).[31]
Sebagaimana para mufassir yang lain Muhammad Abduh berpendapat perintah memukul isteri bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal dan fitrah. Memukul diperlukan jika keadaan sudah buruk dan akhlak isteri sudah rusak. Suami boleh memukul isteri ketika suami melihat bahwa rujuknya isteri hanya dengan cara memukulnya. Akan tetapi, jika keadaan sudah membaik dan isteri sudah tidak nusyuz lagi cukup dengan cara menasehatinya atau mengasingkannya dari tempat tidur, maka tidak perlu memukulnya. Setiap keadaan menentukan hukuman yang sesuai, sementara itu kita diperintahkan menyayangi kaum perempuan, tidak menganiaya, menjaganya dengan cara yang baik, dan jika menceraikannya harus dengan cara yang baik pula.[32]
Terdapat penjelasan yang menarik dari Rasyid Ridha, yaitu  penolakannya terhadap anggapan orang bahwa Islam menindas kaum perempuan karena adanya perintah pemukulan ini. Ia menggariskan bahwa pemukulan dilakukan sebagai langkah terakhir jika langkah-langkah sebelumnya tidak berhasil, dan itupun harus dalam batas tidak menyakitkan. Lebih lanjut ia menyatakan: “jangan membayangkan kaum perempuan Islam itu lemah dan kurus yang dagingnya disobek-sobek oleh cemeti suaminya.” Untuk itu, ia mengutip hadis Rasulullah SAW; “Apakah salah satu diantara kalian akan memukul isterinya seperti halnya memukul budak lalu menyetubuhinya di malam hari?”. Menurut Rasyid Ridha pemukulan adalah obat pahit (‘ilaj murr) dan ia mengatakan bahwa laki-laki yang saleh tidak akan memukuli perempuan (isterinya) walaupun itu diperbolehkan.[33]
Diantara ketiga hak atau kewenangan yang dimiliki seorang suami dalam memperlakukan istri nusyuz dengan berdasarkan pada surat an-Nisa’ (4): 34 di atas, hak suami dalam memukul merupakan salah satu hak yang mengundang polemik dan perdebatan panjang, khususnya dikalangan ulama fiqh, ahli tafsir (mufassir) dan pemikir-pemikir feminis kontemporer.
Jika para ulama sepakat dengan pemukulan terhadap isteri nusyuz diperbolehkan asal masih dalam batas-batas yang wajar dan tidak bertujuan untuk menyakiti, pada dasarnya ulama juga menekankan agar tidak memukul. Sedangkan bagi para feminis ada yang berpendapat bahwa pemukulan tidak pernah dianjurkan oleh Al-Qur’an. Pendapat ini dilontarkan oleh para kaum feminis seperti Ashgar Ali Engineer, ia berpendepat dengan mengutip pendapat Ahmed Ali dari kitab Ragib Al-Mufradat fi Garib Al-Qur’an yang menerangkan bahwa kata daraba mempunyai makna metaforis yaitu melakukan hubungan seksual.[34]
Pada dasarnya Nabi sangat menghargai perempuan, asbab an-nuzul ayat 34 ini ketika Habibah mengadu bersama ayahnya kepada Nabi tentang pemukulan suaminya. Nabi ketika itu dengan bersimpati menyuruh Habibah agar membalas (qisas) terhadap suaminya, tetapi Allah menurunkan ayat ini. Di sini Nabi menunjukkan simpati, keinginan untuk mengangkat derajat perempuan atau korban kekerasan, tetapi Ayat ini terkesan memihak laki-laki. Menurut Ashgar dengan mengutip pendapat S.T Lokhandwala, dalam The Potition of Women Under Islam; bahwa ayat ini bersifat kontekstual, karena suami Habibah merupakan pemimpin Ansar (Sa’ad bin Rabi’). Keputusan Nabi untuk mengqisas suaminya mendapat penolakan dari laki-laki Madinah, mungkin kekhawatiran Nabi akan sarannya menimbulkan kegemparan dalam sebuah masyarakat di mana laki-laki benar-benar dominan. Ayat ini diwahyukan sebagai anjuran yang menyejukkan demi mengendalikan kekerasan laki-laki terhadap perempuan dan menganjurkan mereka untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang didominasi laki-laki.[35]
Ayat ini tampak mengizinkan pemukulan terhadap isteri, tetapi Lokhandwala berpendapat bahwa konteks Madinah tidak dapat diabaikan. Dilihat dari konteks ini, Ayat tersebut mempunyai maksud agar tidak menimbulkan reaksi yang terlalu keras, pertama Al-Qur’an mengatakan bahwa perempuan yang tidak taat sebaiknya diperingatkan, dan jika mereka tetap dalam nusyuz (pemberontakannya) mereka harus dipisahkan di tempat tidur, dan jika mereka tetap tidak berubah juga, maka mereka harus dihukum. Tetapi Allah meminta agar tidak mencari-cari jalan untuk memusuhi mereka dan berbaikan dengan mereka jika mereka taat.[36]
Dalam menyikapi persoalan nusyuz Amina Wadud menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Qur’an Dan Perempuan, bahwa nusyuz adalah  gangguan keharmonisan keluarga, dengan mengutip surat an-Nisa’ Ayat 34; karena itu, wanita yang baik adalah (qanitat), memelihara diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka. Adapun wanita-wanita yang kamu takutkan (nusyuz), nasihatilah mereka, pisahkan mereka di tempat tidur yang terpisah, dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka menaatimu, jangan mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Berarti, seorang wanita harus mematuhi suaminya, jika tidak, suami boleh memukulnya. Amina berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah untuk memberi jalan pemecahan ketidak-harmonisan antara suami dan isteri.[37] Oleh karena itu memahaminya sebagai sebuah dalil yang membolehkan seoarang suami dalam memberikan hukuman atau sanksi kepada isteri yang nusyuz adalah tidak tepat.
Bagi Amina, ia setuju dengan dua cara pertama dalam menyikapi isteri nusyuz, yaitu manasehati dan menjahuinya dari tempat tidur. Mengenai cara yang ketiga yaitu memukul, dia menentangnya. Menurutnya memukul bukanlah jalan terbaik dan tidak akan dapat menyelesaikan masalah yang terjadi, justru akan semakin membuat persoalan menjadi berat. Memukul harus dimaknai sebagai cara untuk kembali mengadakan usaha damai dan kalau tidak bisa maka lebih baik diakhiri dengan perceraian.
Inilah standar penting untuk menilai apakah perbuatan tersebut termasuk kriminalitas atau bukan. Kejahatan juga bukanlah suatu yang fitri pada diri manusia. Kejahatan bukan pula "profesi" yang diusahakan oleh manusia. Juga bukan penyakit yang menimpa manusia. Kejahatan adalah tindakan melanggar aturan, baik aturan dengan Rabbnya, dirinya, dan dengan manusia lainnya. Sehingga dalam Islam Homoseksual atau masokhisme adalah kejahatan, bukan penyakit mental apalagi pembawaan manusia. Berdasarkan syariat Islam ada beberapa bentuk kekerasan atau kejahatan yang menimpa wanita dimana pelakunya harus diberi sanksi yang tegas. Namun perlu ditegaskan bahwa kejahatan itu bisa saja menimpa laki- laki pelakunya juga bisa perempuan pelakunya.[38] Berikut ini beberapa perilaku kriminal dan sanksinya menurut terhadap pelakunya, yaitu :
1)      Qadzaf, yakni melempar tuduhan . Misalnya menuduh wanita baik- baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80 cambukan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT : "
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$#
Artinya : Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.

   žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qç/$s? .`ÏB Ï÷èt/ y7Ï9ºsŒ (#qßsn=ô¹r&ur ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§
Artinya : Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

2)      Membunuh, yakni menghilangkan nyawa seseorang. Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya adalah qishos (hukuman mati). Firman Allah SWT :
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quŠym Í<'ré'¯»tƒ É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÐÒÈ  
Artinya :"Diwajibkan atas kamu qishos berkenan dengan orang - orang yang dibunuh" (Q.S. al-Baqarah,2:179)

3)      Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi. Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah SAW bersabda : " Allah tidak akan melihat seorang laki- laki yang mendatangi laki- laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada duburnya". Sanksi hukumnya adalah ta'zir, berupa hukuman yang diserahkan bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama terjadi.
4)      Penyerangan terhadap anggota tubuh. Sanksi hukunya adalah kewajiban membayar diyat (100 ekor unta), tergantung organ tubuh yang disakiti. Penyerangan terhadap lidah dikenakan sanksi 100 ekor unta, 1 biji mata 1/2 diyat (50 ekor unta), satu kaki 1/2 diyat, luka yang sampai selaput batik kepala 1/3 diyat, luka dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan mematahkannya 15 ekor unta, setiap jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, luka sampai ke tulang hingga kelihatan 5 ekor unta
5)      Perbuatan-perbuatan cabul, seperti berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun.
6)      Penghinaan. Jika ada dua orang yang saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang faktanya, maka keduanya akan dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun.[39]
2.      Hukum Positif
Hukum positif sebagaimana dituangkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dimana di dalamnya termuat solusi dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah melalui perundang-undangan guna menghapus terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dengan tujuan sebagai berikut :
1)      Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
2)      Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
3)      Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
4)      Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Upaya tersebut di atas adalah untuk mengatur kekerasan dalam rumah tangga kedalam suatu perundang-undangan yang merupakan tuntutan masyarakat yang telah sesuai dengan tujuan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 guna menghapus segala bentuk kekerasan di Indonesia, khususnya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang diskriminasi terhadap Perempuan. Perubahan pandangan dari pemerintah mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, tidak semata-mata merupakan urusan privat, tetapi juga menjadi masalah publik, dari urusan rumah tangga dalam hukum perkawinan yang diatur dalam lingkup hukum publik, yang diatur melalui Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. [40]
Melihat pentingnya penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga, agar tercapainya suatu kepastian pertanggung jawaban dari korban dan hak-hak korban dapat terpenuhi, dan menjadikan kasus kekerasan dalam rumah tangga ini bukan kasus yang diabaikan. Tujuan sebuah perkawinan menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia, sejahtera dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
C.    Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Temuan penelitian yang digambarkan diatas menjelaskan bahwa dampak lain yang sangat memprihatinkan  akibat dari tindakan kekerasan dalam rumah  tangga  ialah  adanya  gejala  perceraian. Walaupun  demikian,  akan  tetapi akibat  dari tindakan  kekrasan  yang  dilakukan dalam  rumah  tangga  tersebut  tetap  mempunyai  dampak  terhadap  perkawinan mereka, juga terhadap anak, terutama berdampak pada psikis anak, yaitu takut, jiwa kecil dan anti pati terhadap pelaku (ayah mereka). Apalagi bagi anak perempuan  akan lebih merasa takut dan berjiwa kecil.
Dalam hubungan dengan hal ini, anak mengembangkan adaptasi dan keyakinan-keyakinan yang keliru sesuai dengan "sosialisasi" yang dewasa sedemikian  rupa,  meniru  pola  yang  dialami;  atau  anak  merasa  dikhianati  oleh orang  yang  seharusnya  mencintai,  orang  yang  menjadi  tempatnya  berlindung, yang kemudian muncul adalah ketidak percayaan dan ketakutan pada orang lain dan kehidupan pada umumnya. Hal ini tentu akan berdampak pada kemampuan sosialisasi, kebahagiaan, dan hampir pada dimensi psikologis kehidupannya.
Tindakan kekerasan terhadap perempuan  dan anak dalam rumah tangga, juga berdampak pada ekonomi keluarga. Secara umum, temuan penelitian menunjukan bahwa akibat dari KDRT tersebut membuat ekonomi keluarga akan terganggu  sehingga  hal  ini  pun  akan  berdampak  pula  pada  psikologi  korban (isteri).
Dampak  lain  yang  dirasakan  oleh  korban,  bahwa  ia  merasa  dikucilkan dalam masyarakat  lingkungannya,  bahkan dampak sosial lainnya yang ia alami adalah korban tidak jarang digoda oleh laki-laki, terutama laki-laki yang dianggap tadinya  dapat  memberi  penguatan  atau  perlindungan  kepada  korban,  ternyata justru mereka juga tampaknya ingin memanfaatkan  keberadaan   korban sebagai korban yang sedang dalam keretakan rumah tangga.[41]
D.    Kerangka Pikir
Pertama-tama perlu digariskan bahwa kajian ini merupakan suatu analisa sebab dan akibat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Maka kriminologi akan mendominasi pemaparan  selanjutnya.  Ini dimaksudkan  agar ada batasan yang jelas mengenai kajian tersebut.
Kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia telah membentuk ciri tersendiri dalam khasanah tentang studi kejahatan. semakin menggejala dan menyebar   luas   frekuensi   kejahatan   yang   diikuti   dengan   kekerasan   dalam masyarakat,   maka  semakin  tebal  keyakinan   masyarakat   akan     penting  dan seriusnya kejahatan semacam ini [42]Isu mengenai kejahatan dengan kekerasan.
 Tujuan dari kekerasan itu sendiri dan bergantung pula pada persepsei kelompok masyarakat tertentu, apakah kelompok berdasarkan ras, agama, dan ideologi. Pandangan dengan mendasarkan pada pendekatan konflik ini terletak pada teori-teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep “proses sosial”  dan  perilaku  kolektif.  Pandangan  ini  mengasumsikan  bahwa  manusia selalu merupakan makhluk yang terlibat dalam kelompoknya dalam  arti hidupnya merupakan bagian produk dari kelompok kumpulannya. Pandangan ini juga beranggapan bahwa masyarakat merupakan kumpulan kelompok-kelompok  yang bersama-sama memikul perubahan, namun mampu menjaga keseimbangan dalam menghadapi kepentingan-kepentingan dan usaha-usaha dari kelompok yang bertentangan. Selain itu dalam suatu penelitian kriminologi dapat dipakai untuk membantu pembuatan undang-undang pidana (kriminalisasi) dan pencabutan undnag-undang (dekriminalisasi).[43]


[1] Soejono Soekanto dan Sri Mamudji,  2001, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan singkat, PT RajaGrafindo Persada , Jakarta, hal. 29.
[2] Daryanto S.S, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Surabaya: Apollo, 1997), 124
[3] Ibid, 231
[4] Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengket amelalui Pendekatan Mufakat. PT. Raja Grafindo Persada Pres. Jakarta 2010, 49
[5] Undang –undang No 23 tahun  2004  tentang  Penghapusan  Kekerasan  Dalam  Rumah Tangga
[6] Al-Qur’an dan Tafsirnya Departemen Agama Republik Indonesia, edisi yang disempurnakan (Jakarta : DEPAG 2009)
[7] Abdullah Nasikh Ulwan, Perkawinan Masalah Orang tua, Orang Muda dan Negara, terjemahan Moh. Nurhakim (Jakarta : Gema Insane Prees, h. 112
           [8] Tapi Omas Ihroni, Pengahapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, dalam Herkutanto, “Kekerasan terhadap Perempuan Dan Sistem Penegakan Hukum Pidana, Pendekatan dari Sudut Pandang Kedoktoran” dalam Pengahapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, PT.Alumni. Bandung, Tahun 2006, h. 266
           [9] Iskandar A. Gani dalam  bukunya  Perspektif Penegakan Hukum dan Ham Terhadap Kasus Pelanggaran Ham Berat di Indonesa (Kajan Yuridis Historis atas  Kasus Pelanggaran Ham Di Aceh) menyebutkan bahwa Kekerasan Terhadap Perempuan termasuk dalam Pelanggaran  Ham yang berat). Iskandar A. Gani,”  Perspektif Penegakan Hukum dan Ham Terhadap Kasus Pelanggaran Ham Berat di Indonesa (Kajan Yuridis Historis atas  Kasus Pelanggaran Ham Di Aceh)”, Syiah Kuala University Press, Darussalam-Banda Aceh, h. 11.
           [10] Tapi Omas Ihromi, Op.Cit., h. 389
           [11] Flower Aceh,” Menguak Tabir Kekerasan Rumah Tangga” ,Edisi 38/Tahun lV/Mei 2001, h. 7.
        [12] Tapi Omas Ihroni, Pengahapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, dalam Herkutanto, Op.cit., h. 272
        [13] Loc.cit.
           [14] Loc.cit
           [15] Loc.cit
           [16] Loc.cit
[17] Ibid,  Abdullah Nasikh Ulwan, 182
[18] Abdul Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1996), h. 32
[19] Ibid
[20] Jack D. Douglas & Frances Chaput Waksler, Kekerasan dalam Teori-Teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, 2002, h. 71
[21] Shinta Agustina Kekerasan dalam Keluarga, Suatu Kajian Yuridis Kriminologis tentang Penganiayaan dalam Keluarga. ( Jakarta : 2003), h. 82
[22] Ibid,
[23] Saleh bin Ganim as-Sadlani, Nusyuz, alih bahasa A. Syauqi Qadri, cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 1998) h. 57
[24] Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an-Haqaiq At-Tanzil wa 'Uyun Al-Aqawil, (Taheran: Intisyarat Aftab, t.t.), I : 524.
[25] Abu 'Isa Muhammad bin 'Isa bin Surah, Al-Jami' as-Sahih wa Huwa Sunan al-Tirmiz\i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.t.), III: 467. Hadis ini juga diriwAyatkan oleh ibn Majah dalam Sunan ibn Majah, "Kitab an-Nikah", "Bab al-Mar'ah 'ala az-Zawj", hadis 1851.
[26] Ibid,  44.
[27] Nabi Ayyub a.s. menderita penyakit kulit beberapa waktu lamanya dan dia memohon pertolongan kepada Allah SWT. Allah memperkenankan doanya dan memperkenankan agar dia menghentakkan kakinya ke bumi. Ayyub a.s. mentaati perintah itu maka keluarlah air dari bekas kakinya atas petunjuk Allah, Ayyub a.s. pun mandi dan minum dari air itu, sehingga sembuhlah dia dari penyakitnya dan dia dapat berkumpul kembali bersama keluarganya. Maka mereka kemudian berkembang biak sampai jumlah mereka dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Pada suatu ketika, Ayyub a.s. teringat atas sumpahnya, bahwa dia akan memukul isterinya bilamana sakitnya sembuh disebabkan isterinya pernah lalai mengurusinya sewaktu dia masih sakit. Akan tetapi tumbuh dalam hatinya rasa ibah dan sayang kepada isterinya sehingga dia tidak dapat memenuhi sumpahnya. Oleh sebab itu turunlah perintah Allah seperti yang tercantum dalam Ayat 44 di atas, agar dia dapat melaksanakan sumpahnya dengan tidak menyakiti isterinya yaitu memukulnya dengan seikat rumput.
[28] Muhammad 'Ali As-Sabuni, Rowaiul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001 H/14), II: 350.
[29] Muhammad Usman al-Khasit, Sulitnya Berumah Tangga: Upaya Mengatasinya Menurut al-Qur'an dan Hadis, ilmu Pengetahuan, alih bahasa A. Aziz  Salim Basyarahil, (Jakarta: GIP, 1994), h. 81.
[30] Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, tt.), IV: h. 1355.
[31] Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1394 H/1973 M.), V: 75.
[32] Ibid.
[33] Ibid., V: 74-75.
[34] Asghar Ali Enggineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, alih bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), h. 76.
[35] Ibid., h. 72.
[36] Ibd.
[37] Amina Wadud, Qur'an dan Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2000), hlm. 21.
[38] Shinta Agustina Kekerasan dalam Keluarga, Suatu Kajian Yuridis Kriminologis tentang Penganiayaan dalam Keluarga. ( Bandung : 2003), h. 59-60
[39] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat. Kencana Prenada Media Grup, (Jakarta : 2003), h. 48-50
[40] Ibid
[41] Ibid
[42] Prof. Dr. H. Romli Atmasasmita, SH.LLM. Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama,2007, hal. 63

[43] Ibid

................................@@@@@.......................
 


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Tafsirnya Departemen Agama Republik Indonesia, edisi yang disempurnakan (Jakarta : DEPAG 2009)

Abd.RahmanGhazaly, Fiqih Munakahat. Kencana Prenada Media Grup, (Jakarta : 2003)

Asghar Ali Enggineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, alih bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994)

Abdullah Nasikh Ulwan, Perkawinan Masalah Orang tua, Orang Muda dan Negara, terjemahan Moh. Nurhakim (Jakarta : Gema Insane Prees

Abdul Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1996)

Abu 'Isa Muhammad bin 'Isa bin Surah, Al-Jami' as-Sahih wa Huwa Sunan al-Tirmiz\i, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.t.), III: 467. Hadis ini juga diriwAyatkan oleh ibn Majah dalam Sunan ibn Majah, "Kitab an-Nikah", "Bab al-Mar'ah 'ala az-Zawj", hadis 1851.

Amina Wadud, Qur'an dan Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2000)

Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an-Haqaiq At-Tanzil wa 'Uyun Al-Aqawil, (Taheran: Intisyarat Aftab, t.t.)


Blok Jurnal Hukum, perlindungan terhadap perempuan melalui undang-undang kekerasan dalam rumah tangga : analisa perbandingan antara Indonesia dan India, diakses 10 Juli 2009

Daryanto S.S, KamusBahasa Indonesia Lengkap (Surabaya: Apollo, 1997)

Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, tt.), Jilid, IV

Flower Aceh,” Menguak Tabir Kekerasan Rumah Tangga” ,Edisi 38/Tahun lV/Mei 2001

Iskandar A. Gani,”  Perspektif Penegakan Hukum dan Ham Terhadap Kasus Pelanggaran Ham Berat di Indonesa (Kajan Yuridis Historis atas  Kasus Pelanggaran Ham Di Aceh)”, Syiah Kuala University Press, Darussalam-Banda Aceh
Jack D. Douglas & Frances ChaputWaksler, Kekerasan dalam Teori-Teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, 2002

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004.Undang-UndangRepublik Indonesia nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Muhammad 'Ali As-Sabuni, Rowaiul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001 H/14), II: 350.
Muhammad Usman al-Khasit, Sulitnya Berumah Tangga: Upaya Mengatasinya Menurut al-Qur'an dan Hadis, ilmu Pengetahuan, alih bahasa A. Aziz  Salim Basyarahil, (Jakarta: GIP, 1994), h. 81.

Romli Atmasasmita, SH.LLM. Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika Aditama, 2007

 Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1394 H/1973 M.), Jilid V
Shinta Agustina Kekerasan dalam Keluarga, Suatu KajianYuridis Kriminologis tentang Penganiayaan dalam Keluarga. (2003)

Saleh bin Ganim as-Sadlani, Nusyuz, alih bahasa A. Syauqi Qadri, cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 1998)

Soejono Soekanto dan Sri Mamudji,  2001, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan singkat, PT RajaGrafindo Persada , Jakarta

Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengket amelalui Pendekatan Mufakat. PT. Raja Grafindo Persada Pres. Jakarta 2010

Undang-undang No 23 tahun  2004  tentang  Penghapusan  Kekerasan  Dalam  Rumah Tangga 
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar