BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Filsafat
adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara
kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar.[1]
Filsafat Yunani klasik merupakan permulaan dari pemikiran filsafat
atau pembahasan filsafat secara spekulatif rasional dan irrasional dogmatis.
Filsafat Yunani klasik merupakan contoh ilustrasi pemikiran dan pembahasan
masalah filsafat secara sistematis dan lengkap dan berlaku sampai sekarang.[2]
Berbagai pemikiran
tentang filsafat mengalami kemajuan pada masa Renaissance. Memasuki abad ke-17
beberapa filosuf mencapai penyempurnaan dan kedewasaan pemikiran. Pengaruhnya
sangat besar bagi pemikiran-pemikiran filsafat pada masa berikutnya.
Oleh karena itu, pada masa ini yang dipandang sebagai sumber
pengetahuan hanya apa yang secara alamiah dapat dipakai manusia yaitu akal atau
rasio dan pengalaman atau empiris. Orang cenderung untuk memberikan tekanan
kepada salah satu dari keduanya. Pada abad ini muncul dua aliran filsafat yang
saling bertentangan yaitu rasionalisme dan empirisme.[3]
Rasionalisme adalah
sebuth aliran filsafat yang menekankan akal atau rasio sebagai sumber
pengetahuan yang memiliki nilai kebenaran dan dapat diuji keilmiahannya. Maka
pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat kebenaran ilmiah
secara mutlak. Adapun pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan
pengetahuan yang telah diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman karena
akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirnya sendiri yaitu atas dasar
asas-asas yang pasti. Metode yang diterapkan adalah deduktif dengan pendekatan
ilmu pasti.
Segala sesuatu dapat dan harus dimengerti secara rasional. Suatu
pernyataan hanya boleh diterima sebagai benar dan sebuah claim hanya dapat
dianggap sah apabila dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.[4] Wewenang tradisional
otoritas dan dogma merupakan pernyataan yang dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.
Rasionalisme merupakan
semacam pemberontakan terhadap otoritas-otoritas tradisional yang bersifat
dogmatis. Tidak cukup untuk mendasarkan sebuah tuntutan atas wewenang pihak
yang menuntut, melainkan isi tuntutan itu sendiri harus dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional. Aliran filsafat ini secara hakiki
bersifat anti tradisional.
Adapun
aliran empirisme berpendapat bahwa empirik atau pengalamanlah yang menjadi
sumber pengetahuan baik pengalaman yang batiniyah maupun yang lahiriayah.
Akal bukan menjadi sumber pengetahuan, akan tetapi akal mendapatkan tugas untuk
mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan
adalah induksi. Semula aliran ini seperti masih menganut semacam realisme
yang naif yang menganggap bahwa pengenalan yang diperoleh melalui pengalaman
tanpa penyelidikan lebih lanjut telah memiliki nilai yang obyektif. Akan tetapi
kemudian nilai pengenalan yang diperoleh memalui pegalaman itu sendiri
dijadikan sasaran atau obyek penelitaian.
Aliran ini muncul di Inggris pada awalnya dipelopori Francis Bacon
(1531-1626). Pada perkebangannya dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes
seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley
(1685-1753), dan yang terpenting adalah David Hume (1711-1776).[5]
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian singkat dalam latar
belakang, pemakalah mengajukan permaslahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan empirisme
beserta konstruksinya?
2. Bagaimanakah pemikiran para filosuf
empiriseme tentang ilmu pengetahuan?
3. Jelaskan telaah kritis pemikiran
filsafat empirisme?
C. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pokok
permsalahan, maka penulis menyusun makalah ini dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab I : Pendahuluan,
pemakalah menyajikan latar belakang, permasalahan dan kerangka teori serta
sistematika penulisan.
Bab II : Pembahasan
berisi tentang pengertian dan konstruksi empirisme, pemikiran empirisme beserta
filosofnya dan telaah kritis tentang pemikiran filsafat empirisme.
Bab III : Penutup, disajikan beberapa
kesimpulan, saran/kritik dan kata penutup.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kajian Filsafat Empirisme
Dalam ilmu pengetahuan yang paling berguna, pasti dan benar itu
deperoleh orang melalui inderanya. Empirislah yang memegang peranan amat
penting bagi pengetahuan, malahan barangkali satu-satunya dasar pendapat di
atas itu disebut empirisme.[6]
Empirisme merasa puas untuk menggarap hasil pekerjaannya dalam
bidang materi hanya sebagai hipotesa yang dapat diubah menurut pengalaman di
kemudian hari.[7] Pada perkembangannya,
empirispun diupayakan menjadi radikal dengan klaimnya harus tidak menerima
dalam bentuknya unsur apa saja yang tidak dialami secara langsung atau
mengeluarkan dari bentuknya unsur yang dialami secara langsung.
Pengalaman-pengalaman dan fakta-fakta kehidupan sehari-hari merupakan dasar,
realitas adalah hal yang dialami baik merupakan benda atau perubahan keadaan.
1.
Pengertian Empirisme
Beberapa pemahaman
tentang pengertian empirisme cukup beragam, namun intinya adalah pengalaman
Di antara pemahaman tersebut antara
lain:
a. Empirisme berasal dari kata Yunani empirikos yang
berasal dari kata empeiria, artinya pengalaman. Menurut aliran ini
manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamnnya. Bila dikembalikan kepada
kata Yunaninya pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi. Manusia
tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya.[8]
b. Empirisme adalah faham filsafat yang mengajarkan bahwa benar
adalah yang logis dan ada bukti empiris. Menurut empirisme yang benar adalah
anak panah bergerak sebab secara empiris dapat dibutktikan bahwa anak panah itu
bergerak. Coba saja perut anda menghadang anak panah itu perut anda akan
tembus, benda yang tembus sesuatu haruslah benda yang bergerak.[9]
c. Empirisme
dalam bahasa Inggris, empiricism; dari Yunani empeiria, empiris
(berpengalaman dalam, berkenalan dengan, terampil untuk) latin experienta
(pengalaman). Empirisme adalah doktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus
dicari dalam pengalaman. Salah satu teori mengenai asal pengetahuan.
d. Secara etimologi, istilah empirisme berasal dari kata Yunani empeiria
yang berarti pengalaman.[10]
2. Konstruk Empiris
Rome Harre dalam tulisannya “Varieties of Realism (1986)”
membedakan tiga realm (domein) entitas empirik sebagaimana
dinukil Prof. Dr. H. Noeng Muhadjir.[11]
a. Realm
1 adalah entitas empirik yang dapat ditangkap dengan panca indera manusia.
Benda-benda yang bisa diamati indera manusia adalah nyata. Yang
benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda itu yang
menunjukkan sifatnya.[12]
b. Realm
2 adalah entitas empirik yang tidak dapat ditangkap panca indera secara
langsung.
Mikro-organisme, sinar X
merupakan entitas empiris yang hanya dapat ditangkap panca indera kita dengan
instrumen. Entitas empiris realm 2 ini merupakan evidensi
instrumentatif. Benda-benda yang bisa diamati walaupun dengan alat bantu karena
memiliki sifat kebendaan sehingga bisa ditangkap dengan panca indera adalah
nyata.
c. Entitas
empirik realm 3 adalah evidensi seperti neutron, chip dengan berjuta
fungsi dan lain-lain. Entitas empirik realm 3 dapat dibuktikan dengan
terapan disertai penjelasan teoretik logik.
Prof. Dr. Noeng Muhadjir membedakan konstruk empirik atas
pengahanyatan empirik sensual, penghayatan empirik logik, penghayatan empirik
etik dan penghayatan empirik transendental. [13] konstruk empirik ini
ternyata lebih detail dan datarannya lebih berlanjut. Namun bila dikorelasikan
denga pendapat Rome Hare sebenarnya sangat berhubungan dan saling mendukung.
Entitas
empirik realm 1 termasuk dalam penghayatan empirik sensual. Sedangkan
realm 2 dan realm 3 termasuk dalam penghayatan empirik logik. Penghayatan
konstruk empirik tersebut dapat diteruskan pada dataran berikutnya, yakni
penghayatan empirik etik dan penghayatan empirik transendental.
Dengan
meminjam konsep entitas emprik Rome Harre barangkali telaah entitas emprik
konsep Noeng Muhadjir; entitas empirik bisa dikategorikan sebagai realm 4.
Entitas empirik etik secara konseptual merupakan entitas empirik yang
kebenarannya dapat dibuktiakan dengan uji koherensi pada values yang
diakui sebagai kriteria moral universal.
Penghayatan empirik transendental dapat pula disebut sebagai realm
5. Realm 5 ini merupakan entitas empirik yang dapat dihayati oleh banyak
orang dalam tampilan rahmah, himah, maghfirah dan semacamnya. [14] karena bersifat pribadi
perseorangan namun bisa juga dialami oleh banyak orang dalam term yang
bervariatif berdasar tingkat keimanan maupun rasio yang mereka miliki.
B. Beberapa Pemikiran
Filosof Empirisme
Pada abad 17 masa Ranaissance
bermunculan berbagai pandangan filsafat atas ilmu pengetahuan. Empirisme adalah
bagian dari filsafat pada masanya dengan memunculkan beberapa tokoh filosof.
Berikut penulis sampaikan tiga filosuf sebagai sampel pemikiran empirisme yang
cukup berpngaruh, yaitu Thomas Hobbes, John Locke, dan David Hume.
1.
Thomas Hobbes (1588-1679)
Thomas Hobbes adalah anak
seorang pedeta, minatnya dari semula terarahkan kepada kesusastraan dan
filsafat. [15] Ia seorang filosuf
Inggris, memahami manusia secara mekanik semata. Cita-citanya untuk
mengembangkan suatu filsafat atau teori negara yang dapat membantu untuk
menyusun masyarkat dalam keadaan damai dan adil.[16]
Bukanlah yang abstrak
dan umum yang sungguh-sungguh ada. Pengertian umum itu hanya nama belaka yang
sesungguhnya ada ialah hal sendiri. Adapun hal ini hanya tercapai pengenalannya
dengan persentuhan indera. Hanya kalau dapat disentu dengan indera itulah suatu
tanda kebenaran dan kesungguhannya. Pengetahuan kita tak mengatasi pengideraan;
dengan kata lain pengetahuan yang benar hanyalah pengetahuan indera saja
selainnya bukanlah pengetahuan.
Materialisme yang dianut Thomas Hobbes mensinyalir bahwa segala
sesuatu yang ada bersifat bendawi yakni segala kejadian adalah gerak yang
berlangsung karena keharusan dan realitas tidak bergantung pada gagasan kita,
terhisap di dalam gerak itu. Sebagai penganut empirisme, ia beranggapan bahwa
pengalaman merupakan permulaan segala pengenalan.[17]
Ada yang menyebut ia
seorang penganunt sensualisme, karena ia amat mengutamakan sensus (indera) dalam
pengetahuan, memang tidak salah tetapi dalam hubungan ini tentulah ia dianggap
salah satu dari penganut empirisme-yang mengatakan bahwa persentuhan dengan
indera (empirik) itulah yang menjadi pangkal dan sumber ilmu pengetahuan.
Pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan.
Pengalaman intelektual tidak lain semacam perhitungan (kalkulus) yaitu
penggabungan data-data inderawi yang sama dengan cara yang berlainan.[18] Hobbes telah menyusun
suatu sistem yang lengkap, berpangkal kepada empirisme secara konsekuen.
Sekalipun ia berpangkal pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode
yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme
dengan rasionalisme matematis.
Baginya filsafat adalah
suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu
pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat atau tentang
penampakan-penampakan yang sedemikian seperti yang kita peroleh dengan
merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebab atau
asalnya.
Sasaran filsafat adalah
fakta-fakta yang diamati dengan maksud mencari sebab-sebabnya. Dalam pengamatan
disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada
dalam kesadaran kita seperti: ruang, waktu, bilangan dan gerak dari pengamatan
pada benda.
Tidak semua yang diamati pada benda-benda itu nyata. Yang
benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala
gejala pada benda yang ada pada pengamat saja, segala yang ada ditentukan oleh
sebab, dunia adalah suatu keseluruhan sebab-akibat. [19]
Pengalaman adalah
keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan di dalam ingatan dan
dibagungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai dengan apa yang
telah diamati pada masa yang lampau. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak
benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita.
Gerak ini diteruskan kepada otak kemudian diteruskan ke jantung. Di dalam
jantung timbullah suatu reaksi, suatu gerak yang berlawanan. Pengamatan yang
sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Sasaran yang diamati
adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan obyek atau
sasaran kualitas dalam obyek-obyek yang sesuai dengan penginderaan kita
bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita dengar
bukan benda di dalam obyek melainkan di dalam subyeknya. Sifat-sifat inderawi
tidak memberi gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan. Ingatan,
rasa senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani bersandar semata-mata
pada aosiasi gambaran-gambaran yang murni bersifat mekanis.
Thomas Hobbes menjadi
besar namanya disebabkan karena teorinya yang lebih modern tentang negara
dibanding dengan teori tentang negara yang mendahuluinya. Pemikirannya didasari
dengan tabiat alamiah manusia hingga dibutuhkan negara yang absolut bahkan
hingga pemikiran atheisnya bahwa Allah yang dapat mati.
Di
antara pemikirannya antara lain:
Menurut tabiatnya segala manusia adalah sama, dalam keadaannya
yang alamiah tiap manusia ingin mempertahankan kebebasannya dan menguasai orang
lain. Pada dasarnya manusia cenderung untuk mempertahankan dirinya sendiri
karena waktu itu yang ada hanya hukum alam. Akibanya mereka tertekan sehingga
menimbulkan perang total sehingga hidup menjadi buruk, kasar dan singkat. Sebab
dalam perang total itu kebijakan pokok ialah kekautan dan kecurangan agar
manusia dapat bebas dari pada bahaya kehancuran, pengalaman mengajarkan bahwa
akal sehat menuntut supaya tiap orang mau melepaskan haknya untuk berbuat
sekehendak sendiri. Oleh karenanya mereka bersatu dan bersama-sama membuat
perjanjian bahwa mereka akan tunduk kepada penguasa pusat yang mereka bentuk.
Oleh karena itu warga negara tidak berhak untuk meberontak. Orang banyak yang
dipersatukan demikian itu disebut “commonwealth”. Commonwelath ini
disebut Leviatan, Allah yang dapat mati. Di dalam commonwealth
yang dipentingkan adalah perdamaian yang awet yang tahan lama. Pemerintah harus
diberi kuasa mutlak tanpa batas. Sumber segala hak, hukum, moral adalah kuasa
yang memerintah. Baik dan jahat bagi perbuatan manusia diukur menurut peraturan
dan larangan negara. [20]
2. Jhon Locke
(1632-1704)
John Locke adalah filosof Inggris, lahir tahun 1632 di Wrington,
Somersetshire. Tahun 1647-1652 ia belajar di Westminster. Tahun 1652 ia
memasuki Universitas Oxford mempelajari agama Kristen, namun ia juga
mempelajari pengetahuan di luar tugas pokoknya. [21]
Lock
menyelidiki kemampuan pengetahuan manusia, sampai kemanakah ia dapat mencapai
kebenaran dan bagaimanakah mencapainya itu. Ia mempergunakan istilah sensation
dan reflection dalam upaya mencari kebenaran atas pengetahuan.
Reflection itu pengenalan intuitif serta memberi pengetahuan apakah kepada
manusia lebih baik lebih penuh dari pada sensation. Sansation
merupakan suatu yang memiliki hubungan dengan dunia luar tetapi tak dapat
meraihnya dan tak dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa sensations
manusia tak dapat juga suatu pengetahuan
Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerja sama antara sensation
dan reflections. Tetapi haruslah ia mulai dengan sensation sebab
jiwa manusia itu waktu dilahirkan merupakan yang putih bersih; tabula rasa, tak
ada bekal dari siapa pun yang merupakan ide innatae.[22]
Seluruh pengetahuan kita
peroleh dengan jalan menggunakan dan membandingkan gagasan-gagasan yang
diperoleh dari pengindraan dan refleksi. Akal manusia hanya merupakan tempat
penampungan yang secara pasif menerima hasil penginderaan kita.[23] Menurut Locke kita tidak
melihat pohon atau orang atau mendengar bunyi sangkakala melainkan kita melihat
kesan inderawi pada retina yang disebabkan oleh apa yng kita lihat sebagai
pohon. Kita mendengarkan reaksi selaput kuping terhadap getaran-getaran udara
yang disebabkan oleh peniupan sangkakala.[24]
Buku Jhon Locke, "Essay Concerning Human Understanding"
1689 ditulis berdasarkan premis yaitu semua pengetahuan datang dari pengalaman
(halaman 108). Ini berarti, tidak ada yang dapat di jadikan idea atau konsep
tentang sesuatu yang berada dibelakang pengalaman tidak ada idea yang
diturunkan.[25]
Faktor bawaan (innate)
itu tidak ada, argumennya adalah:
1. Dari
jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada.
Pengetahuan datang melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-kesan
bawaan.
2.
Persetujuan umum adalah argumen yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat
disetujui oleh umum tentang adanya innate idea itu sebagai suatu daya
yang inhern.
3.
Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate idea.
4. Apa innate
idea itu sebernya tidaklah mungkin diakui dan sekaligus juga tidak
diketahui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan ada innate idea justru
sebagai alasan untuk mengatakan ia tidak ada.
5. Tidak
juga dicetakkan (ditempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, idea innate
itu tidak ada. Padahal anak normal dan anak idiot sama-sama berpikir.
Bedasarkan asas-asas teori pengenalan, dalam etikanya Locke
menolak adanya pengertian keberhasialan yang tidak menjelaskan bawaan tabiat
manusia. Apa yang menjadi bawaan tabiat kita hanyalah kecenderungan-
kecenderungan yang menguasai perbuatan-perbuatan kita. Segala kecenderungan itu
dapat di kombinasikan kepada usaha untuk mendapatkan kebahagian.[26]
Kesimpulan Locke adalah subtance is we know not what.
Tentang subtansi kita tidak tahu apa-apa. Ia mengetahui menyatakan bahwa apa
yang dianggapnya subtansi ialah pengertian tentang obyrk sebagai idea tentang
obyek itu dibentuk oleh jiwa berdasarkan masukan dari indera.[27]
3. David Hume
(1711-1776)
Hume seorang Skot, lahir
didekat kota Edinburgh Inggris tahun 1711. Ia telah pernah mengajar di
Universitas, barangkali juga karena ia dianggap ateis sehingga tidak akan
diterima sebagian profesor. Ia banyak berkeliling di Eropa terutama di
Perancis. [28] Buku yang ia tulis ketika
berumur duapuluh tahunan adalah Kretise Of Human Nature (1739), namun
tidak banyak menarik perhatian orang. Waktu mudanya ia juga berpolitik tetapi
tak terlalu mendapat sukses,[29] kemudian ia beralih
menjadi sejarawan. Pada tahun 1948 ia menulis buku yang sangat terkenal, An
Enquiry Concerring the Princeiples of Morals (1751). Hume meninggal pada
tahun 1776.
Ia menganalisis pengertian substansi, seluruh pengetahuan itu tak
lain dari jumlah pengalaman kita. Dalam budi kita tak ada suatu idea yang tidak
sesuai dengan impression yang disebabkan “hal” di luar kita. Adapun yang
bersentuhan dengan indera kita itu sifat-sifat atau gejala-gejala dari hal
tersebut. Yang menyebabkan kita mempunyai pengertian sesuatu yang
tetap–substansi–itu tidak lain dari perulangan pengalaman yang demikian
acapkalinya. Subtansi itu hanya anggapan, khayal, yang sebenarnya tak ada.[30]
Manusia tidak membawa pengtahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber
pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yaitu kesan-kesan
(impressions) dan pengertian-pengertian atau idea-idea (ideas).[31]
Yang
dimaksud dengan impressions atau kesan-kesan adalah pengamatan langsung
yang diterima dari pengalaman baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman
batiniah yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat seperti merasakan
tangan terbakar. Adapun ideas adalah gambaran tentang pengamatan yang
hidup, samar-samar yang dihasikan dengan merenungkan kembali atau ter-refleksikan
dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.
Perbedaan
kedua-keduanya terletak pada tingkat kekuatan dan garisnya menuju jiwa dan
jalan masuk kesadaran. Persepsi yang termasuk denagn kekuatan besar dan kasar
disebut impression (kesan) dan semua sensasim nafsu emosi termasuk
kategori ini begitu mereka masuk kedalam jiwa. Idea adalah gambaran kabur (faint
image) tentang persepsi yang masuk kedalam pemikiran.
Selanjutnya David Hume
menyatakan sebagaimana dinukil Prof.Dr. Ahmad Tafsir sebagai berikut:
Setelah saya pikirkan secara teliti ternyata persepsi itu dapat
dibagi menjadi dua macam yaitu pesepsi yang sederhana (simple) dan
persepsi yang ruwet (complex). Seluruh kesan dan idea kita saling
berhubunan. Dalam penyelidikan saya ternyata hanya idea yang kompleks yang
tidak memiliki kesan (impression) yang berhubungan dengan idea itu.
Banyak juga kesan yang kompleks yang tidak direkam dalam idea kita. Saya tidak
bisa menggambarkan suatu kota yang belum pernah saya lihat. Akan tetapi saya
pernah melihat kota Paris namun saya harus mengatakan saya tidak sanggup
membentuk idea tentang kota Paris yang lengkap dengan gedung-gedung, jalan dan
lain lengkap dengan ukuran masing-masing. Mengapa? Karena tidak semua kesan (impression)
direkam dalam idea.[32]
Pengalaman lebih memberi
keyakinan dibandingkan kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Hukum
sebab akibat tidak lain hanya hubungan saling berurutan saja dan secara konstan
terjadi seperti api membuat air mendidih. Dalam api tidak bisa diamati adanya
"daya aktif" yang mendidihkan air. Daya aktif yang disebut hukum
kausalitas itu tidak bisa diamati. Dengan demikian kausalitas tidak bisa
digunakan untuk menetapkan peristiw-peristiwa yang akan datang berdasarkan
peristiwa-peristiwa terdahulu.[33]
Pemikirannya tentang eksistensi Tuhan adalah ketika kita percaya
kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini kita berhadapan dengan dilema, kita
berpikir tentang Tuhan menurut pengalaman masing-masing sedangkan itu hanya
setumpuk persepsi dan koleksi emosi saja. Kemudian, bagaimana kita dapat
mengatakan Tuhan itu Maha sempurna dan Maha Kuasa, sedangkan di alam terjadi
kejahatan dan berbagai bencana. Seharusnya alam ini juga sempurna sesuai denga
penciptanya tetapi ternyata tidak. Tuhan juga sumber kejahatan, terbatas dan
memiliki sifat mencintai dan membenci. Penelitiannya tentang dunia tidak mampu
membuktikan Tuhan kecuali Tuhan itu tidak sempurna.[34]
Lebih lanjut Hume
berkomentar, tidak ada bukti yang dapat dipahami untuk membuktikan bahwa Allah
ada dan bahwa Ia menyelenggrakan dunia. Juga tidak ada bukti bahwa jiwa tidak
dapat mati. Dalam praktik, orang-orang yang beragama selalu mengikuti
kepercayaan yang dianggap pasti sedang akal tidak dapat membuktikannya.
Menurutnya banyak sekali keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak
berlaku umum dan tidak berguna bagi hidup. Agama berasal dasri penghargaan dan
ketakutan manusia terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang menyebabkan manusia
mengangkat berbagai dewa untuk disembah.
Mukjizat adalah ajaran
agama yang juga diserang oleh David Hume. Dia memberikan lima alasan untuk
menolak mukjizat, yaitu:
1. Sepanjang sejarah
mukjizat tidak pernah diakui oleh sejumlah ilmuan dan kaum terpelajar.
2. Sebagian manusia
memang memiliki kecenderungan untuk percaya kepada peristiwa-peristiwa yang luar
biasa. Namun keyakinan ini tidak mendukung kebenaran mukjizat.
3. Kajian
peradaban membuktikan bahwa mukjizat hanya cocok terutama bagi masyarakat
terbelakang sedangkan bagi masyarakat yang telah maju justru menolaknya.
Semakin kita percaya kepada ilmu semakin tidak mampu kita ditipu oleh takhayul
(the more we believe in science the less we are likely to be deceived by
superstition).
4. Semua agama wahyu
memonopoli kebenaran mukjizat.
5. Data sejarah yang dapat dipecaya menunjukkan bahwa
peristiwa-peristiwa di dunia ini jelas, seperti kita bisa mengetahui tanggal
terbunuhnya Julius Caesar.[35]
Apa relevansi filsafat yang amat ekstrem dan memang sudah sering
dikritik itu? Bahwa kita tidak dapat mempunyai dan memang sudah pasti dan tidak
dapat memahami apa-apa. Jadi, sebaiknya kita hidup bagi sesaat saja. Paham
seperti Allah, tanggung jawab dan nilai adalah tanpa arti. Empirisme
mempersiapkan nihilisme.[36]
4. George Berkeley
George Berkeley sebagai penganut empirisme mencanangkan teori yang
dinamakan “immaterialisme” atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Ia bertolak
belakang dengan pendapat John Locke yang masih menerima substansi dari luar.
Berkeley berpendapat sama sekali tidak ada substansi-substansi material dan
yang ada hanya pengalaman ruh saja karena dalam dunia material sama dengan
ide-ide.[37]
Berkeley
mengilustrasikan dengan gambar film yang ada dalam layar putih sebagai benda
yang riil dan hidup. Pengakuannya bahwa “aku” merupakan suatu substansi rohani.
Tuhan adalah asal-usul ide itu ada yang menunjukkan ide-ide pada kita dan
Tuhanlah yang memutarkan film pada batin kita.
Sepintas kita pahami
bahwa konsep pemikirannya ada kemiripan dengan paham fatalism dari Inggris,
perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Tuhan. Juga
hampir sama dengan paham Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki
kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatan.
C. Telaah Kritis atas
Pemikiran Filsafat Empirisme
Meskipun aliran filsafat empirisme memiliki beberapa keunggulan
bahkan memberikan andil atas beberapa pemikiran selanjutnya, kelemahan aliran
ini cukup banyak. Prof. Dr. Ahmad Tafsir mengkritisi empirisme atas empat
kelemahan,[38] yaitu:
1. Indera terbatas,
benda yang jauh kelihatan kecil padahal tidak. Keterbatasan kemampuan indera
ini dapat melaporkan obyek tidak sebagaimana adanya.
2. Indera menipu, pada
orang sakit malaria, gula rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan
menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
3. Obyek yang menipu,
conthohnya ilusi, fatamorgana. Jadi obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia
ditangkap oleh alat indera; ia membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan
pengetahuan inderawi salah.
4. Kelemahan ini berasal
dari indera dan obyek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sisi meta) tidak
mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan dan kerbau juga tidak dapat
memperlihatkan badannya secara keseluruhan.
Metode empiris tidak dapat diterapkan dalam semua ilmu, juga
menjadi kelemahan aliran ini, metode empiris mempunyai lingkup khasnya dan
tidak bisa diterapkan dalam ilmu lainnya. Misalnya dengan menggunakan analisis
filosofis dan rasional, filosuf tidak bisa mengungkapkan bahwa benda terdiri
atas timbuanan molekul atom, bagaimana komposisi kimiawi suatu makhluk hidup,
apa penyebab dan obat rasa sakit pada binatang dan manusia. Di sisi lain
seluruh obyek tidak bisa dipecahkan lewat pengalaman inderawi seperti hal-hal
yang immaterial.[39]
Kritik Hume terhadap agama tampaknya tidak seluruhnya dapat
dipertanggungjawabkan. Ia terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan tentang
teologia. Di antara kritikan Hume yang tidak relevan itu ada tiga,[40] yakni:
Pertama, Hume cenderung mempertentangkan dua bentuk teisme yang monopolar
dan mengabaikan sintesis dipolar. Dalam hal ini ada dua pola, yaitu
mistisisme dan antropromorpisme. Dalam mistisisme, Tuhan berada dalam konsepsi
positif tetapi tidak sempurna. Tuhan adalah sempurna, abadi dan wajib ada.
Dunia di lain pihak tidak sempruna, terbatas dan mungkin ada. Sesuatu yang
sempurna hanya dapat dijelaskan lewat pendekatan dipolar, bukan monopolar
sebagaimana yang dikemukakan Hume.
Kesempurnaan Tuhan dapat
digambarkan dari ketidaksempurnaan dunia. Seandainya dunia tidak ada atau ada
tetapi sempurna, maka kesempurnaan Tuhan akan sulit diidentifikasi. Kritikan
Hume hanya terbatas pada aspek empiris saja, yakni Tuhan yang tak terbatas
berada dalam dunia yang terbatas. Contoh lain memperkuat argumen ini adalah
kebaikan hanya dapat dipahami kalau ada kejahatan.
Kedua, Hume mengabaikan peranan akal dalam menangkap realitas. Padahal
akal mampu menghubungkan kejadian-kejadian yang lampau dengan kejadian sekarang
bahkan meramalkan sesuatu yang akan datang. Akal juga mampu memberikan ide-ide
umum tentang fakta-fakta yang beragam. Contohnya mobil, sepeda dan pesawat
diabstraksikan oleh akal menjadi alat transportasi.
Ketiga, Hume terlalu meredusir semua realitas dalam kajian empiris
sehingga dia terjerumus pada determinisme empiris. Realitas alam menjadi sempit
dan kecil serta mutlak dan tidak pernah berubah. Padahal realitas sangat luas
dan di luar alam empiris masih tedapat wujud lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemikiran filsafat
mengalami kemajuan pesat pada abad 17-18. Setelah para sarjana menyelesaikan
studinya di Barat. Empirisme dan rasionalisme adalah dua aliran filsafat yang
cukup berpengaruh pada saat itu.
2. Emprisme adalah suatu
paham filsafat yang mengajarkan bahwa kebenaran itu adalah yang logis dan ada
bukti empris.
3. Peletak dasar empiris
pertama adalah Francis bacon, bapak empirisnya Jhon Locke dan beberapa filsuf
lainya seperti Thomas Hobbes, Berkeley, David Hume dan lainnya.
4. Meskipun aliran
empirisme sangat berpengaruh atas pemikiran-pemikiran filsafat selanjutnya
namun banyak dijumpai kelemahan baik metode, obyek tentang empiris.
5. Empirisme menganggap
agama, mukjizat, bahkan Tuhan sebagai keyakinan yang tidak logis dan tidak bisa
dibuktikan secara ilmiah hanya karena empirisme tidak mampu membuktikan
eksistensi immateri.
B. Saran dan Kritik
Dengan
kerendahan hati, penulis merasa makalah ini sangat sederhana dan jauh dari
kesempuraan. Saran kritik yang konstuktif sangat diperlukan demi kesempurnaan
makalah sehingga akan lebih bernanfaat kontibusinya bagi hazanah keilmuan. Wallahu
a’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2003.
Ali Saifullah, Antara
Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1403.
Amsal Baktiar, Filsafat
Agama 1, Jakarta: Logos, 1997.
Franz Magnis-Suseno, Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Franz Magnis-Suseno, 13
Tokoh Eika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, Yogyakarta: kanisius,
1997.
Harold H. Titus, et.all,
terj. Muhammad Rasjidi, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta: Bulan
Bintang, tt.
Harun Hadiwijoyo, Sari
Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002.
I.R. Poedjawijatna, Pembimbing
ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Juhana S. Praja,
Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta : Prenada media, 2008.
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains
Menurut Al Quran, Bandung : Mizan, 1989.
Muhammad Muslih, Filsafat
Ilmu-ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2005.
M. Thoyibi (ed), Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya, Surakarta: Muhammadiyah Universitas Press, 1994.
Muhammad Taqi Misbah
Yazdi, Buku Dasar Filsafat Islam, Bandung: Mizan, tt.
Noeng Muhadjir, Filsafat
Ilmu, Yogyakarta: Rakesarasin, 2001.
Footnotes
:
[1] Wikipedia,
the free encyclopedia
[2] Ali Saifullah, Antara
Filsafat dan Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1403
H, hlm. 56
[3] Harun Hadiwijoyo, Sari
Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 18.
[4] Franz
Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta:
Kanisius, 2002, hlm. 65.
[5] Muhammad Muslih, Filsafat
Ilmu-ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2005, hlm. 53.
[6] I.R.
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta,
1990, hlm. 103.
[7] Harold H. Titus,
et.all, terj. Muhammad Rasjidi, Persoalan-persoalan Filsafat, Jakarta:
Bulan Bintang, tt, hlm. 343.
[8] Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum Akal dan Hati sejak Thales sampai James, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2003, hlm. 21.
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006, hlm 31-32.
[10] Muhammad Muslim, Filsafat
Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2005, hlm. 53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar