MAKALAH ULUMUL QUR’AN
TENTANG
ILMU-ILMU POKOK ULUMUL QUR’AN DAN
URGENSINYA DALAM MEMAHAMI AL-QURAN
DISUSUN OLEH: KELOMPOK VIII
NAMA
KELOMPOK: ...........
.................
........................
DOSEN PEMBIMBING:
......................., SH.I, MH.I
BADAN LAYANAN UMUM SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM MANDAILING NATAL (BLU-STAIM)
T.A 2013/2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat allah SWT yang telah memberikan banyak kenikmatan berupa islam, iman, kesehatan, dan
kesempatan, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada tauladan kita dalam pendidikan
khususnya dan dalam kehidupan pada umumnya, rasulullah muhammad shallallahu
alaihi wa sallam.
Dalam
penyusunan makalah ini, team penyusun sangat menyadari akan ket5erbatasan diri
sehingga tentunya tulisan ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan. Untuk
itu penyusun sangat mengharapkan saran dan kritiK membangun dari para pembaca.
Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah pengetahuan.
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR......................................................................................
DAFTAR
ISI.................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
ilmu makkiyah dan madaniyah.......................................
B.
Pengertian
ilmu muhkam dan mutasyabih.......................................
C.
Pengertian
ilmu qiraat.......................................................................
D.
Pengetian
ilmu
mu’jizzal/i’jaz............................................................
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................
B.
Saran.................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA.......................................................................................
C.
ILMU QIRA’AT
A.
Pengertian Qira’at
Qira’at
adalah bentuk jamak dari kata Qira’ah, yang secara bahasa berarti bacaan.
Secara istilah, Al-Zarqani mengemukakan qira’at sebagai:
مَذْهَبٌ
يَذْهّبُ إِلَيْه إِماَمٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْقُرَّاءِِ مُخَالِفًا بِهِ غَيْرَهُ
فِى النُّطْقِ بِالْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ مَعَ اتِّفَاقِ الرِّوَايَاتِ وَالطُّرُقِ
عَنْهُ سَوَاءٌ أَكَانَتْ هَذِهِ الْمُخَالَفَةُ فِى نُطْقِ الْحُرُوْفِ أَمْ فِى
نُطْقِ هَيْئَاتِهَا
“Suatu
madzhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam
pengucapan al-Quran serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya,
baik perbedaan ini dari pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan
keadaan-keadaannya”.
Definisi ini mengandung tiga unsur pokok, yaitu:
1.
Qira’at yang dimaksud menyangkut bacaan ayat-ayat. Cara
membaca al-Quran berbeda dari satu imam dengan imam yang lainnya.
2.
Cara baca yang dianut dalam suatu mazhab qira’at
didasarkan atas riwayat dan bukan atas qias atau ijtihad.
3.
Perbedaan antara qira’at-qira’at bisa terjadi dalam
pengucapan huruf-huruf dan pengucapannya dalam berbagai keadaannya.
Disamping
itu, Ibnu Al-Jazari membuat definisi bahwa “qira’at adalah pengetahuan tentang
cara-cara melafalkan kalimat-kalimat al-Quran dan perbedaannya dengan
membangsakannya kepada penukilnya”.
B.
Latar Belakang Adanya Qira’at
Pada
masa Rasulullah SAW umat Islam memperoleh ayat-ayat al-Quran dengan
mendengarkan, membaca dan menghafalkan secara lisan dari mulut ke mulut,
al-Quran belum dibukukan. Pada masa sahabat sudah dibukukan dalam satu mushhaf.
Pembukuan al-Quran tersebut merupakan ikhtiar khalifah Abu Bakar r.a. atas
inisiatif Umar bin Khattab r.a.
Pada
masa Khalifah Usman bin Affan r.a. mushhaf al-Quran itu disalin dan dibuat
banyak, dan dikirim ke daerah-daerah Islam. Hal itu dilakukan Khalifah Usman,
karena pada waktu itu ada perselisihan diantara kaum muslimin mengenai bacaan
al-Quran, mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat al-Quran karena Nabi
mengajarkan cara bacaan yang relevan dengan dialek masing-masing. Tetapi karena
tidak memahami maksud dan tujuan Nabi, lalu meraka menganggap hanya bacaan
mereka sendiri yang benar, sedang bacaan yang lain salah. Sehingga
mengakibatkan perselisihan.
Inilah
pangkal perbedaan qira’ah dan tonggak sejarah timbulnya ilmu qira’ah.
Mushhaf-mushhaf
yang ditulis atas perintah Khalifah Usman tidak berbaris dan bertitik, sehingga
mushhaf-mushhaf itu dapat dibaca dengan berbagai qira’ah. Rasulullah SAW
bersabda:
إِنَّ
هَذَا الْقُرْآنَ اُُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَاُوْا مَا تَيَسَّرَ
مِنْهُ
“Sesungguhnya
al-Quran itu diturunkan atas tujuh huruf (cara bacaan) maka bacalah (menurut)
mana yang engkau anggap mudah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para
sahabat tidak semuanya mengetahui semua cara baca al-Quran, sebagian mengambil
satu cara baca al-Quran dari Rasul, sebagian mengambil dua, dan lainnya
mengambil lebih sesuai dengan kemampuan dan kesempatan masing-masing. Para
sahabat ini berpencar ke berbagai kota dan daerah dengan membawa dan
mengajarkan cara baca yang mereka ketahui sehingga cara baca tersebut menjadi
populer di kota atau daerah tempat mereka mengajarkannya. Terjadilah perbedaan
baca al-Quran dari satu kota ke kota lain. Kemudian para tabi’in menerima cara
baca tertentu dari sahabat tertentu. Para tabi’i al-tabi’in menerimanya dari
tabi’in dan meneruskannya pula kepada generasi selanjutnya. Dengan demikian
timbullah berbagai qira’ah yang semuanya berdasarkan riwayat, hanya saja
sebagian menjadi populer dan yang lain tidak. Riwayatnya juga sebagian
mutawatir dan yang lain tidak.
C.
Syarat-syarat Qira’at dan Jenisnya
Meluasnya
wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in yang mengajarkan
al-Quran diberbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai macam qira’at, dan
perbedaan antara satu qira’at dan lainnya bertambah besar sehingga riwayatnya
sudah tidak dapat lagi dipertanggung jawabkan.
Untuk
menyangkal penyelewengan qira’at yang sudah mulai muncul, para ulama membuat
persyaratan-persyaratan bagi qira’at yang dapat diterima. Untuk membedakan
qira’at yang benar dan qira’at yang aneh (syazzah) para ulama membuat tiga
syarat baagi qira’at yang benar, yaitu:
1.
Qira’at itu sesuai dengan bahasa Arab sekalipun
menurut satu jalan.
2.
Qira’at itu sesuai dengan salah satu mushhaf
–mushhaf Utsmani sekalipun secara potensial.
3.
Sahih sanadnya, baik diriwayatkan dari imam qira’at
yang tujuh dan yang sepuluh, maupun dari imam-imam yang diterima selain mereka.
Setiap
qira’at yang memenuhi kriteria ini adalah qira’at yang benar, yang tidak boleh
ditolak dan harus diterima. Sebaliknya, qira’at yang kurang salah satu dari
tiga syarat tersebut, disebut qira’at yang lemah atau aneh atau batal.
As-Sayuti
mengutip Ibnu Al-Jazari yang mengelompokkan qira’at berdasarkan sanad kepada
enam macam.
1.
Mutawatir
Yaitu
qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah periwayat yang banyak dari sejumlah
periwayat yang banyak pula, sehingga tidak mungkin mereka sepakat berdusta
dalam setiap angkatan sampai kepada Rasul. Menurut Jumhur Ulama, qira’at yang
tujuh adalah mutawatir. Menurut H. Ahmad Fathani, para ulama al-Quran dan ahli
hukum Islam telah sepakat bahwa qira’at yang berstatus mutawatir ini adalah
qira’at yang sah dan resmi sebagia al-Quran. Qira’at ini sah dibaca di dalam
dan di luar shalat. Qira’at ini dijadikan sumber atau hujjah dalam menetapakan
hukum.
2.
Masyhur
Yaitu
qira’at yang sanadnya sahih. Akan tetapi hanya diriwayatkan oleh seorang atau
beberapa orang saja tak sampai sebanyak periwayat mutawatir. Qira’at ini sesuai
dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushhaf Utsmani. Qira’at ini populer
dikalangan ahli qira’at dan mereka tidak memandangnya sebagai qira’at yang
salah atau aneh. Menurut Ibnu Al-Zarqani dan Shubhi Al-Shalih, kedua macam
tingkatan mutawatir dan masyhur sah bacaannya dan waib meyakininya serta tidak
mengingkari sedikitpun daripadanya.
3.
Ahad
Yaitu
qira’at yang sanadnya sahih. Akan tetapi qira’at ini meyalahi tulisan mushhaf
Utsmani atau kaidah bahasa Arab atau tidak masyhur seperti kemasyhuran qira’at
diatas. Qira’at ini tidak sah dibaca sebagai al-Quran dan tidak wajib
meyakininya. Contohnya seperti yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim dari Abu
Bakrah, bahwasanya Nabi SAW membaca:
مُتَّكِئِيْنَ
عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَّعَبَاقَرِيٍّ حِساَنٍ
Sementara
Hafsah membaca:
مُتَّكِئِيْنَ
عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَّعَبْقَرِيٍّ حِساَنٍ
4.
Syaz
Yaitu
qira’at yang sanadnya tidak sahih atau cacat dan tidak bersambung sampai
Rasulullah SAW. Qira’at ini tidak dijadikan pegangan dalam bacaan dan bukan
termasuk al-Quran.
5.
Maudhu
Yaitu
qira’at yang dibuat-buat dan disandarkan kepada seseorang tanpa dasar, seperti
qira’at yang disusun oleh Abu Al-Fadhl Muhammad bin Ja’far Al-Khuza’I dan
menisbatkannya kepada Imam Abu Hanifah. Misalnya:
إِنَّمَا
يَخْشَ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءَ
Dengan
rafa’ (dhammah) kata الله dan nasb (fathah) kata العلماء padahal qira’at yang
benar adalah sebaliknya. Qira’at jenis ini tidak boleh didalam dan diuar shalat
bahkan harus ditolak dan diingkari keberadaannya.
6.
Mudraj
Yaitu
qira’at yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang biasanya
dijadikan penafsiran bagi ayat al-Quran, seperti qira’at Sa’ad bin Abi Waqqas
dengan tambahan kata مِنْ اُُمًٍّ pada ayat وَلَهُ اَخٌ اََوْ اُُخْتٌ
مِنْ اُُمٍّ
Qira’at
terakhir jelas tidak termasuk al-Quran dan tidak dapat dijadikan pegangan dalam
bacaan.
D.
Pengaruh Qira’at Terhadap Istinbath Hukum
Perbedaaan
antara satu qira’at dan qira’at lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf,
bentuk kata, i’rab, penambahan dan pengurangan kata. Perbedaan-perbedaan ini
sudah barang tentu membawa sedikit atau banyak perbedaan kepada makna yang
selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistinbathkan kepadanya. Al-Zarkasyi
berkata:
اَنَّ
بِاخْتِلاَفِ الْقِرَاءتِ يَظْهَرُ الْاِخْتِلاَفُ فِى الاَحْكاَمِ وَلِهَذَا بَنَى
الْفُقَهَاءُ نَقْضَ وُضُوْءِ الْمَلْمُوْسِ وَعَدَمَهُ عَلَى اخْتِلاَفِ
الْقِرَاءتِ فِى (لَمَسْتُمْ) وَ (لاَمَسْتُمْ) وَكَذَلِكَ جَوَازٌ وَطَاءِ
الْحِائِظِ عِنْدَ الْاِنْقِطَاعِ وَعَدَمَهُ اِلَى الْغُسْلِ عَلَى
اخْتِلاَفِهِمْ فِى (حَتَّى يَطْهُرْنَ)
“Bahwa
dengan perbedaan qira’at timbullah perbedaan dalam hukum. Karena itu, para
ulama fiqih membangun hukum batalnya wudhu’ orang yang disentuh (lawan jenis)
dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qira’at pada: “kau sentuh” dan “kamu
saling menyentuh”. Demikian pula hukum perempuan yang sedang haid ketika
terputus haidnya dan tidak bolehnya hingga ia mandi (dibangun) atas dasar
perbedaan mendalam: “hingga mereka suci”.
Menurut
qira’at Nafi dan Abu Amr dibaca : حَتَّى يَطْهُرْنَ
dan
menurut qira’at Hamzah dan Al-Kisai : حَتَّى
يَطَّهَّرْنَ
Qira’at
pertama dengan sukun ta dan dhammah ha menunjukkan larangan menggauli perempuan
itu ketika haid. Ini berarti bahwa ia boleh dicampuri setelah terputusnya haid
walaupun sebelum mandi, inilah pendapat Abu Hanifah. Sedangkan qira’at kedua
dengan tasydid (suara ganda) ta dan ha menunjukkan adanya perbuatan manusia
dalam usaha menjadi dirinya bersih. Perbuatan itu adalah mandi sehingga
يَطَّهَّرْنَ ditafsirkan dengan يَغْتَسِلْنَ (mandi). Berdasarkan antara
qira’at-qira’at Hamzah dan Al-Kisai, Jumhur Ulama menafsirkan bacaan yang tidak
bertasydid dengan makna bacaan yang bertasydid.
Perbedaan
antara qira’at لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ dengan لَمَسْتُمُ النِّسَاءَ juga
mempengaruhi istinbath hukum. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, hanya
bersentuhan antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu, sebab
menurut Hanafi, kata: لاَمَسْتُمُ disini berarti jima’ (hubungan kelamin). Dan
menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan perasaan nafsu, sedangkan
menurut mazhab Syafi’i bersentuhan semata akan membatalkan wudhu.
Dari
sudut qira’at, perbedaan qira’at dalam ayat ini juga menimbulkan perbedaan
pengertian. Qira’at pertama: mengandung unsur interaksi antara pihak yang
disentuh dan yang menyentuh, baik interaksinya sampai kepada jima’, sebagaimana
yang dipahami mazhab Hanafi maupun hanya sampai kepada perasaan syahwat
sebagaimana yang dipahami dalam mazhab Maliki. Sebab, kata لاَمَسَ termasuk
bentuk kata kerja musyarakah dalam ilmu sharaf. Sementara itu, qira’at: لَمَسَ
adalah bentuk kata kerja muta’addi (transitif) yang tidak mengandung unsur
musyarakah. Karena itu, qira’at pertama mendukung pendapat mazhab Syafi’i.
Sebagian
ulama memandang qira’at syazzah (aneh) sebagai pembantu untuk mengetahui kebenaran
suatu takwil, seperti qira’at Sa’ad bin Abi Waqqash
وَلَهُ
اَخٌ اََوْ اُُخْتٌ مِنْ اُُمٍّ , menjelaskan qira’ar Hafsah yang tanpa kalimat
مِنْ اُُمّ tentang jenis saudara dalam masalah warisan.
Qira’at
besar pengaruhnya terhadapnya penetapan hukum. Sebagian qira’at berfungsi
sebagai penjelasan kepada ayat yang mujmal (bersifat global) menurut qira’at
yang lain, atau penafsiran dan penjelasan kepada maknanya. Bahkan tidak jarang,
perbedaan qira’at menimbulkan perbedaan penetapan hukum dikalangan ulama. Jadi
pengetahuan tentang qira’at sangat perlu bagi seseorang yang hendak
mengistinbathkan hukum dari ayat-ayat al-Quran.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
●
Qira’at adalah cara membaca al-Quran.
●
Cara baca al-Quran yang dianut dalam suatu mazhab
qira’at didasarkan atas riwayat.
●
Syarat qira’at yang benar ada tiga, yaitu:
1.
Qira’at itu sesuai dengan bahasa Arab sekalipun
menurut satu jalan.
2.
Qira’at itu sesuia dengan salah satu mushhaf-mushhaf
Utsmani.
3.
Sahih sanadnya.
●
Qiraa’at dikelompokkan menjadi: mutawatir, masyhur,
ahad, syaz, maudhu’ dan mudraj.
●
Perbedaan qira’at sangat berpengaruh terhadap
istinbath hukum
Dari uraian diatas dapat ditarik
kesimpulan antara lain :
a.
Al qur’an adalah bagian dari mukjizat
yang Allah berikan kepada para nabi sebagai bukti kebenaran risalah yang
dibawanya.
b.
Mukjizat para nabi terdahulu bersifat
material inderawi dan tidak kekal, sementara mukjizat Alquran bersifat
immaterial dan abadi.
c.
Tantangan Alqur’an tidak terbatas pada
suatu bangsa, masa dan tempat.
d.
Macam-macam segi
kemukjizatan Alqur’an tidak bisa dibatasi, dan pertentangan yang terjadi antar
ulama dalam hal ini dapat saling melengkapi
DAFTAR PUSTAKA
Akaha,
Abduh Zulfidar. Al-Quran dan Qira’at. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1996
.Djalal,
Abdul. Ulumul Quran. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Syadili,
Ahmad. Ulum Quran. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1994.
Wahid,
Ramli. Ulum Quran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Al-Qur’an
al-Karim
al-Qaththan Manna’, 1999. Mabahits fi ‘Ulumil Qur’an, juz 5. Bairut:
Penerbit Ar-Risalah.
Chirzin, Muhammad,1998. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Prima Yasa.
Katsir, Ibnu, 1999. Tafsir al-Qur’an
al-‘Adzim, (Tahqiq: Samiy ibn Salamah). Riyadh: Dar Thayyibah li an-Nasyr
wa at-Tawuzi’.
Shihab, M. Quraish, 1998. Mu’jizat
Al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan
Gaib. Bandung: Mizan.
Ubaidat, Muhammad Salim, Dirasat fi ‘Ulum
al-Qur’an. Dar al-‘Ammar
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2009, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor:Lintera Antar Nusa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar