BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.
Kekerasan Dalam RumahTangga
Keluarga adalah unit lingkungan terkecil yang didalamnya terdapat
hubungan pertalian kekeluargaan (ibu, bapak, anak). Juga bisa diartikan orang
yang bertempat tinggal di rumah, bisa saudara, kerabat, pembantu atau yang
lainnya. Namun di Indonesia seringkali dalam rumah tangga juga ada sanak saudara
yang ikut bertempat tinggal, misalnya orang tua, baik dari suami atau istri,
saudara kandung atau saudara tiri dari kedua belah pihak.[1]
Menurut Kamus
Bahasa Indonesia kontemporer, kekerasan adalah
perihal atau sifat keras, paksaan, perbuatan yang menyebabkan kerusakan fisik atau barang
orang lain.[2] Secara leksikal kekerasan diturunkan dari bahasa Latin, yakni violentia
yang berarti kekerasan, keganasan, aniaya, perkosaan, kehebatan.[3] Menurut Johan
Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi
sedemikian
rupa sehingga
realisasi jasmani
dan mental aktualnya berada
di bawah
realisasi
potensialnya.[4]
Menurut Undang-undang Nomor
23 Tahun 2004 Pasal 2 butir a sampai c menyebutkan bahwa rumah tangga adalah :
a. Suami, istri, dan anak.
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena adanya hubungan
darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam
rumah tangga.
c. Orang-orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.[5]
Firman Allah
dalam surat At-Tahriim ayat 6 yang memberikan gambaran terkait keluarga sebagai
berikut :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR $ydßqè%ur â¨$¨Z9$# äou$yfÏtø:$#ur $pkön=tæ îps3Í´¯»n=tB ÔâxÏî ×#yÏ© w tbqÝÁ÷èt ©!$# !$tB öNèdttBr& tbqè=yèøÿtur $tB tbrâsD÷sã ÇÏÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.
Jika melihat
firman Allah di atas adalah suatu perintah bagi suami untuk menjaga isteri juga
anak-anaknya yang merupakan tanggung
jawabnya sebagai kepala rumah tangga, adapun hubungannya dengan konsep keluarga
di atas adalah, ayat ini tidak menyebutkan perindipidu namun Allah sebutkan
secara global yang termasuk di dalamnya istri, anak, dan keluarga yang ada
hubungan darah, perkawinan maupun perwalian.[6]
Kekerasan ada begitu banyak definisi dan
masing-masing berbeda satu sama lain. Dengan kata lain, bila yang potensial lebih tinggi dari yang actual,
tetapi bahwa intipati kekerasan itu selalu
sama dan tentu saja
menyakitkan. Kekerasan pada hakikatnya yang
terdalam menyentuh kodrat naluri manusia. Sosok kekerasan pada dasarnya
tidak membahagiakan.
Mengacu pada paham kekerasan, maka dengan kekerasan itu sebetulnya manusia diformat sedemikian rupa
sehingga realisasi
potensialnya atau
apa
yang
mungkin untuk diwujudkan
sesuai
dengan tingkat wawasan, pengetahuan, sumber daya dan
kemajuan yang dicapai jumlahnya
tetap berada dalam realisasi potensial.[7]
Apakah kekerasan
dalam
kehidupan manusia
sesuatu
yang sudah
menjadi instink atau reaksi yang naluriah. Wendell H. Oswalt dalam
bukunya Understanding Our Culture, menolak argumen itu,
kekerasan katanya
adalah learned behavior, tingkah
laku
yang diperoleh karena belajar.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat
dirumuskan Kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan atau sikap yang
dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan perempuan baik secara
fisik maupun secara psikologis.
Hal penting lain bahwa kekerasan
terjadi dengan cara kebetulan tidak dikatagorikan sebagai kekerasan walaupun
menimbulkan kerugian pada perempuan.[8]
Kekerasan terhadap perempuan[9]
adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis,
atau ancaman tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun kehidupan pribadi. Dalam Deklarasi
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
Pasal 1[10].
Pengertian Kekerasan dalam rumah
tangga penullis mengambil kesimpulan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
kekerasan yang tidak saja menimbulkan luka tetapi juga termasuk
kekerasan terhadap seksual, psikologis, penalantaran dalam rumah tangga.
1.
Bentuk-bentuk KDRT
KDRT merupakan jenis kekerasan
yang memiliki sifat-sifat khas yakni
dilakukan di dalam rumah,
pelaku dan korban adalah anggota
keluarga. Maka
kekerasaan dalam Rumah
Tangga tidak hanya dalam bentuk fisik
melainkan bisa berupa Psikis, Melantarkan
rumah tangga, Kekerasaan
Seksual namun bentuk kekerasan dalam rumah tangga tidak saja terjadi pada
perempuan tetapi bisa juga terjadi pada laki-laki tetapi frekuensinya lebih
kecil dibandingkan dengan perempuan.
Adapun bentuk-bentuk kekerasan dalam
rumah tangga di mulai dari mengancam melukai, merusak barang atau menakut - nakuti, mencabut hak dan
melakukan pengasingan, penganiayaan secara emosional dan mental dengan jalan
penyerangan seksual serta berbagai penyerangan
secara fisik atau tanpa senjata[11].
Adapun bentuk kekerasan dalam rumah
tangga yang terjadi dapat dibagi kepada :
a.
Kekerasan
Pisik
b.
Kekerasan
psikologis
c.
Kekerasan
Seksual
d.
Penelantaran
dalam rumah tangga
Dengan demikian penulis merincikan sebagaimana
dibawah ini :
a.
Kekerasan
Fisik
Kekerasan fisik
adalah kekerasan yang mengenai badan dan akan mengakibatkan rasa sakit, atau luka, dalam Pasal 6 Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
menyebutkan “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau Luka berat”Kekerasan
fisik biasanya berdampak langsung di tubuh seperti memar-memar di tubuh atau
goresan luka.
Akibat dari kekerasan fisik adalah luka-luka mulai dari
luka yang ringan sampai berat bahkan kematian. Pada umumnya kekerasan yang
terjadi pada perempuan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut :
a)
Luka
pada kulit dan Jaringan Kulit.[12]
Luka pada kulit adalah suatu hal yang
paling sering didapatkan pada penganianyaan perempuan. Ada beberapa bentuk
perlukaan yang sering dikaitkan dengan penganianyan adalah :
1.
Memar
akibat tamparan yang kuat dengan meninggalkan bekas telapak tangan.
2.
Memar
yang membentuk gambaran jari atau bu jari sering tampak pada muka, lengan atau
pantat
3.
Memar yang berbentuk garis, lngkungan,
lingkaran yang di akibatan oleh tali pinggang, dan sebagainya
4.
Bekas
gigitan manusia yang berbentuk sabit
5.
Luka
bakar, seperti disebabkan oleh api yang
terbuka, benda padat yang panas atau benda cair yang panas, sudutan api rokok
pada tangan, kaki dan pantat merupakan bentuk yang cukup sering dijumpai, benda
padat seperti bentuk strika dipunggung
b)
Luka
di daerah Wajah[13]
Luka di daerah wajah dapaat meliputi mata,
telinga, hidung dan mulut :
1.
Mata
adalah organ yang sensitive, bila seseorang kena pukulan di mata maka akan terjadi kemungkinan pendarahan
dalam rongga bola mata, di lokasi lansa mata, pendarahan retiana mata, atau pendarahan
selaput kelopak mata
2.
Hidung
yang mengalami pula akan menimbulkan pergeseran sekat hidung atau patahnya
tulang rawan, atau mimisan.
3.
Mulut
yang mendapat pukulan langsung dapat menimbulkan terlepasnya gigi bahkan patah
tulang rahang bawah.
4.
Pukulan
tunggal yang keras pada telinga dapat menimbulkan robekan gendang telinga dan
pendarahan, pendarahan dibelakang gendang telinga, patah pada tulang tengkorak.
c)
Luka
pada Kepala dan susunan Syaraf Pusat.[14]
Menjabak rambut hingga suatu daerah rambut
tercabut merupakan hal yang umum dalam penganiayaan. Kekerasan tumpul dengan
intensitas tuingg
pada kepala dapat mengakbatkan gangguan pada susunan syaraf pusat
d)
Luka
pada Dada[15]
Kekerasan dengan benda tumpul
mengenai dada dapat menimbulan patahnya tulang rusuk, dapat menimbulkan komplikasi
pendarahan dalam rongga dada dan
masuknya udara ke dalam rongga dada atau
ke jaringan kulit.
e)
Luka
Pada Tulang[16]
Kekerasan terhadap
tulang menimbulkan rasa sakit dan bengkak, kelumpuhan serta kesulitan bergerak.
b.
Kekerasan
psikologis
ini sering juga dikenal dengan
kekerasan mental atau
dalam
beberapa referensi
ada juga yang memakai
istilah tersebut dengan kekerasan verbal.
Apapun istilahnya yang dianggap lebih cocok, yang jelas kekerasan jenis ini tidak menimbulkan bukti-bukti fisik seperti adanya memar, luka, goresan dan lain sebagainya, melainkan kekerasan psikologis ini lebih berdampak pada kejiwaan dan umumnya pemulihannya tidaklah mudah, bahkan dapat
melampaui waktu yang cukup lama. Kekerasan psikologis dapat merusak jiwa, semangat seseorang
sebab
ia menghilangkan kegembiraan dan vitalitas hidup.[17]
Sebagaimana dikemukakan dalam literatur-literatur yang ada, salah satu bentuk kekerasan verbal yang paling nyata dan mudah dikenali adalah memanggil
atau menyebut seseorang dengan sebutan yang sangat merendahkan, seperti: " bodoh, pelacur, anjing, bangsat, dan sebagainya.
beberapa bentuk tersembunyi/ tersamarkan sehingga sulit
dikenali, yang paling
mudah dikenali
hanya nama panggilan/
sebutan untuk
isteri yang merendahkan saja.[18]
Kekerasaan psikologis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b
adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, Hilangnya rasa
percaya diri. Hilangnya kemampuan untuk bertindak, Rasa tidak berdaya
, dan
atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Bentuk kekerasan seksual yang
dialami oleh
korban tidak bervariasi banyak sebagaimana dengan bentuk kekerasan lainnya. Berdasarkan
keterangan atau pernyataan dari
para
korban tersebut dapat diartikan bahwa bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh korban adalah berupa adanya pemaksaan atau pemerkosaan terhadap
isteri sendiri untuk melakukan hubungan
intim, dan selain
itu adanya pelecehan seksual terhadap isteri.[19]
c.
Penelantaran rumah tangga, Istilah kekerasan penelantaran keluarga ini dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun
2004 tentang
Penghapusan
Kekerasan dalan
Rumah
Tangga disebut dengan penelantaran
rumah tangga, ada juga dalam referensi yang lain menyebutnya dengan istilah kekerasan ekonomis.
Kekerasan penelantaran keluarga
ini terjadi ketika
laki-laki
atau suami
tidak mempedulikan keluarga
dalam rumah
tangga, suami
tidak memberikan
nafkah
kepada isteri dan anak, suami meninggalkan isteri dan anak-anak dalam kurun waktu yang lama, suami bukan hanya tidak memberikan uang belanja untuk kebutuhan keluarga kepada isteri.[20]
2.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan
Rumah Tangga
Dalam rumah
tangga, ketegangan dan konflik menjadi hal yang biasa, dalam perselisihan
pendapat, perdebatan bahkan pertengkaran dapat dilihat sebagai sesuatu yang
normal, dimana hal-hal tersebut menjadi bagian dari bentuk kekerasan dalam
rumah tangga yang secara spesifik mengacu kepada pengertian kekerasan dalam
rumah tangga.
Terjadi
kekerasan dalam rumah tangga itu bukan hanya karena masalah lemahnya penegak
hukum. Namun juga dikarenakan ketakutan dari anggota keluarga yang teraniaya
untuk melaporkan kasus kekerasan tersebut kepada polisi. Kekerasan dalam rumah
tangga timbul karena kondisi ekonomi, atau menganggap sebagai aib yang tidak
perlu diketahui orang lain.
Kekerasan yang
seharusnya tidak perlu terjadi dalam suatu lembaga yang disebut keluarga.
Menyelesaikan persoalan rumah tangga dengan cara melakukaan kekerasan terhadap
pasangan atau anggota keluarga tidak akan menuntaskan masalah. Dalam hal ini
dapat mengakibatkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga adalah disebabkan
oleh beberapa faktor sebagai berikut :
1) Faktor Ekonomi
Pekerjaan bisa memicu adanya KDRT,
jika pekerjaan itu ternyata berpenghasilan
sedikit atau bahkan karena pekerjaannya serabutan sehingga
penghasilannya tidak dapat memenuhi nafkah hidup keluarga. Penghasilan
keluarga, Kebutuhan yang membengkak sekalipun penghasilanna besar pun dapat
memicu adanya KDRT. Maka dengan factor ekonomi sebagai faktor penyebab terjadinya KDRT, menurut Veronika Ata,[21]
berhubungan dengan incame (penghasilan)
keluarga. Penghasilan ini
juga
berkaitan erat dengan pekerjaan. Pekerjaan seorang bapak keluarga sangat menentukan kehidupan ekonomi keluarga.
Tentunya penghasilan lebih besar
dari kebutuhan dalam rumah tangga atau manajemen keuangan yang patut diperhatikan.
2). Faktor Cemburu
Kecemburuan baik di
pihak isteri maupun suami bisa memicu terjadinya kekerasan. Maka cemburu selalu
menghiasi kehidupan keluarga.
Kecemburuan
telah
menjadi beban yang berat tatkala relasi di antara suami dan istri mulai mengendor. Padahal
sesunguhnya
kecemburuan itu terjadi
bisa saja terjadi
karena “komunikasi” yang kurang antara suami-istri. Kecemburuan
bisa diatasi
jika suami-istri selalu berkomunikasi secara baik dan terbuka, jika dalam pekerjaan
ataupun relasi social.[22]
3). Faktor menggunakan Narkoba
Masyarakat Mandailing
Natal sebagaimana masyarakat yang keras watak dan sifat egos. Ketika seorang suami/bapak telah menghisap ganja, maka
biasanya ada kecenderungan untuk
bertindak
brutal dan baik terhadap isteri ataupun anak.
Berdasarkan
paparan
di atas, ada pemahaman
bahwa fenomena
kasus KDRT di
Mandailing Natal nampaknya memiliki fenomena tersendiri. Artinya bahwa sekalipun banyak kasus KDRT yang
terjadi, tetapi tidak semuanya diproses secara hukum berdasarkan UU KDRT,
tetapi menggunakan jalur “kekeluargaan”
atau “kesepahaman para pihak” serta sebaliknya banyak pula yang belum terkuak atau bahkan diselesaikan secara kekeluargaan.
B.
Hukum Kekerasan Dalam RumahTangga
1.
Kajian KDRT menurut Hukum Islam
KDRT dalam pandangan Islam, bisa disebut kejahatan atau
bukan ketika bersesuaian dengan konsep Islam dalam memandang kekerasan sebagai
kejahatan atau jarimah adalah perbuatan-perbuatan tercela (qabih)
yang ditetapkan oleh hukum syara.
Adapun yang ditetapkan oleh hukum syara’ tersebut adalah sebagai
berikut .
1)
Jika
dalam Ayat واضربوهنّ jelas fi’il amr yang berasal dari fi’il
madhi bermakna pukul artinya seseorang yang menjatuhkan sesuatu dari
anggota tangannya kepada orang lain.
2)
Untuk Ayat وضرب الله مثلا kalimat fi’il madI ini bukan arti pukul, namun mempunyai
arti i’tibar (perumpamaan).
3)
Jika untuk Ayat عن اضرب بعصاك الحجر artinya fi’il amar yang
tersebut sama artinya dengan pukul, hanya bedanya dengan suatu alat.[23]
Bagi fuqaha yang berpendapat tentang dibolehkanya melakukan
pemukulan, mereka mendasarkannya pada surat an-Nisa’ (4): 34 yang berbunyi :
Baen baris na da bg
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
Artinya : Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha besar.
Asbabun Nuzul ayat diatas adalah (kronologi historis) sebagaimana
diriwayatkan oleh az-Zamakhsyari tentang peristiwa Sa’ad ibn Ar-Rabi’ ibn ‘Amr dan isterinya Habibah binti Zaid ibn
Abi Zuhair sebagai peristiwa yang melatar belakangi turunya Ayat ini. Diriwayatkan
bahwa Habibah nusyuz terhadap suaminya Sa’ad, salah seorang pemimpin
Ansar. Lalu Sa’ad memukul Habibah, puteri Zaid ibn Zuhair ini mengeluhkan
perlakuan suaminya kepada ayahnya. Sang ayah
kemudian mengadukan hal itu kepada Nabi. Nabi menganjurkan Habibah membalas
dengan setimpal (qisas). Berkenaan peristiwa itulah turun surat an-Nisa’
Ayat 34 ini. Setelah Ayat turun, Nabi bersabda: “Kita menginginkan
satu cara, Allah menginginkan cara yang lain. Yang diinginkan Allah
itulah yang terbaik” (أردنا أمرا
وأراد الله أمرا والذى أراد الله خير). Kemudian dibatalkan hukum qisas
terhadap pemukulan suami itu.[24]
Ada juga beberapa hadist yang dikerap kali dijadikan dasar dalam
masalah ini oleh fuqaha, diantaranya:
ألآواستوصوا بالنساء خيرا, فإن هن عوان عندكم ليس
تملكون منهن شيئا
غير ذالك إلا أن يأتين بفاحشة مبينة, فإن فعلن فاههجروهن فى المضاجع واضربوهن ضربا
غيرمبرح, فإن أطعنكم فلاتبغو عليهن سبيلا ألا إن لكم على نسائكم حقا فحقكم عليهن
فلا يوطعن فروشكم من تكرهون ولايأذن فىبيوتكم لمن تكرهون ألاوحقهن عليكم أن تحسنوا
إليهن فىكسوتهن وطعامهن[25]
Sebenarnya masih terdapat ayat lain yang cukup beralasan untuk
dijadikan pembanding dalam mengkaji persoalan pemukulan terhadap isteri ini
yaitu;
Sebagaian ulama berpendapat dengan berdasarkan pada ayat di atas
tentang dibolehkannya suami memukul isterinya dalam rangka memberi pelajaran.
Seperti halnya nabi Ayyub yang memukul isterinya karena telah melanggar hak-hak
suami.[27]
Dari Ayat di atas juga menunjukkan tentang dibolehkannya pemukulan
terhadap isteri dengan batasan tidak sampai melampaui batas sebagai instrument
pendidikan, dalam arti lain, dibolehkanya tindakan tersebut bukan berarti tanpa
adanya unsur kemakruhan atau suatu yang lebih baik jika harus dihindari.[28]
Walaupun kelihatanya secara tekstual syari’at membolehkan suami
memukul isteri yang nusyuz, akan tetapi bagaimanapun harus diperhatikan
penjelasan Rasulullah dalam menetapkan syarat-syarat diperbolehkannya tindak
pemukulan tersebut, yaitu tidak boleh dimaksudkan untuk menghina derajat atau
martabat wanita, menyakiti isterinya dan tidak boleh dilakukan dengan motifasi
menggangu atau tindakan balas dendam.[29] Dalam hal pemukulan, para mufassir sepakat bahwa
pemukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghair mubarrih) pukulan yang tidak
melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak muka.
Menurut Muhammad 'Ali as-Sabuni dan Wahbah
az-Zuhaili, bagian yang harus dihindari dalam tahap pemukulan adalah:
a.
Bagian muka,
karena muka adalah bagian tubuh yang dihormati.
b.
Bagian perut
dan bagian lain yang dapat menyebabkan kematian, karena pemukulan ini bukan bermaksud untuk
mencidrai apalagi membunuh isteri yang nusyuz, melainkan untuk mengubah
sifatnya.
c.
Memukul hanya
pada satu tempat, karena akan menambah rasa sakit dan akan memperbesar
timbulnya bahaya.[30]
Dalam rangka
memberi pendidikan bagi isteri yang nusyuz ar-Razi dan at-Tabari juga tampaknya memiliki pemahaman
yang tidak jauh berbeda dengan ulama fiqh. Mereka tidak menafikan adanya
kemungkinan untuk memukul isteri asal telah diyakini melakukan nusyuz.
Hanya saja untuk masalah pemukulan ini,
kedua mufassir tersebut bahkan tampaknya semua mufassir sepakat memberikan
catatan bahwa pukulan yang dibenarkan adalah pukulan yang tidak menyakitkan (ghaira
mubarrih), yang tidak melukai, tidak mematahkan tulang dan tidak merusak
muka. Ringkasnya, mereka mengatakan wa ad-dharbu mubah wa tarkuhu afdal (pemukulan
itu boleh dan meninggalkannya lebih baik).[31]
Sebagaimana
para mufassir yang lain Muhammad Abduh berpendapat perintah memukul isteri
bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan akal dan fitrah. Memukul diperlukan
jika keadaan sudah buruk dan akhlak isteri sudah rusak. Suami boleh memukul
isteri ketika suami melihat bahwa rujuknya isteri hanya dengan cara memukulnya.
Akan tetapi, jika keadaan sudah membaik dan isteri sudah tidak nusyuz lagi
cukup dengan cara menasehatinya atau mengasingkannya dari tempat tidur, maka
tidak perlu memukulnya. Setiap keadaan menentukan hukuman yang sesuai,
sementara itu kita diperintahkan menyayangi kaum perempuan, tidak menganiaya,
menjaganya dengan cara yang baik, dan jika menceraikannya harus dengan cara
yang baik pula.[32]
Terdapat
penjelasan yang menarik dari Rasyid Ridha, yaitu penolakannya terhadap anggapan orang bahwa
Islam menindas kaum perempuan karena adanya perintah pemukulan ini. Ia
menggariskan bahwa pemukulan dilakukan sebagai langkah terakhir jika
langkah-langkah sebelumnya tidak berhasil, dan itupun harus dalam batas tidak
menyakitkan. Lebih lanjut ia menyatakan: “jangan membayangkan kaum perempuan
Islam itu lemah dan kurus yang dagingnya disobek-sobek oleh cemeti suaminya.”
Untuk itu, ia mengutip hadis Rasulullah SAW; “Apakah salah satu diantara kalian
akan memukul isterinya seperti halnya memukul budak lalu menyetubuhinya di
malam hari?”. Menurut Rasyid Ridha pemukulan adalah obat pahit (‘ilaj murr)
dan ia mengatakan bahwa laki-laki yang saleh tidak akan memukuli perempuan
(isterinya) walaupun itu diperbolehkan.[33]
Diantara ketiga
hak atau kewenangan yang dimiliki seorang suami dalam memperlakukan istri nusyuz
dengan berdasarkan pada surat an-Nisa’ (4): 34 di atas, hak suami dalam memukul
merupakan salah satu hak yang mengundang polemik dan perdebatan panjang, khususnya
dikalangan ulama fiqh, ahli tafsir (mufassir) dan pemikir-pemikir feminis
kontemporer.
Jika para ulama
sepakat dengan pemukulan terhadap isteri nusyuz diperbolehkan asal masih
dalam batas-batas yang wajar dan tidak bertujuan untuk menyakiti, pada dasarnya
ulama juga menekankan agar tidak memukul. Sedangkan bagi para feminis ada yang
berpendapat bahwa pemukulan tidak pernah dianjurkan oleh Al-Qur’an. Pendapat
ini dilontarkan oleh para kaum feminis seperti Ashgar Ali Engineer, ia
berpendepat dengan mengutip pendapat Ahmed Ali dari kitab Ragib Al-Mufradat
fi Garib Al-Qur’an yang menerangkan bahwa kata daraba mempunyai
makna metaforis yaitu melakukan hubungan seksual.[34]
Pada dasarnya
Nabi sangat menghargai perempuan, asbab an-nuzul ayat 34 ini ketika
Habibah mengadu bersama ayahnya kepada Nabi tentang pemukulan suaminya. Nabi ketika itu dengan bersimpati menyuruh Habibah agar membalas (qisas)
terhadap suaminya, tetapi Allah menurunkan ayat ini. Di sini Nabi menunjukkan
simpati, keinginan untuk mengangkat derajat perempuan atau korban kekerasan,
tetapi Ayat ini terkesan memihak laki-laki. Menurut Ashgar dengan mengutip
pendapat S.T Lokhandwala, dalam The Potition of Women Under Islam; bahwa
ayat ini bersifat kontekstual, karena suami Habibah merupakan pemimpin Ansar
(Sa’ad bin Rabi’). Keputusan Nabi untuk mengqisas suaminya mendapat
penolakan dari laki-laki Madinah, mungkin kekhawatiran Nabi akan sarannya
menimbulkan kegemparan dalam sebuah masyarakat di mana laki-laki benar-benar
dominan. Ayat ini diwahyukan sebagai anjuran yang menyejukkan demi
mengendalikan kekerasan laki-laki terhadap perempuan dan menganjurkan mereka
untuk menyesuaikan diri dalam masyarakat yang didominasi laki-laki.[35]
Ayat ini tampak
mengizinkan pemukulan terhadap isteri, tetapi Lokhandwala berpendapat bahwa
konteks Madinah tidak dapat diabaikan. Dilihat dari konteks ini, Ayat tersebut
mempunyai maksud agar tidak menimbulkan reaksi yang terlalu keras, pertama
Al-Qur’an mengatakan bahwa perempuan yang tidak taat sebaiknya diperingatkan,
dan jika mereka tetap dalam nusyuz (pemberontakannya) mereka harus
dipisahkan di tempat tidur, dan jika mereka tetap tidak berubah juga, maka mereka
harus dihukum. Tetapi Allah meminta agar tidak mencari-cari jalan untuk
memusuhi mereka dan berbaikan dengan mereka jika mereka taat.[36]
Dalam menyikapi
persoalan nusyuz Amina Wadud menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Qur’an
Dan Perempuan, bahwa nusyuz adalah
gangguan keharmonisan keluarga, dengan mengutip surat an-Nisa’ Ayat 34;
karena itu, wanita yang baik adalah (qanitat), memelihara diri ketika
suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka. Adapun
wanita-wanita yang kamu takutkan (nusyuz), nasihatilah mereka,
pisahkan mereka di tempat tidur yang terpisah, dan pukullah mereka. Kemudian,
jika mereka menaatimu, jangan mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Berarti,
seorang wanita harus mematuhi suaminya, jika tidak, suami boleh memukulnya.
Amina berpendapat bahwa maksud ayat tersebut adalah untuk memberi jalan
pemecahan ketidak-harmonisan antara suami dan isteri.[37]
Oleh karena itu memahaminya sebagai sebuah dalil yang membolehkan seoarang
suami dalam memberikan hukuman atau sanksi kepada isteri yang nusyuz
adalah tidak tepat.
Bagi Amina, ia
setuju dengan dua cara pertama dalam menyikapi isteri nusyuz, yaitu
manasehati dan menjahuinya dari tempat tidur. Mengenai cara yang ketiga yaitu
memukul, dia menentangnya. Menurutnya memukul bukanlah jalan terbaik dan tidak
akan dapat menyelesaikan masalah yang terjadi, justru akan semakin membuat
persoalan menjadi berat. Memukul harus dimaknai sebagai cara untuk kembali
mengadakan usaha damai dan kalau tidak bisa maka lebih baik diakhiri dengan perceraian.
Inilah
standar penting untuk menilai apakah perbuatan tersebut termasuk kriminalitas
atau bukan. Kejahatan juga bukanlah suatu yang fitri pada diri manusia.
Kejahatan bukan pula "profesi" yang diusahakan oleh manusia. Juga
bukan penyakit yang menimpa manusia. Kejahatan adalah tindakan melanggar
aturan, baik aturan dengan Rabbnya, dirinya, dan dengan manusia lainnya.
Sehingga dalam Islam Homoseksual atau masokhisme adalah
kejahatan, bukan penyakit mental apalagi pembawaan manusia. Berdasarkan syariat
Islam ada beberapa bentuk kekerasan atau kejahatan yang menimpa wanita dimana
pelakunya harus diberi sanksi yang tegas. Namun perlu ditegaskan bahwa
kejahatan itu bisa saja menimpa laki- laki pelakunya juga bisa perempuan
pelakunya.[38]
Berikut ini beberapa perilaku kriminal dan sanksinya menurut terhadap
pelakunya, yaitu :
1)
Qadzaf, yakni melempar tuduhan . Misalnya
menuduh wanita baik- baik berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa
diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80 cambukan. Hal ini
berdasarkan firman Allah SWT : "
tûïÏ%©!$#ur tbqãBöt ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù't Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ wur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky #Yt/r& 4
y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$#
Artinya : Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu
terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang
fasik.
wÎ) tûïÏ%©!$# (#qç/$s? .`ÏB Ï÷èt/ y7Ï9ºs (#qßsn=ô¹r&ur ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§
Artinya : Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan
memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
2)
Membunuh, yakni menghilangkan nyawa seseorang.
Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya adalah qishos (hukuman mati). Firman Allah
SWT :
öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quym Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÐÒÈ
Artinya :"Diwajibkan atas kamu qishos berkenan
dengan orang - orang yang dibunuh" (Q.S. al-Baqarah,2:179)
3)
Mensodomi, yakni menggauli wanita pada
duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi. Dari Ibnu Abbas
berkata, Rasulullah SAW bersabda : " Allah tidak akan melihat seorang
laki- laki yang mendatangi laki- laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya
pada duburnya". Sanksi hukumnya adalah ta'zir, berupa hukuman yang
diserahkan bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang
sama terjadi.
4)
Penyerangan terhadap anggota tubuh. Sanksi
hukunya adalah kewajiban membayar diyat (100 ekor unta), tergantung organ tubuh
yang disakiti. Penyerangan terhadap lidah dikenakan sanksi 100 ekor unta, 1
biji mata 1/2 diyat (50 ekor unta), satu kaki 1/2 diyat, luka yang sampai
selaput batik kepala 1/3 diyat, luka dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan
mematahkannya 15 ekor unta, setiap jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi
5 ekor unta, luka sampai ke tulang hingga kelihatan 5 ekor unta
5)
Perbuatan-perbuatan cabul, seperti berusaha
melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai melakukannya) dikenakan
sanksi penjara 3 tahun.
6)
Penghinaan. Jika ada dua orang yang saling
menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang faktanya, maka
keduanya akan dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun.[39]
2.
Hukum Positif
Hukum positif sebagaimana dituangkan dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga dimana di dalamnya termuat solusi dan upaya yang dilakukan oleh
pemerintah melalui perundang-undangan guna menghapus terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga dengan tujuan sebagai berikut :
1)
Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
2)
Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
3)
Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
4)
Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Upaya tersebut di atas adalah untuk mengatur kekerasan
dalam rumah tangga kedalam suatu perundang-undangan yang
merupakan tuntutan masyarakat yang telah sesuai dengan tujuan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 guna menghapus segala bentuk kekerasan di Indonesia,
khususnya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, sesuai dengan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia
melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang diskriminasi terhadap Perempuan.
Perubahan pandangan dari pemerintah mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga, tidak semata-mata merupakan urusan privat, tetapi juga menjadi masalah
publik, dari urusan rumah tangga dalam hukum perkawinan yang diatur dalam
lingkup hukum publik, yang diatur melalui Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. [40]
Melihat pentingnya penghapusan tindak kekerasan dalam rumah tangga,
agar tercapainya suatu kepastian pertanggung jawaban dari korban dan hak-hak
korban dapat terpenuhi, dan menjadikan kasus kekerasan dalam rumah tangga ini
bukan kasus yang diabaikan. Tujuan sebuah perkawinan menurut Undang – Undang
Nomor 1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia,
sejahtera dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
C.
Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Temuan penelitian yang digambarkan diatas menjelaskan bahwa dampak lain yang sangat memprihatinkan akibat dari tindakan kekerasan dalam rumah tangga
ialah adanya
gejala
perceraian.
Walaupun demikian, akan
tetapi akibat dari tindakan kekrasan yang dilakukan
dalam rumah
tangga
tersebut
tetap mempunyai dampak
terhadap perkawinan
mereka, juga terhadap anak, terutama berdampak pada psikis anak, yaitu takut, jiwa kecil
dan anti pati terhadap pelaku (ayah mereka). Apalagi bagi anak perempuan
akan lebih merasa takut dan berjiwa kecil.
Dalam hubungan dengan hal
ini, anak mengembangkan adaptasi dan keyakinan-keyakinan
yang keliru sesuai dengan "sosialisasi" yang
dewasa
sedemikian rupa,
meniru pola
yang dialami; atau
anak
merasa dikhianati oleh orang yang
seharusnya mencintai, orang yang
menjadi
tempatnya berlindung, yang kemudian muncul adalah ketidak percayaan dan ketakutan pada orang lain dan
kehidupan pada umumnya. Hal ini
tentu akan berdampak pada kemampuan sosialisasi,
kebahagiaan, dan hampir pada dimensi psikologis kehidupannya.
Tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam rumah tangga, juga
berdampak pada ekonomi keluarga. Secara umum, temuan penelitian menunjukan bahwa akibat dari
KDRT
tersebut membuat ekonomi keluarga akan terganggu sehingga hal ini
pun akan
berdampak
pula
pada psikologi
korban (isteri).
Dampak lain yang dirasakan oleh
korban,
bahwa ia
merasa dikucilkan
dalam masyarakat lingkungannya, bahkan dampak sosial lainnya yang ia alami adalah korban tidak jarang digoda oleh laki-laki, terutama laki-laki yang
dianggap
tadinya dapat memberi penguatan atau perlindungan kepada
korban,
ternyata justru mereka juga tampaknya ingin memanfaatkan keberadaan
korban
sebagai
korban yang sedang dalam keretakan rumah tangga.[41]
D.
Kerangka Pikir
Pertama-tama perlu digariskan bahwa kajian ini
merupakan suatu
analisa sebab dan akibat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Maka kriminologi akan mendominasi
pemaparan selanjutnya. Ini dimaksudkan
agar ada batasan yang jelas mengenai
kajian tersebut.
Kekerasan jika dikaitkan dengan kejahatan, maka kekerasan sering merupakan pelengkap dari kejahatan itu sendiri. Bahkan, ia
telah membentuk ciri tersendiri dalam khasanah tentang
studi kejahatan. semakin menggejala dan menyebar
luas
frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam masyarakat,
maka semakin tebal
keyakinan masyarakat akan
penting dan seriusnya kejahatan semacam ini [42]Isu
mengenai kejahatan dengan kekerasan.
Tujuan dari kekerasan itu
sendiri dan bergantung pula pada persepsei kelompok masyarakat tertentu, apakah kelompok berdasarkan ras, agama, dan ideologi. Pandangan dengan mendasarkan pada
pendekatan konflik ini terletak pada teori-teori interaksi sosial mengenai
pembentukan kepribadian dan konsep “proses sosial” dan
perilaku kolektif. Pandangan
ini mengasumsikan bahwa
manusia selalu merupakan makhluk yang terlibat dalam kelompoknya
dalam arti hidupnya merupakan bagian
produk dari kelompok kumpulannya. Pandangan ini juga beranggapan bahwa
masyarakat merupakan kumpulan kelompok-kelompok
yang bersama-sama memikul perubahan, namun mampu menjaga keseimbangan
dalam menghadapi kepentingan-kepentingan dan usaha-usaha dari kelompok yang
bertentangan. Selain itu dalam suatu penelitian kriminologi dapat dipakai untuk
membantu pembuatan undang-undang pidana (kriminalisasi) dan pencabutan
undnag-undang (dekriminalisasi).[43]
[1] Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan singkat, PT RajaGrafindo Persada , Jakarta, hal. 29.
[2]
Daryanto S.S, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Surabaya: Apollo, 1997), 124
[3]
Ibid, 231
[4]
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengket amelalui Pendekatan Mufakat. PT.
Raja Grafindo Persada Pres. Jakarta 2010, 49
[5]
Undang –undang No 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
[6]
Al-Qur’an dan Tafsirnya Departemen Agama Republik Indonesia, edisi yang
disempurnakan (Jakarta : DEPAG 2009)
[7]
Abdullah Nasikh Ulwan, Perkawinan Masalah Orang tua, Orang Muda dan Negara,
terjemahan Moh. Nurhakim (Jakarta : Gema Insane Prees, h. 112
[9]
Iskandar A. Gani dalam bukunya Perspektif Penegakan Hukum dan Ham Terhadap
Kasus Pelanggaran Ham Berat di Indonesa (Kajan Yuridis Historis atas Kasus Pelanggaran Ham Di Aceh) menyebutkan
bahwa Kekerasan Terhadap Perempuan termasuk dalam Pelanggaran Ham yang berat). Iskandar A. Gani,” Perspektif
Penegakan Hukum dan Ham Terhadap Kasus Pelanggaran Ham Berat di Indonesa (Kajan
Yuridis Historis atas Kasus Pelanggaran
Ham Di Aceh)”, Syiah Kuala University Press, Darussalam-Banda Aceh, h. 11.
[17]
Ibid, Abdullah Nasikh Ulwan, 182
[18]
Abdul Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 1996), h. 32
[19]
Ibid
[20]
Jack D. Douglas & Frances Chaput Waksler, Kekerasan dalam Teori-Teori
Kekerasan, Ghalia Indonesia, 2002, h. 71
[21]
Shinta Agustina Kekerasan dalam Keluarga, Suatu Kajian Yuridis Kriminologis
tentang Penganiayaan dalam Keluarga. ( Jakarta : 2003), h. 82
[22]
Ibid,
[23]
Saleh bin Ganim as-Sadlani, Nusyuz, alih bahasa A. Syauqi Qadri, cet. I
(Jakarta: Gema Insani Press, 1998) h. 57
[24]
Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf an-Haqaiq At-Tanzil wa 'Uyun Al-Aqawil,
(Taheran: Intisyarat Aftab, t.t.), I : 524.
[25] Abu
'Isa Muhammad bin 'Isa bin Surah, Al-Jami' as-Sahih wa Huwa Sunan
al-Tirmiz\i, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.t.), III: 467. Hadis ini juga diriwAyatkan oleh ibn
Majah dalam Sunan ibn Majah, "Kitab an-Nikah", "Bab al-Mar'ah
'ala az-Zawj", hadis 1851.
[26]
Ibid, 44.
[27]
Nabi Ayyub a.s. menderita penyakit kulit beberapa waktu lamanya dan dia memohon
pertolongan kepada Allah SWT. Allah memperkenankan doanya dan memperkenankan
agar dia menghentakkan kakinya ke bumi. Ayyub a.s. mentaati perintah itu maka
keluarlah air dari bekas kakinya atas petunjuk Allah, Ayyub a.s. pun mandi dan
minum dari air itu, sehingga sembuhlah dia dari penyakitnya dan dia dapat
berkumpul kembali bersama keluarganya. Maka mereka kemudian berkembang biak
sampai jumlah mereka dua kali lipat dari jumlah sebelumnya. Pada suatu ketika,
Ayyub a.s. teringat atas sumpahnya, bahwa dia akan memukul isterinya bilamana sakitnya
sembuh disebabkan isterinya pernah lalai mengurusinya sewaktu dia masih sakit.
Akan tetapi tumbuh dalam hatinya rasa ibah dan sayang kepada isterinya sehingga
dia tidak dapat memenuhi sumpahnya. Oleh sebab itu turunlah perintah Allah
seperti yang tercantum dalam Ayat 44 di atas, agar dia dapat melaksanakan
sumpahnya dengan tidak menyakiti isterinya yaitu memukulnya dengan seikat
rumput.
[28]
Muhammad 'Ali As-Sabuni, Rowaiul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an,
(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001 H/14), II: 350.
[29] Muhammad
Usman al-Khasit, Sulitnya Berumah Tangga: Upaya Mengatasinya Menurut
al-Qur'an dan Hadis, ilmu Pengetahuan, alih bahasa A. Aziz Salim Basyarahil, (Jakarta: GIP, 1994), h.
81.
[30] Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, tt.), IV: h. 1355.
[31] Rasyid
Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,
1394 H/1973 M.), V: 75.
[32] Ibid.
[33] Ibid.,
V: 74-75.
[34]
Asghar Ali Enggineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, alih bahasa Farid
Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994), h. 76.
[35] Ibid.,
h. 72.
[36] Ibd.
[37]
Amina Wadud, Qur'an dan Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2000), hlm. 21.
[38]
Shinta Agustina Kekerasan dalam Keluarga, Suatu Kajian Yuridis Kriminologis
tentang Penganiayaan dalam Keluarga. ( Bandung : 2003), h. 59-60
[39]
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat. Kencana Prenada Media Grup, (Jakarta :
2003), h. 48-50
[40]
Ibid
[41]
Ibid
[42] Prof. Dr. H. Romli Atmasasmita, SH.LLM. Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika
Aditama,2007, hal.
63
[43]
Ibid
................................@@@@@.......................
................................@@@@@.......................
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an dan Tafsirnya Departemen
Agama Republik Indonesia, edisi yang disempurnakan (Jakarta : DEPAG 2009)
Abd.RahmanGhazaly,
Fiqih Munakahat. Kencana Prenada Media Grup, (Jakarta : 2003)
Asghar Ali Enggineer,
Hak-hak Perempuan dalam Islam, alih bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha
Assegaf, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1994)
Abdullah Nasikh Ulwan, Perkawinan
Masalah Orang tua, Orang Muda dan Negara, terjemahan Moh. Nurhakim (Jakarta :
Gema Insane Prees
Abdul Rahman, Perkawinan dalam Syari’at
Islam, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1996)
Abu 'Isa Muhammad bin
'Isa bin Surah, Al-Jami' as-Sahih wa Huwa Sunan al-Tirmiz\i, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Alamiyah, t.t.), III: 467. Hadis ini juga diriwAyatkan oleh ibn
Majah dalam Sunan ibn Majah, "Kitab an-Nikah", "Bab al-Mar'ah
'ala az-Zawj", hadis 1851.
Amina Wadud, Qur'an dan
Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2000)
Az-Zamakhsyari,
al-Kasysyaf an-Haqaiq At-Tanzil wa 'Uyun Al-Aqawil, (Taheran: Intisyarat Aftab,
t.t.)
Blok
Jurnal Hukum, perlindungan terhadap perempuan melalui undang-undang kekerasan dalam
rumah tangga : analisa perbandingan antara Indonesia dan India, diakses 10 Juli
2009
Daryanto S.S, KamusBahasa Indonesia
Lengkap (Surabaya: Apollo, 1997)
Ensiklopedi Hukum Islam,
(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, tt.), Jilid, IV
Flower Aceh,” Menguak
Tabir Kekerasan Rumah Tangga” ,Edisi 38/Tahun lV/Mei 2001
Iskandar A. Gani,” Perspektif Penegakan Hukum dan Ham Terhadap
Kasus Pelanggaran Ham Berat di Indonesa (Kajan Yuridis Historis atas Kasus Pelanggaran Ham Di Aceh)”, Syiah Kuala
University Press, Darussalam-Banda Aceh
Jack D.
Douglas & Frances ChaputWaksler, Kekerasan dalam Teori-Teori Kekerasan,
Ghalia Indonesia, 2002
Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004.Undang-UndangRepublik Indonesia nomor 23
Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Muhammad 'Ali As-Sabuni,
Rowaiul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, (Jakarta: Dar al-Kutub
al-Islamiyah, 2001 H/14), II: 350.
Muhammad Usman
al-Khasit, Sulitnya Berumah Tangga: Upaya Mengatasinya Menurut al-Qur'an dan
Hadis, ilmu Pengetahuan, alih bahasa A. Aziz
Salim Basyarahil, (Jakarta: GIP, 1994), h. 81.
Romli Atmasasmita, SH.LLM. Teori dan Kapita Selekta Krimonologi, Rafika
Aditama, 2007
Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir
al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1394 H/1973 M.), Jilid V
Shinta
Agustina Kekerasan dalam Keluarga, Suatu KajianYuridis Kriminologis tentang Penganiayaan
dalam Keluarga. (2003)
Saleh bin Ganim
as-Sadlani, Nusyuz, alih bahasa A. Syauqi Qadri, cet. I (Jakarta: Gema Insani
Press, 1998)
Soejono Soekanto dan Sri
Mamudji, 2001, Penelitian Hukum
Normatif, Suatu Tinjauan singkat, PT RajaGrafindo Persada , Jakarta
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian
Sengket amelalui Pendekatan Mufakat. PT. Raja Grafindo Persada Pres. Jakarta
2010
Undang-undang No 23
tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar