Pendahuluan
Essay ini akan menghadirkan lima bagian diawali
dengan karakterirstik umum maqasid al-syariah dan sumber-sumbernya dalam
Al-qur’an. Bagian kedua akan membahas klasifikasi maqasid dan perintah-perintah
tertentu yang menjadi prioritas yang terintegrasi kedalam struktur maqasid.
Bagian ketiga akan mengetengahkan perkembangan historis dan kontribusi para
ulama tentang teori maqasid. Kita juga akan melihat pendekatan para ulama yang
berbeda terhadap identifikasi maqasid pada bagian empat. Dan terakhir,
relevansi maqasid terhadap ijtihad dan jalan maqasid yang dapat memperluas
cakupan dan mutu dari sebuah ijtihad.
Sumber-sumber Maqasid Al-syariah
Maqasid al-syariah atau goals dan objectives dari
hukum Islam adalah suatu hal yang sangat jelas pentingnya dan tak pernah
terabaikan dari syari’ah. Secara umum, syari’ah didasarkan pada manfaat yang
diberikan bagi individu dan juga masyarakat, dan hukum-hukum dari maqasid
didesign, dirancang, agar dapat memproteksi manfaat tadi dan memfasilitasi
kondisi perbaikan dan kesempurnaan pada manusia dibumi. Al-qur’an menyatakan
hal ini ketika memilih Nabi Muhammad saw dengan ayat-Nya yang berbunyi:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. 21:107)
dan juga ayat yang berbunyi:
dan juga ayat yang berbunyi:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
(QS. 10:57).
Dua ayat diatas yang menekankan kepada rahmat dan
huda (petunjuk) ternyata juga dibenarkan oleh ketentuan-ketentuan yang lain
dari Al-qur’an dan As-Sunnah yang memerintahkan menegakkan keadilan, menghapus
prasangka, dan menghilangkan penderitaan. Al-qur’an dan as-Sunnah juga
menekankan kerjasama dan dukungan mutual baik skala keluarga maupun masyarakat.
Keadilan itu sendiri adalah manifestasi Rahmah Allah sebagai sebuah tujuan
syari’ah. Rahmat ini diwujudkan dalam realisasi maslahat (benefit) dimana para
‘Ulama secara umum telah menganggapnya menjadi bagian nilai dan tujuan yang
meresap pada syari’ah.
Pendidikan individu (tahdhib al-fard) adalah
salah satu tujuan terpenting dari syari’ah, ketika turun menjadi prioritas
bahkan sebelum keadilan dan maslahah. Untuk kedua tujuan ini yang mempunyai nilai
orientasi pada sosial membutuhkan banyak makna dalam kaitan hubungan sosial,
dimana tahdhib al-fard menjadikan setiap individu seorang wakil yang terpercaya
dan membawa nilai-nilai syari’ah, dan itu tergapai melalui pendidikan individu
dimana syari’ah mencoba untuk merealisasikan banyak tujuan sosial. Semua tujuan
dari sebuah hukum yang ideal dan nilai-nilai syari’ah, khususnya dalam
lingkungan ibadah dan pendidikan moral, adalah untuk melatih individu yang
sadar akan kebajikan, taqwa dan menjadi wakil yang membawa maslahah bagi yang
lain.
Al-qur’an menyatakan dalam berbagai tempat dan
konteks, bahwa dasar pemikiran, tujuan dan maslahah suatu hukum secara
karakteristik terletak pada goal-oriented. Segi ini, biasanya dalam bahasa
Al-qur’an terletak pada transaksi muamalah seperti juga pada hal-hal ibadah.
Jadi, ketika suatu dalil menguraikan katakan tentang wudhu, maka perintah wudhu
tersebut mengikuti sebuah ayat:
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (QS.
5:6)
Kemudian, berhubungan dengan shalat itu sendiri:
“Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat
itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar”.(QS. 29:45)
Berkaitan dengan jihad, Al-qur’an juga menyatakan
tujuannya seperti:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang
yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya
Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”. (QS. 22:39).
Dengan kata lain, tujuan legalisasi jihad adalah
untuk memerangi ketidakadilan (zulm) sedangkan tujuan shalat adalah mencapai
kemurnian spritual dan keunggulannya dikerjakan bersama kebersihan phisik
melalui wudhu sebelum shalat. Berkaitan dengan hukum qishash, dalil yang
menyatakan yaitu:
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertaqwa’. (QS. 2:179);
sedang berkaitan dengan zakat :
“ …agar kekayaan itu tidak berkumpul hanya
kepada orang kaya saja”. (Q.S ..Al-Hasr: 7)
Sehubungan dengan masalah seks, Al-qur’an
memerintahkan untuk menundukan pandangan antara laki-laki dan perempuan dengan
maksud:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat”. (QS. 24:30)
Kita dapat menambahkan lagi beberapa keterangan
dari Al-qur’an dan as-Sunnah bagaimana suatu penekanan hokum ditekankan pada
justifikasi tujuan, penyebab dan maslahat yang dapat diambil darinya, juga
dapat ditemukan adanya perilaku jahat dan kriminal yang oleh Al-qur’an dan
as-Sunnah ditegur dan diberikan hukuman semata-mata untuk menghindari
ketidakadilan, korupsi dan perasangka yang merugikan. Di dalam masalah perdagangan
dan muamalat, Al-qur’an melarang eksploitasi, usury (bunga), ikhtikar
(penimbunan), gambling (perjudian) dimana kekerasan dan hal yang menghancurkan
tujuan dari market-place. Yang harus menjadi underline dari semua ini adalah
spektrum yang begitu luas dari suatu ahkam yang menekankan realisasi maslahah
(benefit) yang dianggap sebagai summa of the maqasid. keadilan juga merupakan
maslahah dan merupakan dari tahdhib al-fard. Masalih, kata lain dari maslahah
menjadi nama lain dari sebuah maqasid dan para ulama telah menggunakan dalam
dua term yang saling berubah.
Klasifikasi Masalih
Para ulama telah mengklasifikasikan masalih
maqasid secara luas kedalam tiga kategori, dimulai dengan essential masalih
atau daruriyyat, diikuti dengan kategori complementary benefit atau hajiyyat,
dan yang terakhir tahsiniyyat. Sedangkan the essential interest disebutkan
sebanyak lima perkara yaitu, agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Inilah
yang didefinisikan sebagai suatu hal yang perlu dalam masyarakat baik sebagai
survival maupun spritual yang dimiliki setiap individu, agar kerusakan dan
kebrutalan yang terjadi akan cepat hilang dan collapse dan kehidupan normal
akan dicapai kembali.
Syari’ah mencoba untuk melindungi dan
memperkenalkan nilai-nilai dan ukuran-ukuran validitas bagi penjagaan dan
kemajuan yang dicapai (preservation and advancement). Syariat jihad yang telah
mendapat legalisasi bertujuan untuk melindungi agama, demikian pula dengan
syariat qishash yang semata-mata untuk melindungi kehidupan.
Syari’ah mengambil punitive measure dan juga
affirmative measure untuk melindungi dan mempromosikan nilai-nilai syariah yang
ada. Dalam sisi punitive, mencuri, berzina dan meminum-minuman keras merupakan
perbuatan yang akan dikenai hukuman yang bersifat offensif karena merupakan
perbuatan yang mengancam atau merusak perlindungan hak properti seseorang,
kehormatan suatu keluarga dan integritas manusia yang berakal.
Dalam sisi affirmatif, syariah justru mendorong
aktivitas kerja dan perdagangan agar setiap individu mampu memelihara sebuah
kehidupan dan mampu membuat elaborasi ukuran-ukuran, measure, untuk menjamin
arus transaksi perdagangan secara lancar dalam suatu pasar. Hukum-hukum
keluarga (fiqh ‘usrah) yang merupakan bagian dari syariah secara luas
mengarahkan dan mengatur suatu keluarga agar keberadaannya menjadi tempat
perlindungan bagi semua anggota keluarga. Syariah juga mengajurkan kepada
manusia untuk mencari ilmu (knowledge) agar dapat menjamin intelektual
seseorang dan education agar dapat memajukan seni dan masyarakatnya. Dengan
kata lain, essensi syariah merupakan sebuah all-encompassing dari syariah
karena seluruh hukumnya berada dalam satu cara, satu arah yang saling
berhubungan kepada perlindungan yang membawa berbagai maslahah.
Maslahah-maslahah ini diwujudkan dalam suatu prioritas dan keberatan-keberatan
yang menolak dari suatu hal sesuai dengan syari’ah.
Bagian kedua dari masalih adalah hajiyyat
(complementary interest) yaitu bukan kategori yang independen karena hajiyyat
juga berusaha untuk melindungi dan mengajukan esensial interest (lima tujuan
maqasid yang dijaga yaitu agama, jiwa, keturunan, akal dan harta) sekalipun
dalam kapasitas kedudukan atau level kedua. Hajiyyat juga dapat didefinisikan
sebagai upaya untuk mencapai maslahah dengan melepaskan kepelikan dan
penderitaan, tetapi kepelikan dan penderitaan itu tidak mengancam kelangsungan
hidup (survival). Contoh yang nyata dari hal ini adalah adanya (keringanan)
rukhsah dalam shalat karena berada dalam perjalanan (musafir) yang semula
berjumlah empat rakaat menjadi dua rakaat, atau bolehnya berbuka puasa ketika
sakit/diperjalanan.
Disini terlihat bahwa syariah telah memberikan
bantuan untuk menghilangkan kesulitan ini, tetapi kedua contoh diatas juga
bukan merupakan masalah yang essensial dalam artian manusia tetap hidup tanpa
itu (bersifat opsional). Hampir semua kewajiban ibadah syariah telah diberikan
keringanan (concession). Demikian juga dengan masalah hukum kriminal, bahwa
hadist menyatakan menentukan suatu hukum dapat ditunda bila terdapat keraguan
dalam memutuskannya merupakan sebuah proteksi dimana hukum harus diperkuat
dengan adanya keyakinan memutuskan hukuman tersebut. Hukuman-hukuman ini
kembali ditandai untuk melindungi essentials interest melalui judicial action
yaitu pengadilan. Dibagian lain dalam muamalah, syari’ah telah mensyahkan
beberapa kontrak/akad seperti penjualan salam, ijarah, karena kebutuhan manusia
akan dibalik kontrak itu sekalipun ada suatu yang ganjil yang nyata dalam
keduanya. Dibagian hukum keluarga (fiqh ‘usrah), syari’ah telah mengizinkan
adanya perceraian ketika berada dalam situasi yang sangat diperlukan, ini
merupakan sebuah rukhsakh yang membantu, pada keputusan akhir, menjamin
keselamatan keluarga dan membela dari konflik yang tak terhindarkan.
Maslahah pada bagian kedua (hajiyyat) dapat
berubah menjadi essential maslahah (dharuriyyat) ketika itu menyangkut
kepentingan publik yang besar. Ilustrasinya seperti validitas ijarah yang
penting bagi individu (secondary importance), tetapi bagi publik hal itu merupakan
essential interest. Hal serupa, rukhsash tertentu yang diberikan dalam masalah
ibadah mungkin menjadi urutan kedua (secondary; artinya rukhsakh itu boleh
diambil maupun tidak) untuk survival bagi individu tetapi itu menjadi prioritas
utama bagi khalayak banyak. Dalam hal munculnya berbagai konflik dimana
melibatkan banyaknya maslahah yang diambil, maka maslahah yang lebih kecil
harus dikorbankan untuk melindungi maslahah yang lebih besar. Sebaliknya ketika
konflik majemuk terjadi dimana tak ada maslahah yang preferable, maka
pencegahan dari kerusakan (mudharat) lebih baik daripada mengambil maslahah
yang kecil. Hal ini karena syari’ah lebih empati kepada pencegahan kerusakan,
sebagaimana dapat dilihat dari hadist Nabi, Dimana Muhammad saw bersabda,
“ketika saya memerintahkan kalian sesuatu,
lakukan itu semampu kalian, tetapi ketika aku melarang kalian sesuatu, maka
jauhilah itu”.
Pembagian yang ketiga dari masalih maqasid yang
dikenal sebagai tahsiiniyyaat yaitu sesuatu sifat-sifat yang disenangi oleh
manusia dimana mereka mencoba mencari perbaikan dan kesempurnaan dalam hal
berperilaku dan adat kepada orang banyak. Seperti syari’ah mendorong kesucian
tubuh dan mengenakan pakaian (salah satunya) untuk tujuan shalat, sekedar
contoh, pemakaian minyak wangi ketika menunaikan shalat Jum’at, sebaliknya
syari’ah tidak menganjurkan mengkonsumsi bawang putih (sesuatu yang membuat bau
tak sedap) pada kesempatan itu. Syari’ah juga menganjurkan sadaqah bagi yang
melebihi kebutuhannya dan dalam hal ibadah, syari’ah menganjurkan shalat
–shalat sunah. Dalam hubungan dengan komunitas , syari’ah memerintahkan
kelembutan, tutur kata yang sopan, akhlak al karimah dan berlaku ihsan . Hakim
dan kepala negara dinasehati untuk tidak berlebihan dalam pemaksaan suatu
hukuman. Semua ini adalah untuk mencapai keindahan dan kesempurnaan perilaku
manusia.
Kategori terakhir ini mungkin mempunyai sesuatu
yang penting dan khusus karena dapat meresap dan menghubungkan kepada masalaih
yang lain. Contohnya, seseorang dapat menunaikan kewajiban shalat, dengan
cara-cara yang berbeda, dengan atau tanpa kekhusu’an yang pas dan memberikan
setiap gerakannya perhatian, atau menunaikannya secara tergesa-gesa dan cara
yang tak terpikirkan, dan perbedaan antara itu, pertama didukung oleh intisari
shalat (essensial) dan keinginan-keinginan (hasrat), dan kedua hal itu bisa
saja hanya sebagai peleburan kewajiban. Seseorang dapat memperluas analisis ini
hampir kesemua perilaku manusia dan mengimplementasikan hampir ke semua ahkam
syari’ah. Ini harus jelas, bahwa klasifikasi masalih tidak perlu dibatasi
kepada hukum–hukum syari’ah atau kepada masalah agama saja karena dasar sebuah
konstruksi rasional itu dapat diaplikasikan kepada adat, sosial, politik,
ekonomi, budaya dan lainnya. Untuk membangun sebuah rumah sakit pertama pada
sebuah kota, maka ini menjadi sebuah kebutuhan dan keperluan, tetapi untuk
membangun yang kedua dan ketiga hanya sebagai komplementer dan hasrat saja. Dan
untuk melengkapi setiap rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang lebih baik
maka hal ini jatuh pada kategori kedua atau ketiga dari pembagian masalih,
tentu saja, tergantung pada kondisi setiap lokasi. Dari analisis ini, tampak
bahwa pengklasifikasian maslahah tertentu dibawah salah satu atau kateori yang
lain mungkin menjadi relatif dan melibatkan value judgment yang bermaksud
keadaan datang dalam setiap kasus.
Literatur Maqasid al-Syariah
Sebagai sebuah tema dari syari’ah yang erat
kaitan dengan hak-hak miliknya, maqasid al-syariah tidak mendapatkan banyak
perhatian dimasa-masa awal pengembangan pemikiran fikih Islam dan mereka
sebatas menempatkannya tulisan-tulisan tambahan saja pada hukum–hukum suatu
madzhab. Bahkan sampai kepada sekarang banyak teksbook dalam ushul al fiqh yang
tidak menyebutkan maqasid al-syariah melalui ulasan topik-topik familiar.
Berbicara lebih dalam, pemikiran fikih Islam
telah diikat oleh perhatian para ulama terhadap kesesuaiannya dengan nash, dan
teori hukum dari ushul fiqh telah berkembang kepada tujuan-tujuan yang lebih
luas lagi. Orientasi pemikiran fuqaha yang literalistik umumnya lebih nyata
dalam kecenderungan pendekatan yang dipakai (tradisionist / ahl al-Hadist) dari
pada fuqaha yang rasionalistik (ahl ar ra’yu). Fuqaha yang litarelistik
cenderung melihat syari’ah sebagai sebuah tatanan nilai, perintah dan larangan
yang ditujukan kepada individu yang mukallaf dan semua itu nantinya diharapkan
sesuai dengan instruksinya. Disatu sisi, sesuatu yang dapat dijadikan acuan
telah terindikasikan, disisi lain mereka melihat syari’ah baik sebagai tatanan
nilai maupun sistem nilai berada dalam aturan-aturan yang spesifik yang dilihat
sebagai manifestasi nyata terhadap nilai-nilai yang dikesampingkan. Tradisi
fuqaha tekstualistik ini pada tiga abad pertama tidak banyak tertarik kepada
maqasid al-syariah dan barulah banyak dibicarakan sampai kepada al-Ghazali
(w.505/1111) dan kemudian al-Shatibi (w.709/1388) yang berkembang secara
signifikan dalam bentuk formulasi teori maqasid.
Tinjauan dasar dalam melihat ini bahwa teori
maqasid al-syariah sebenarnya tidak diingkari oleh para madzhab, sebelumnya
maqasid ini lebih berada pada sisi mainstream pemikiran fuqaha yang diwujudkan
dalam berbagai tema dan doktrin ushul fiqh. Kecuali madzhab Zahiri yang
menetapkan bahwa maqasid hanya dapat diketahui setelah suatu itu diidentifikasilkan
dan dideklarasikan oleh nash dhohir tetapi mayoritas ulama tidak membatasi
kepada nash-nash dhohir saja. Bagi mereka telah dapat dirasa dan dimengerti
syari’ah itu menjadi rasional, terorientasi oleh suatu tujuan (goal-oriented)
dan aturan-aturannya secara umum ditemukan pada masalah-masalah yang nyata.
Persesuaian yang belaka terhadap aturan-aturan yang bertentangan dengan tujuan
dan tinjauan syari’ah secara umum tidak diterima. Pendekatan yang secara
keseluruhan berbeda terhadap maqasid diambil oleh Bathiniyyah yang berpegang,
tidak dengan madzhab dzahiri, esensi dan tujuan nash-nash selalu ditemukan,
tidak dalam kata-kata eksplisit dari nash, tetapi dalam arti yang tersembunyi
(bathin), oleh karena itu nama kelompok mereka Bathiniyyah.
Ada juga perbedaan orientasi diantara pemimpin
madzhab terhadap maqasid: beberapa diantara mereka lebih terbuka untuk itu
dibanding dengan yang lainnya, tetapi penggabungan kedalam goals dan objectives
syari’ah secara umum tidak banyak dibicarakan. Hal ini malah bertentangan
dengan fakta bahwa Al-qur’an itu sendiri memperlihatkan kesadaran meletakan
tujuan dan maksud suatu hukum dan sering menguraikan penyebab-penyebab dan
dasar pemikiran saat mereka temukan. Sikap diam dari sebagian ulama berkaitan
dengan identifikasi maqasid mungkin telah seharusnya sebagian unsur-unsur
proyeksi dan ramalan demikian sebuah ujian dapat dilibatkan. Tentu, sebagai
contoh, siapa yang dapat mengatakan bahwa ini atau itu adalah merupakan tujuan
atau tujuan yang justru dikesampingkan oleh Pembuat hukum, tanpa menggunakan
tingkat spekulasi, tentu kecuali, jika nash telah mendeklarasikannya juga.
Kemudian untuk membatasi cakupan maqasid hanya tertuju kepada pernyataan yang
dhzohir dari suatu nash juga tidak cukup, seperti saya akan jelaskan.
Tidak sampai permulaan abad keempat, istilah
maqasid telah digunakan. Manuskrif-manuskrif fuqaha Abu Abdillah al- Thirmidzi
al-Hakim (w.320/932) dan kembali berulang rujukan-rujukan itu muncul dalam
hidup Imam al Haramain al-Juwayni (w.479/1085) yang mungkin ulama pertama kali
dalam mengklasifikasikan maqasid al-syariah kedalam tiga kategori yaitu
essensial, complementer dan desirable (dharuriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat)
yang telah diterima secara umum. Ide-ide Juwayni kemudian dikembangkan lebih
jauh lagi oleh muridnya, Abu Hamid al-Ghazali yang menulis panjang dalam public
interest (maslahah) dan ratiocination (ta’lil) dalam karyanya, Shifa al Ghalil
dan al-Mustafa. Ghazali secara umum mengkritisi maslahah sebagai sebuah bukti,
tetapi hal itu menjadi sah/legal jika dikenalkan atau dihubungkan maqasid dari
syariah. Karena untuk maqasid sendiri, ghazali menulis dengan pasti bahwa
syari’ah mengejar lima tujuan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
yang dilindungi sebagai sebuah hal prioritas mutlak.
Sejumlah ulama melanjutkan sumbangsihnya terhadap
maqasid, mungkin tidak semua dari mereka konsisten, yang sebelumnya penting
untuk mengembangkan ide-idenya. Sayf al-Din al-Amidi (w.631/1233) meneliti
maqasid sebagai kriteria preferensi al-tarjih diantara konflik analogi-analogi
dan gabungan dalam sebuah perintah prioritas antara berbagai pengelompokan
maqasid. Amidi juga telah membatasi maqasid yang penting itu hanya kedalam lima
bagian. Fuqaha Maliki, Shihab al-Din al-Qarafi (w.684/1285) telah menambahkan
satu lagi bagian dari essensial maqasid yaitu al-ird (kehormatan) dan ini
didukung oleh Taj al-Din ‘Abd al Wahab ibn as-Subki (d.771/1370) dan kemudian
Muhammad ibn ‘Ali al Shawkani (d. 1250/1834). List dari lima nilai yang penting
secara jelas didasari dalam sebuah keterangan yang relevan dari bagian
Al-qur’an dan as-Sunnah dalam menjelaskan hukuman (hudud). Nilai dari setiap
hukuman itu bertujuan untuk mempertahankan dan membela yang dengan konsekuen
diidentifikasikan sebagai sebuah nilai yang esensial. Tambahan terakhir dari
lima essensi itu yaitu al-‘ird (kehormatan) sebenarnya telah masuk kepada
kategori al-nasl atau al-nasab (keturunan), tetapi mereka yang mendukung adanya
tambahan ini meyakini dengan jelas bahwa syari’ah telah memberlakukan hukuman
had yang terpisah terhadap tuduhan pemfitnah (al-qadhf), yang itu memberikan
alasan penambahan. ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam al-Sulaimi (w.660/1262) yang
masyhur dalam “ Qawaid al-Ahkam” pada maqasid al-ahkam dan telah menunjukan
berbagai macam aspek maqasid khususnya berhubungan dengan ‘illah (sebab) dan
maslahah (publik interest) dalam cara yang lebih detail. Jadi, Ia telah menulis
pada permulaan kerjanya bahwa: “ tujuan yang terbesar dari seluruh
Al-qur’an adalah untuk memfasilitasi masalih (benefits) dan itu berarti yang
terjadi pada Al-qur’an dan realisasi dari benefit juga termasuk pencegahan dari
kejahatan”. Sulami menambahkan bahwa seluruh kewajiban yang ada pada
syari’ah dipastikan dalam mencapai maslahat bagi manusia baik di dunia maupun
setelahnya. Bagi Allah Yang Maha Kuasa, Dirinya tidak perlu suatu benefit
apapun dan tidak perlu kepatuhan hamba-Nya. Dia diatas segalanya ini dan tak
dapat dirusak oleh ketidakpatuhan, bukan pula keuntungan dari penyembahnya.
Dengan kata lain, syari’ah memperhatikan dari awal hingga akhir, dengan ciftaan
Allah yang membawa benefit.
Taqi al-din ibn Taimiyyah (d.728/1328) mungkin
sarjana pertama yang menanggalkan dari ide-idenya yang membatasi maqasid
terhadap jumlah yang spesifik dan telah ditambahkan, terhadap keberadaan list
dari maqasid, seperti pemenuhan kontrak/aqad, memperkaya list maqasid, tali
ukhwah kekeluargaan, menghormati hak-hak dari tetangga, cinta Allah swt,
kepercayaan, kejujuran dan kemurnian moral dalam berhubungan. Ibn Taimiyyah
telah merevisi cakupan maqasid dari suatu yang ditandai dan dispesifikasikan
list itu kedalam list yang tak terbatas (open-ended list) dari nilai-nilai, dan
pendekatannya ini telah diterima oleh ulama kontemporer seperti Ahmad
al-Raysuni, Yusuf al-Qaradawi dan lainnya. Lebih jauh, Qaradawi telah
menyampaikan list of maqasid termasuk kesejahteraan sosial dan tolong-menolong
(takaful), kebebasan, martabat manusia, ukhwah manusia, diantara tujuan-tujuan
yang lebih tinggi dan maqasid bagian dari syariah. Ini tak diragukan lagi diperkuat
dengan baik ukuran terperinci dan ukuran general dari kejelasan Al-qur’an dan
as-Sunnah.
Saya mengusulkan untuk menambahkan ekonomi
pembangunan dan memperkuat dari R&D dalam teknologi dan ilmu pengetahuan
untuk masuk kepada struktur maqasid karena hal ini secara krusial penting dalam
menentukan berdirinya ummah pada suatu komunitas dunia. Itu akan tampak dari
analisis ini bahwa maqasid al-syariah tetap membuka untuk memperkaya lebih jauh
yang mana yang akan tergantung pada prioritas setiap masa/usia.
Identifikasi Maqasid al-Syariah
Sebagaimana disinggung didepan, ‘Ulama telah
berbeda dalam melakukan pendekatan identifikasi maqasid al-syariah. Pendekatan
pertama dilatar belakangi oleh pendekatan tekstual, yang membatasi identifikasi
maqasid al-syariah kepada nash-nash dhohir, perintah dan larangan, yang itu
adalah pembawa maqasid al-syariah. Maqasid al-syariah menurut pandangan ini,
tidak memisahkan keberadaannya diluar kerangka ini. Adanya sebuah perintah
adalah eksplisit dan normatif yang akan menyampaikan tujuan maqsud dari pemberi
hukum dalam affirmative sense. Larangan-larangan diindikasikan dari maqasid
al-syariah dalam negative sense yang mana tujuan dari perintah larangan adalah
untuk menekan dan mencegah kejahatan. Secara umum ini dapat diterima, tetapi
ada kecenderungan tertentu dengan kerangka umum ini. Ketika madzhab Zahiri
membatasi maqasid al-syariah kepada nash-nash yang jelas, mayoritas ulama
mengambil pertimbangan kedua-duanya baik nash dan ‘illah yang harus digaris
bawahi dan menjadi dasar pemikiran dari nash itu. Shatibi telah berbicara
secara baik perlunya untuk mengobservasi dan mematuhi perintah eksplisit,
tetapi kemudian dia menambahkan bahwa ketaatan kepada nash yang jelas
seharusnya tidak begitu kaku sebagaimana mengasingkan dasar pemikiran dan
tujuan nash dari kata-kata dan kalimat. Shatibi menambahkan kekakuan jenis ini
bertentangan dengan sendirinya terhadap tujuan pemberi hukum, karena hanya akan
mengabaikan nash yang jelas itu sendiri. Ketika nash, apakah itu perintah atau
larangan, dibaca dalam hubungannya dengan tujuan dan dasar pemikiran, ini
adalah sebuah pendekatan yang tegas, seseorang memikul lebih besar keharmonisan
dengan maksud pemberi hukum. Shatibi telah mengelaborasi bahwa maqasid
al-syariah yang diketahui dari pemahaman nash yang komprehensif mempunyai dua
jenis yaitu utama (asliyyah) dan ikutan (tab’iyyah). Pembentuk dari dharuriyyat
dimana mukallaf, orang yang sudah dapat dibebankan hukum, harus mengawasi dan
melindungi tanpa memperhatikan kesukaan seseorang, sementara hajiyyat yaitu
yang ditinggalkan mukallaf mempunyai fleksibilitas dan pilihan.
Pemahaman yang komprehensif dari perintah
tekstual syari’ah telah memberikan munculnya beberapa pertanyaan apakah itu
berarti wajib atau haram yang harus dilihat sebagai bagian dari tujuan yang
ingin dicapai oleh perintah itu, apakah berarti sebuah komando, dengan kata
lain, juga merupakan bagian integral komando itu. Pertanyaan selanjutnya apakah
menghindari lawan dari suatu perintah bagian integral juga dari tujuan dan sasaran
yang dicari oleh perintah itu. Respon jawaban ini secara umum bahwa aspek-aspek
komplementer dari perintah dan larangan adalah sebuah bagian integral dari
tujuan ini, meskipun telah muncul detail perselisihan-perselisihan. Banyak dari
perintah-perintah syari’ah mudah dapat dimengerti, dan tujuannya sebagaimana
lawan/kebalikannya dapat diketahui dan dipastikan dari pemahaman nash yang
jelas. Jadi perlu dicatat apapun mungkin perlu untuk mengeluarkan sebuah
perintah atau wajib adalah juga bagian dari wajib. Shatibi telah menyimpulkan
apapun adalah complementary kepada maqasid al-syariah dan dalam pelayanannya
juga bagian dari maqasid al-syariah. Pertanyaan yang muncul kemudian menyangkut
diamnya Pemberi hukum berhubungan dengan sebuah perilaku tertentu dalam situasi
khusus dimana pemahaman yang menyeluruh dari bukti yang relevan memberikan
keterangan nilai dari perilaku itu. Pertanyaannya mungkin ditempatkan sebagai
berikut: kita tahu bahwa maqasid al-syariah diketahui dari perintah yang jelas,
tetapi dapatkah perintah diketahui dari pemahaman yang menyeluruh pada
nash-nash dengan cara induksi (mengambil kesimpulan)? Ini adalah dimana Shatibi
telah memberikan respon yang baik, dan inilah apa yang akan kita ambil
berikutnya.
Induksi (istiqra) menurut shatibi merupakan
metode paling penting dalam pengidentifkasian maqasid dari syariah. Ada banyak
macam referensi tekstual kepada sebuah subjek, (namun) mungkin tidak ada sifat
dari sebuah perintah yang tegas. Sebelumnya bobot kolektifnya seperti
meningggalkan sedikit keraguan mengenai arti yang dihasilkan olehnya. Dalam
kata lain, kesimpulan yang tegas dihasilkan dari pluralitas ekspresi
spekulatif. Shatibi mengilustrasikan hal ini dengan mengatakan bahwa tidak ada
dalam Al-qur’an pernyataan spesifik terhadap effek bahwa syari’ah telah
menjadikan maslahah bagi orang-orang. Sebelumnya ini adalah kesimpulan
definitif yang digambarkan dari pemahaman kolektif dari sebuah tekstual.
Shatibi kemudian menambahkan bahwa benefit (masalih) adalah untuk dimengerti
lebih luas yang tidak hanya menyinggung dunia namun hari akhirat, individu
termasuk komunitas, materi, moral dan spritual, dan yang menyingung kepada
keadaan sekarang seperti juga ketertarikannya pada masa depan. Arti yang luas
dari benefit ini juga termasuk pencegahan dan penghilangan kerusakan. Malahah
ini tidak selalu dapat dibuktikan dan dipastikan dengan alasan manusia sendiri
tanpa bantuan dan petujuk wahyu Allah.
Jenis klasifikasi dari maqasid al-syariah kedalam
tiga kategori yaitu essensial, complementary dan desirable, dan kesimpulan
bahwa Pembuat Hukum telah memasukan perlindungan yang mendasari ini, sekali
lagi, dalam induksi –karena tidak ada pernyataan spesifik dalam sumber-sumber
tekstual. Dengan catatan yang sama, aturan syari’ah yang sah dalam tindakan ibadah
tidak dapat didirikan dengan arti ijtihad — sebuah kesimpulan induktif yang
digambarkan dari dalil-dalil yang jelas pada subjeknya – -karena tidak ada
perintah spesifik dalam sumber-sumber yang mempengaruhinya. Konklusi ini
sungguh penting dimana tidak ada keraguan, tidak juga kredibilitas suatu hal
yang beralasan menjadi spekulatif. Metode induktif yang sama juga telah membawa
ulama pada kesimpulan bahwa proteksi lima unsur penting dan penting diutamakan
pada syari’ah –tidak ada aturan tekstual untuk menjelaskan dan mengkategorikan
atau menjumlahkan nilai-nilai dalam perintah itu.
Metode induksi Shatibi tidak dibatasi terhadap
identifikasi tujuan-tujuan dan nilai tetapi juga menyampaikan perintah dan
larangan yang boleh jadi didapatkan melalui Nash yang dhohir, atau dari
pemahaman kolektif sejumlah pernyataan tekstual yang mungkin munjul dalam
berbagai macam konteks. Shatibi kemudian melanjutkan langkah lebih jauh untuk
mengatakan bahwa konklusi induktif dan posisinya yang juga didirikan adalah
premis-premis general dan keberatan yang menolaknya dari syari’ah dan juga
mempunyai perintah yang penting yang lebih tinggi dari pada aturan-aturan
khusus. Ini bisa menjadi jelas bahwa induksi adalah metode pertimbangan dasar
(the principal methode of reasoning) dan membuktikan terhadap jalan yang
Shatibi ambil dalam teori maqasidnya merupakan kontribusi nyata pada tema ini.
Pendekatan Shatibi terhadap induksi mengingatkan
pada pengetahuan yang disyaratkan personality dan karakter individu yang
terus-menerus bersatu dengannya disertai pengamalan perilakunya lebih dari satu
periode. Jenis pengetahuan ini luas dan bersifat holistic, karena pengetahuan
itu diperkaya dengan wawasan dan mungkin dapat diandalkan ketika dibanding
pengetahuan yang didasari hanya kepada observasi khusus, kejadian yang
terisolasi dalam aktivitas keseharian perhatian individu.
Maqasid dan Ijtihad
Telah dijelaskan dalam teorinya, Shatibi
menekankan pengetahuan akan maqasid al-syariah sebagai prasyarat pencapaian
seseorang kepada tingkat mujtahid. Jadi siapa yang mengingkari persyaratan ini
maka dengan begitu mereka telah mengambil resiko karena akan membuat ijtihad
mereka dapat dianggap salah. Termasuk dalam hal ini orang-orang yang mendukung
melakukan sesuatu yang baru dalam ajaran Islam atau ahli bid’ah, orang yang
telah mengunci pada sebuah nash yang nyata dari Al-qur’an tanpa
mempertimbangkan atas tujuan dan maknanya. Innovator-innovator ini (pengikut
khawarij) berpegang kepada ayat-ayat yang mengandung mutasyabihat dan
menetapkan konklusinya oleh mereka sendiri. Mereka mengambil sepotong-potong
ayat dan pendekatan atomistic terhadap pemahaman Al-qur’an yang menjadikan
gagal mengikat bagian-bagian relevan secara bersamaan.
Disisi lain, pemimpin ulama mempunyai pandangan
bahwa syari’ah sebagai kesatuan dimana aturan-aturan terperincinya harus
dipahami dalam sudut premis dan tujuan aturan tersebut yang lebih luas. Tahir
ibn’ Ashur yang mengarang kitab Maqasid al-Syariah al-Islamiyyah juga telah
memberitahukan bahwa knowledge dari maqasid al-syariah sangat dianjurkan sekali
dalam ijtihad dalam semua manifestasi knowledge. Beberapa ulama yang telah
membatasi cakupan ijtihad mereka hanya kepada interpretasi literal telah
menempatkan bahwa hal itu (knowledge) dimungkinkan, Ibn Ashur menambahkan, memproyeksikan
sebuah opini personal kedalam kata-kata nash dan jatuh pada kesalahan,
menyebabkan mereka berada diluar garis dengan spirit umum dan tujuan dari
bukti-bukti yang ada. Ini dapat diilustrasikan terhadap pandangan berbeda para
ulama tentang komoditas zakat seperti gandum dan kurma harus diberikan setimpal
atau juga dapat dikonversikan dengan equivalen uang. Hanafi berpendapat bahwa
pembayaran zakat melalui konversi kepada uang boleh dilakukan dan sah tetapi
Imam Syafi’i sebaliknya. Pandangan Hanafi ditemukan dalam analisis bahwa tujuan
zakat adalah untuk memuaskan kebutuhan orang miskin dan ini dapat dicapai
ketika diberikan dalam bentuk moneter yang equivalen dengan komoditi. Ibn Qayim
al-Jauziyyah juga telah memperhatikan berkaitan dengan zakat fitrah yang disana
ada hadist-hadist yang mengacu kadang-kadang zakat fitri itu berupa kurma,
kadang lain berupa kismis atau biji makanan, semua ini adalah makanan pokok
ketika itu di Madinah dan lingkungan sekitarnya.
Tujuan umum dari semua ini adalah untuk memuaskan
kebutuhan orang miskin daripada membatasi pembayarannya dalam komoditi yang
terikat. Contoh yang lain dari ini adalah, Imam Maliki (w.179/795) ketika
ditanya seseorang yang membayar zakat dimuka (sebelum waktunya, haul), apakah
itu merupakan utama/prioritas terhadap haul–artinya ketika ia membayar zakat
dimuka, maka pada saat akhir tahun ia harus bayar lagi –.Imam Malik menjawabnya
dengan qiyas penunaian shalat. Jika seseorang melakukan shalat sebelum
waktunya, dia harus mengulanginya lagi pada waktu yang tepat. Namun, pengikut
Madzhab Maliki seperti Ibn al-Arabi (w. 543/1148) dan Ibn Rusyd (w.529/1126)
telah merubah pendapat ini dan menyatakan bahwa zakat yang dikeluarkan sebelum
waktunya dibolehkan. Mereka telah membedakan antara shalat dan zakat dalam
bentuk batasan waktu kepada waktu yang spesifik, dan ini tidak seperti waktu
yang ditetapkan terhadap zakat. Karena itu zakat boleh dibayar lebih awal
khususnya jika disiapkan oleh hanya beberapa pekan atau lebih. Abu Hanifah yang
sering dikritisi oleh Ahl al-Hadist yang mengangkat dalam kesempatan dari
kata-kata hadist sebagai alternatif aturan. Tetapi dalam waktu yang dekat
membuat Abu Hanifah menjadi jelas bahwa ia telah melakukan hanya ketika telah
mencapai kesimpulan yang berbeda melalui pemahaman hadist yang mempunyai
hubungan dengan relevansi kenyataan dalam Al-qur’an dan as-Sunnah.
Patut dicatat bahwa dalam kesempatan-kesempatan
mujahid dan hakim telah mengeluarkan keputusan dalam memutuskan sesuatu
perkara, yang kalau diteliti lebih jauh ditemukan ketidakharmonisan dengan
tujuan dan sasaran syari’ah. Contoh dari sifat ini dapat ditemukan kontrak yang
terjadi diantara dua pihak yang ditandai dan dibuat ikatan, tetapi selanjutnya
terjadi ketidakadilan yang menimpa satu pihak karena beberapa perubahan yang
tak diharapkan dalam lingkungannya. Dalam hal ini hakim dan mujahid dapat
mengabaikan dengan keras perubahan-perubahan berikutnya dan menuntut kewajiban
dari salah satu pihak yang melenceng dari kesepakatan awal kontrak. Bagi sebuah
kontrak, bukan melamakan suatu jangka waktu kontak yang merusak akan tetapi
cukup dilihat apakah kontrak itu terbukti menjadi sebuah instrumen
ketidakadilan. Sebuah kontrak harus dijaga dan berkeadilan, dimana tujuan
maqasid al-syariah dari Pemberi Hukum harus diberikan prioritas diatas
pertimbangan kesesuaian terhadap kontrak yang tak dapat dipertahankan. Tanpa
mendapatkan kejelasan, akan muncul konflik antara tujuan-tujuan syari’ah yang
dikesampingkan dan juga aturan-aturan yang terpisah yang dapat hadir dengan
rujukan kepada aturan-aturan qiyas (analogi). Ketaatan yang kaku kepada qiyas
dalam beberapa kasus mungkin membawa hasil ketidakpuasan, oleh karena itu jalan
yang lain yang diambil mungkin istihsan agar mencapai sebuah aturan alternatif
yang harmonis dengan tujuan syari’ah.
Segi yang lain yang penting untuk ijtihad adalah
perhatian seorang mujtahid harus diarahkan kepada hasil akhir dan konsekwensi
aturannya. Bagi sebuah fatwa atau ijtihad akan menjadi tidak baik jika fatwa
gagal untuk merenungkan konsekwensi (ma’alat) yang dimilikinya. Kita mencatat
dalam contoh sunnah Nabi saw, dimana Beliau sering memperhatikan konsekwensi
dari aturan yang dikeluarkannya berkaitan dengan pertimbangan lainnya. Untuk
contoh, ada kasus dimana Nabi telah mengetahui tentang aktivitas subversif yang
dilakukan oleh orang Munafik (Abdullah bin Ubay), tetapi beliau tidak
menghukumnya karena berbagai alasan, sebagaimana Beliau nyatakan bahwa Ia takut
dikatakan membunuh sahabatnya sendiri. Nabi Muhammad saw juga menghindari untuk
merubah posisi atau letak Ka’bah kepada posisi asli seperti yang telah
diletakan oleh Nabi Ibrahim. Sebagaimana diketahui orang-orang Arab sebelum
datangnya Islam telah jelas memindahkan letak Ka’bah dari posisi aslinya,
kemudian A’isyah menyarankan Nabi untuk memperbaiki Ka’bah kepada posisi
aslinya, lalu Nabi merespon bahwa Ia akan melakukan itu jika Ia tidak takut
akan menyebabkan penduduk Mekah masuk kedalam ketidakkepercayaannya. Dalam dua
kasus itu, Nabi Muahammad saw tidak mengambil apa yang ia pikirkan untuk
menormalkan jalan kembali, yaitu membunuh orang munafik dan memindahkan Ka’bah,
karena konsekwensi sebaliknya yang akan didapatkan jika dilakukan.
Jalan normal dalam konteks kejahatan dan tindakan
kriminal adalah tentu mengaplikasikan hukuman apapun penyebab dan kesempatan
untuk itu adalah saat itu juga. Akan tetapi, bagaimanapun ada kasus dimana
permintaan ma’af orang yang berdosa akan memunculkan sebuah tindakan yang lebih
disukai, hakim atau mujahid harus menaruh perhatian yang besar dalam hal ini
dan keputusan tergantung pada orang yang dimintai ma’af. Shatibi telah
menggambarkan, dalam hubungan ini, sebuah perbedaan tak kentara antara penyebab
(‘illah) yang normal yang meminta dengan tenang sebuah aturan khusus pada
masalah yang diberikan dan apa yang dia artikan sebagai verifikasi dari ‘illah
yang khusus (tahqiq al-manat al-khaas) dalam mengeluarkan judgement dan
ijtihad. Mujahid boleh menginvestigasikan ‘illah yang normal dan
mengidentifikasikannya dalam masalah itu, contohnya, seorang yang miskin yang
memenuhi syarat menjadi mustahik, dan juga acuan yang dipegang dari kejujuran
dalam bersaksi, tetapi seperti penyelidikan mungkin mengambil jalan yang
berbeda ketika itu dihubungkan kepada individu yang khusus mengenai apa yang
mungkin cocok/pantas dan yang tidak cocok diaplikasikan dalam kasus khusus
tadi. Oleh karena itu, mujahid perlu, untuk dipelajari tidak hanya hukum dan
bukti khusus yang nyata tetapi juga mempunyai kecerdasan dan wawasan untuk
memberikan judgment yang diterangkan baik dengan konsekwensi-konsekwensi
seluruhnya dan keadaan khusus dari setiap kasus.
Kesimpulan
Tidak diragukan lagi, bahwa maqasid al-syariah
adalah akar dalam perintah tekstual Al-qur’an dan as-Sunnah, tetapi mereka
melihat secara utama pada philosophi umum dan tujuan perintah ini sering
melebihi bidang keahlian (the speciality) dari teks itu. Fokusnya tidak banyak
pada kata-kata dan kalimat dari nash itu sebagaimana dalam tujuan dan maksud
yang disarankan dan ditegakan. Dengan perbandingan terhadap teori yang sah dari
sumber-sumber, ushul fiqh, maqasid al-syariah tidak dibebaskan dengan
dasar-dasar metodologi dan pemahaman para literalis dari suatu nash.
Karena maqasid al-syariah terintegrasikan derajat
versatility (kepandaian yang beraneka ragam) dan ke-komprehensif–an kedalam
pemahaman syari’ah yang itu, dalam banyak cara, unik dan muncul diatas
permukaan seiring dengan pergantian waktu dan keadan lingkungan. Pada saat,
ketika beberapa doktrin penting ushul fiqh seperti ijma (general consensus),
qiyas (analogical reason) dan bahkan ijtihad dibebani dengan kondisi-kondisi
yang sulit, kondisi yang mungkin berdiri dengan sebuah ukuran ketidakharmonisan
dengan iklim sosial-politik yang berlaku pada negara-negara Muslim sekarang ini
dan akses yang tepat sekali untuk syari’ah. Hal ini secara alami berarti
memahami outline yang luas dari sebuah objektif syari’ah pada tempat pertama
sebelum seseorang bergerak kepada kekhususan. Pengetahuan yang cukup dari
maqasid al-syariah melengkapi kajian-kajian syari’ah dengan pandangan dan menyediakannya
dengan sebuah kerangka teorikal yang mana berusaha untuk memenuhi pengetahuan
yang terperinci dari doktrin yang bermacam-macam yang dapat menjadi lebih
tertarik dan berarti
MAQASID SYARIAH
1. Pengertian Maqasid Syari’ah
Maqasid syari’ah berarti tujuan
Allah dan Rasulnya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat
ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rosulullah sebagai alasan logis
bagi rumusan, suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Menurut al-Syatibi terbagi kepada
tiga tingkatan kebutuhan:[1]
1. Kebutuhan Dharuriyat
Ialah tingkat kebutuhan yang harus
ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak
terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di
akherat kelak.
Menurut al-Syatibi ada lima hal yang
termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara
akal, kehormatan, keturunan serta harta.
2. Kebutuhan Hajiyat ialah
kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak terwujudkan tidak sampai mengancam
keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan
segala kesulitan itu.
3. Kebutuhan Tahsiniyat ialah
tingkat kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi
salah satu dari lima pokok diatas dan tida pula menimbulkan kesulitan. Tingkat
ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal yang merupakan
kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak
dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma
dan akhlak.
Peranan maqasid syari’ah dalam
pengembangan hukum.[2]
Pengetahuan tentang maqasid syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd-Alwahhab
Khalaf, adalah hak sangat penting yang dapat dijadikan alat abntu untuk
memahami redaksi Al-Qur’an dan sunnah menyelesaikan dalil-dalil yang
bertentangan dan sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap
kasus yang tidak bertampung oleh Al-Qur’an dan sunah secara kajian kebahasan.
2. Macam – Macam Maqasid Syari’ah
Beberapa ulama ushul telah
mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’kan hukum menjadi tiga
kelompok, yaitu :
- Memelihara segala sesuatu yang
dharuri bagi manusia dalam penghidupan mereka. Urusan-urusan yang dharuri itu
ialah segala yang diperlukan untuk hidup manusia, yang apabila tidak diperoleh
akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan, timbullah kekacauan, dan
berkembangnya kerusakan.
Urusan-urusan yang dharuri itu
kembali pada lima pokok :
- Agama
- Jiwa
- Akal
- Keturunan
- Harta
- Menyempurnakan segala yang
dihayati manusia.
Urusan yang dihayati manusia ialah
segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan menanggung
kesukaran-kesukaran taklif dan beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh,
tidak merusak peraturan hidup dan tidak menimbulkan kekacauan, melainkan hanya
tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.
- Mewujudkan keindahan bagi
perseorangan dan masyarakat.
Ialah segala yang diperlukan oleh
rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang demikian ini
tidak diperoleh tidaklah cidera peraturan hidup dan tidak pula ditimpa
kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh akal yang kuat dan fitrah yang
sejahtera. Urusan-urusan yang mewujudkan keindahan ini dalam arti kembali
kepada soal akhlak dan adat istiadat yang bagus dan segala sesuatu untuk
mencapai keseragaman hidup melalui jalan-jalan yang utama.
3. Tingkatan Maqasidus Syari’ah [3]
Urusan dharuri merupakan
sepenting-pentingnya maksud, karena apabila urusan-urusan dharuri itu ridak
diperoleh akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan, menghilangkan keamanan
dan merajalelalah keganasan. Dalam padi itu, tidak dipelihara hukum yang
bersifat mewujudkan keindahan apabila mencederakan suatu dalam memeliharanya
mencederakan hukum dharuri. Karena itu boleh kita membuka aurat untuk keperluan
berobat. Menutup aurat merupakan urusan yang mengindahkan, sedangkan berobat
suatu urusan dharuri. Boleh kita makan najis untuk obat dan dalam keadaan
terpaksa. Tidak boleh makan (memegang) najis adalah urusan yang mengindahkan
sedangkan menolak kemudharatan adalah urusan dharuri.[4]
Wajib kita mengerjakan segala yang
wajib walaupun menimbulkan sedikit kesukaran, karena wajib kita termasuk
golongan dharuri. Sedangkan urusan menolak kesukaran dan kepicikan merupakan
urusan tahsini yang mengindhkan. Karena itu tidaklah dipelihara urusan yang
mengindahkan, mendatangkan kesewenangan, apabila merusak dharuri. Segala hukum
dharuri ridak boleh dicederakan, terkecuali kalau suatu dharuri yang lebih
penting dari padanya.
Atas dasar inilah kita diwajibkan
berjihad untuk memeliharanya sebab memelihara agama adalah lebih penting dari
pada memelihara jiwa. Meminum arak dibolehkan, terhadap orang yang dipaksa atau
karena terpaksa, karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara
akal. Apabila perlu untuk memelihara jiwa, kita boleh membinasakan harta orang
karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara harta
Ta'arudu al-'Adillah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mempelajari suatu hukum atau ketika kita mengambil suatu keputusan dalam menetapkan hukum, seringkali kita akan menemukan dalil-dalil Al-Qur’an atau Hadits yang saling bertentangan satu dengan yang lain.
Ta’arudh al-Adilah (dalil-dalil yang bertentangan) sering kali membuat kita bingung dalam menetapkan suatu hukum, dan untuk memahami hal tersebut kita harus punya dasar dalam penetapan hukum.
Mengambil suatu ketetapan hukum yang berdasarkan dalil Al-Qur’an ataupun hadist yang bertentangan, maka ada beberapa cara, yaitu; Al-jam’u wa al-Taufiq, Nasakh-Mansukh dan Tarjih.
Banyak orang islam yang menjalankan amal ibadah itu karena factor taqlid (ikut-ikutan), bukan berdasarkan ilmu yang ia ketahui. Untuk mengatasi hal tersebut maka judul ini dirasa penting untuk diangkat, dalam rangka menyiapkan umat islam yang beramal berdasarkan ilmu.
Maka dalam makalah ini, kami akan menjelaskan tentang dalil-dalil yang bertentangan dan cara penyelesaiannya berikut contoh-contohnya.
B. Ruang Lingkup Pembahasan
Agar pembahasan didalam makalah kami mudah difahami, maka kami membatasi pembahasan dalam makalah kami, yaitu :
A. Pengertian Ta’arud Al-Adillah
B. Cara Penyelesaian pada Ta’arud Al-Adillah
1) Menurut Hanafiyah
2) Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
C. Beberapa Contoh Ta’arud Al-Adillah
C. Tujuan Pembahasan
A. Ingin menjelaskan pengertian dari Ta’arud Al-Adillah
B. Untuk menjelaskan cara penyelesaian pada Ta’arud Al-Adillah
a. Cara penyelesaian Ta’arud Al-Adillah menurut Hanafiyah
b. Cara penyelesaian Ta’arud Al-Adillah menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
C. Ingin menunjukan beberapa contoh Ta’arud Al-Adillah
BAB II
PEMBAHASAN
الأدلة التعارض
A. Pengertian Ta’arud Al-Adillah
Secara bahasa kata ( التعارض ) berarti pertentangan dan lafadz (الأدلة) merupakan jama’ dari lafadz (الدليل ) yang berarti alasan, argument dan dalil. Persoalan ta’arud al-adillah dibahas para ulama dalam ilmu ushul fikih, ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainya pada derajat yang sama.
Sedangkan kalau Menurut istilah, banyak sekali para ulama’-ulama’ yang mendefinisikan tentang arti taarud al-adilah sendiri. Diantaranya yang dikemukakan oleh :
1. Imam al-Syakani, mendefinisikanya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.” (ada pertentangan dua dalil yang berbeda).
2. Kamal ibn al-Humam (790 – 861 h/1387 – 1456 m) dan al-Taftahzani (792 h), keduanya ahli fikih hanafi, mendefinisikanya dengan “pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya”
3. Ali Hasaballah (ahli ushul fikih kontemporer dari mesir) mendefinisikan dengan “ terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukun yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut dalam satu derajat”
Pengertian satu derajat / derajad yang sama adalah antara ayat dengan ayat, atau antara hadis dengan hadis.
Contoh pertentangan dalam ayat al-qur’an adalah ketentuan tentang iddah wanita karena kematian suami.
Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 234, menyatakan bahwa iddah wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari, ayat ini tidak membedakan wanita itu hamil atau tidak. Secara umum, Allah menyatakan bahwa apabila seorang wanita ditinggal mati suaminya maka iddahnya 4 bulan 10 hari. Dalam surat at-thalaq ayat 1, Allah menyatakan bahwa masa iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan anaknya. Ayat ini juga tidak membedakan antara cerai hidup (talaq) atau cerai mati (kematian suami). Secara umum ayat ini mengandung pengertian bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati, iddahnya adalah sampai melahirkan. Dengan demikian, terdapat pertentangan kandungan kedua ayat tersebut tentang masa iddah wanita hamil karena kematian suami.
Contoh lain dari hadis Rasulullah SAW, adalah dalam masalah riba. Dalam sebuah sabda Rasulullah dinyatakan bahwa ( النسيئة فى إلا ربا لا) “la riba illa fin nasi’ati.” HR. Bukhori wa Muslim. yang artinya “tidak ada riba kecuali riba nasi’ah (riba yang muncul dari utang piutang).”
Hadis ini meniadakan bentuk riba selain riba nasi’ah, yaitu yang berawal dari pinjaman uang. Dengan demikian, riba al-fad (riba yang muncul akibat dari transaksi, baik jual beli maupun transaksi lainya) tidaklah haram. Akan tetapi, dalam hadis lain Rasulullah bersabda :
(بمثل مثلا إلا بالبر البر تبيع لا) HR. Al-Bukhori, Muslim dan Ahmad ibn Hambal. yang artinya “jangan kamu menjual gadum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama”
Hadis ini mengandung hukum bahwa riba al-fad diharamkan. Kedua hadis tersebut mengandung pertentangan hukum islam dalam masalah riba al-fad. Hadis pertama membolehkanya sedangkan hadis yang kedua mengharamkanya.
Menurut wahbah al-zuhaili, pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis dan kekuatan logikanya, bukan pertentangan actual, karena tidak mungkin terjadi bila Allah atau RasulNya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan. Oleh sebab itu, menurut imam Al-Syatibi pertentangan itu bersifat semu, bisa terjadi dalam dalil yang Qath’i (pasti benar) dan dalil yang Zhanni (relative benar) selama dua dalil itu sederajat. Apabila pertentangan antara kualitas dalil yang berbeda, seperti pertentangan antara dalil Qath’i dengan dalil yang Zhanni, maka yang diambil adalah dalil yang Qath’i, atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat Al-Qur’an dengan hadis ahad (hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau tiga orang atau lebih yang tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al-Qur’an, karena dari segi periwayatanya ayat-ayat Al-Qur’an bersifat Qath’i, sedangkan hadis Ahad bersifat Zhanni.
Di samping itu menurut Wahbah Al-Zuhaili, pertentangan tidak mungkin muncul dari daliil yang bersifat Fi;liyah (perbuatan), misalnya dalil yang menunjukan Rasul berpuasa pada hari tertentu, kemudian ada dalil yang menyatakan bahwa pada hari itu juga Rasul tidak berpuasa.
B. Macam-Macam Cara Penyelesaian Ta’arud Al-Adillah
Apabila seseorang mujtahid menemukan dua dalil yang bertentangan, maka ia dapat menggunakan dua cara untuk berusaha untuk menyelesaikan –nya. Kedua cara itu, dikemukakan masing-masing oleh ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah.
1) Menurut Hanafiyah
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dengan cara :
a. Nasakh
Nasakh ( النسخ ) adalah membatalkan hukum yang ada didasarkan dengan adanya daliil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum yang pertama. Dalam hubungan ini, seorang mujtahid harus berusaha untuk mencari sejarah munculnya kedua daliil tersebut. Apabila dalam pelacakanya ditemukan bahwa satu dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainya maka yang diambil adalah dalil yang datang kemudian.
b. Tarjih
Tarjih ( الترجيح ) adalah menguatkan salah satu dalil diantara dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukungnya. Apabila masa turunya atau datangnya tidak diketahui maka seorang mujtahid bisa melakukan tarjih terhadap satu dalil tersebut dengan mengemukakan alas an-alasan lain yang membuat dalil tersebut kuat. Tarjih bisa dilakukan dari tiga sisi yaitu :
Dari segi penunjuk kandungan lafal suati nash. Contohnya mengu-atkanØ nash yang muhkam (hukumnya pasti) dan tidak bisa di-nasakh-kan (dibatalkan) dari musafar (hukumnya pasti tapi masih bisa di-nasakh-kan).
Dari segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil yangØ mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh/mubah.
Dari sisi keadilan periwayat suatu hadis.Ø
c. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Al-Jam’u wa Al-Taufiq ( والتوفيق الجمع ) yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengompromikanya. Dengan demikian hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena kaidah fikih mengatakan “mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada mengabaikan dalil yang lain” misalnya :
والدم الميتة عليكم حرمت (QS. al-Maidah ayat 3) dalam ayat ini diterangkan bahwa darah tidak dibedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku, seperti hati.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
مسفوحا دما أو ميتة يكون أن إلا…. (QS. Al-An’am ayat 145)
Didalam ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. Dengan demikian darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat 3 dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An’am ayat 145. Jadi pengompromian antara dalil-dalil yang secara lahiriyah bertentangan dapat diselesaikan.
d. Tasaqut Al-Dalilain
Tasaqut Al-Dalilain ( الدليلين تساقط ) yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Dalam artian seorang mujtahid harus merujuk kepada dalil yang derajatnya dibawah dalil yang bertentangan tersebut.
Seorang mujtahid menurut ulama Hanafiyah, hanya diperbolehkan memilih dalil yang kualitasnya rendah apabila ia telah melakukan upaya maksimal dalam melacak dalil yang kualitasnya lebih tinggi. Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan diatas, harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai dengan cara keempat.
2) Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang kontradiksi, menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah adalah sebagai berikut :
a. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah ( والتوفيق الجمع ) yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengompromikanya walaupun hanya dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqih “mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada mengabaikan dalil yang lain” mengamalkan kedua dalil sekalipun dari satu segi, menurut mereka dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Apabila hukum yang kontradiksi itu bisa dibagi, maka lakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya.
2. Apabila hukum yang kontradiksi itu suatu yang terbilang, seperti sabda rasulullah SAW “la sholata lijaril masjid illa fil masjid” artinya “tidak (dinamakan) sholat bagi tetangga masjid kecuali di masjid” HR Abu Dawud dan Ahmad ibn Hambal. Maka cara penyelesaianya adalah ;
Dalam hadis tersebut ada kata “la” yang dalam ushul fikih mempunyai pengertian banyak, yaitu berarti “tidak sah” bisa berarti “tidak sempurna” dan bisa juga berarti “tidak utama”. Oleh karena itu mujtahid boleh memilih satu pengertian mana saja, asal didukung oleh dalil lain.
3. Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, seperti kasus iddah yang mana pada surat al-Baqarah ayat 234 bersifat umum dan pada surat al-Thalaq bersifat khusus, maka dari satu sisi iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat al-Thalaq.
b. Tarjih
Apabila pengompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka mujtahid boleh menggunakan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Tata cara Tarjih bisa ditempuh dengan berbagai cara, umpamanya dengan menarjih yang perawinya sedikit, bisa juga melalui penarjihan sanad (para penurut hadis), bisa juga melalui penarjihan dari sisi matan (lafal hadis), atau ditarjih berdasarkan indikasi lain di luar nash.
c. Nasakh
Apabila dengan cara tarjih, kedua dalil tersebut masih belum bisa diamalkan, maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat mengetahui dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan. Seperti sabda Rasulullah SAW “Dahulu saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahilah”.
d. Tasaqut Al-Dalilain
Apabila cara ketiga masih belum bisa ditempuh, maka mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang kontradiksi tersebut.
Menurut Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah, keempat cara tersebut harus ditempuh oleh mujtahid dalam menyelesaikan dua dalil yang kontradiksi harus secara berurutan.
C. Beberapa Contoh Ta’arud Al-Adilah
- Pada kasus iddah
( ruãt³ôZ# &rôkå9 &rö/tèyps /Î'rRÿà¡ÅgÎ`£ tItu/Áó`z &røruº`[% rutxârbt BÏZ3äNö ãFtquù©qöbt ru#$!©%Ïïût
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari” (QS, Al-Baqarah : 234)
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya, iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu hamil maupun tidak. Namun kalau dilihat dalam firman Allah SWT pada surat lain :
ÈÍÇ ............. 4 qxH÷=ngß`£ tÒè÷`z &rb &r_y=ègß`£ #${Fq÷Hu$AÉ ru&ér'9s»Mà
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS. Al-Thalaq : 4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap perempuan yang hamil yang suaminya meninggal atau diceraikan suaminya, sedangkan mereka dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai wanita tersebut melahirkan.
Menurut Menurut Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah, Solusinya adalah ( والتوفيق الجمع ). Yang mana pada surat al-Baqarah ayat 234 bersifat umum dan pada surat al-Thalaq bersifat khusus, maka dari satu sisi iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat al-Thalaq.
- Pada kasus darah
..................ru#$!$¤Pã #$9øJyøGtpè æt=nø3äNã mãhÌBtMô ÈÌÇ!
dalam ayat ini (QS. al-Maidah : 3) diterangkan bahwa darah itu hukumnya haram, dan di ayat ini darah tidak dibedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku, seperti hati.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
ÈÎÍÊÇ ............................ B•¡óÿàqn•% yBY$ &rr÷ BtøGtpº t3äqc &rb )ÎwH
Didalam ayat ini (QS. Al-An’am :145) mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
Dengan demikian darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat 3 dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An’am ayat 145. Jadi pengompromian antara dalil-dalil yang secara lahiriyah bertentangan dapat diselesaikan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada Bab II, sekiranya dapat di ambil kesimpulan bahwa definisi Ta’arudh Al’adillah Secara etimologi ta’arudh adalah pertentangan. Sedangkan adilah adalah jamak dari dalil yang berarti alasan, argument dan dalil. Sedangkan secara terminologi adalah;
1. Imam al-Syakani, mendefinisikanya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.” (ada pertentangan dua dalil yang berbeda).
2. Kamal ibn al-Humam (790 – 861 h/1387 – 1456 m) dan al-Taftahzani (792 h), keduanya ahli fikih hanafi, mendefinisikanya dengan “pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya”
3. Ali Hasaballah (ahli ushul fikih kontemporer dari mesir) mendefinisikan dengan “ terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukun yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut dalam satu derajat”
Adapuan cara penyelesaian Ta’audh Al-adillah. Menurut Hanafiyah :
a) Nasakh.
b) Tarjih.
c) Al-jam’u wa a’Taufiq
d) Tasaqut Al-Dalilain
Sedangkan menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zahiriyah :
a) Al-jam’u wa a’Taufiq
b) Nasakh.
c) Tarjih.
d) Tasaqut Al-Dalilain
B. KRITIK & SARAN
Apabila ada suatu dalil yang bertentangan kita tidak usah bingung apalagi meninggalkanya, setiap dalil yang bertentangan pasti ada jalan penyelesaiannya seperti yang telah dijelaskan diatas. Terimakasih…
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mempelajari suatu hukum atau ketika kita mengambil suatu keputusan dalam menetapkan hukum, seringkali kita akan menemukan dalil-dalil Al-Qur’an atau Hadits yang saling bertentangan satu dengan yang lain.
Ta’arudh al-Adilah (dalil-dalil yang bertentangan) sering kali membuat kita bingung dalam menetapkan suatu hukum, dan untuk memahami hal tersebut kita harus punya dasar dalam penetapan hukum.
Mengambil suatu ketetapan hukum yang berdasarkan dalil Al-Qur’an ataupun hadist yang bertentangan, maka ada beberapa cara, yaitu; Al-jam’u wa al-Taufiq, Nasakh-Mansukh dan Tarjih.
Banyak orang islam yang menjalankan amal ibadah itu karena factor taqlid (ikut-ikutan), bukan berdasarkan ilmu yang ia ketahui. Untuk mengatasi hal tersebut maka judul ini dirasa penting untuk diangkat, dalam rangka menyiapkan umat islam yang beramal berdasarkan ilmu.
Maka dalam makalah ini, kami akan menjelaskan tentang dalil-dalil yang bertentangan dan cara penyelesaiannya berikut contoh-contohnya.
B. Ruang Lingkup Pembahasan
Agar pembahasan didalam makalah kami mudah difahami, maka kami membatasi pembahasan dalam makalah kami, yaitu :
A. Pengertian Ta’arud Al-Adillah
B. Cara Penyelesaian pada Ta’arud Al-Adillah
1) Menurut Hanafiyah
2) Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
C. Beberapa Contoh Ta’arud Al-Adillah
C. Tujuan Pembahasan
A. Ingin menjelaskan pengertian dari Ta’arud Al-Adillah
B. Untuk menjelaskan cara penyelesaian pada Ta’arud Al-Adillah
a. Cara penyelesaian Ta’arud Al-Adillah menurut Hanafiyah
b. Cara penyelesaian Ta’arud Al-Adillah menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
C. Ingin menunjukan beberapa contoh Ta’arud Al-Adillah
BAB II
PEMBAHASAN
الأدلة التعارض
A. Pengertian Ta’arud Al-Adillah
Secara bahasa kata ( التعارض ) berarti pertentangan dan lafadz (الأدلة) merupakan jama’ dari lafadz (الدليل ) yang berarti alasan, argument dan dalil. Persoalan ta’arud al-adillah dibahas para ulama dalam ilmu ushul fikih, ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainya pada derajat yang sama.
Sedangkan kalau Menurut istilah, banyak sekali para ulama’-ulama’ yang mendefinisikan tentang arti taarud al-adilah sendiri. Diantaranya yang dikemukakan oleh :
1. Imam al-Syakani, mendefinisikanya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.” (ada pertentangan dua dalil yang berbeda).
2. Kamal ibn al-Humam (790 – 861 h/1387 – 1456 m) dan al-Taftahzani (792 h), keduanya ahli fikih hanafi, mendefinisikanya dengan “pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya”
3. Ali Hasaballah (ahli ushul fikih kontemporer dari mesir) mendefinisikan dengan “ terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukun yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut dalam satu derajat”
Pengertian satu derajat / derajad yang sama adalah antara ayat dengan ayat, atau antara hadis dengan hadis.
Contoh pertentangan dalam ayat al-qur’an adalah ketentuan tentang iddah wanita karena kematian suami.
Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 234, menyatakan bahwa iddah wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari, ayat ini tidak membedakan wanita itu hamil atau tidak. Secara umum, Allah menyatakan bahwa apabila seorang wanita ditinggal mati suaminya maka iddahnya 4 bulan 10 hari. Dalam surat at-thalaq ayat 1, Allah menyatakan bahwa masa iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan anaknya. Ayat ini juga tidak membedakan antara cerai hidup (talaq) atau cerai mati (kematian suami). Secara umum ayat ini mengandung pengertian bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati, iddahnya adalah sampai melahirkan. Dengan demikian, terdapat pertentangan kandungan kedua ayat tersebut tentang masa iddah wanita hamil karena kematian suami.
Contoh lain dari hadis Rasulullah SAW, adalah dalam masalah riba. Dalam sebuah sabda Rasulullah dinyatakan bahwa ( النسيئة فى إلا ربا لا) “la riba illa fin nasi’ati.” HR. Bukhori wa Muslim. yang artinya “tidak ada riba kecuali riba nasi’ah (riba yang muncul dari utang piutang).”
Hadis ini meniadakan bentuk riba selain riba nasi’ah, yaitu yang berawal dari pinjaman uang. Dengan demikian, riba al-fad (riba yang muncul akibat dari transaksi, baik jual beli maupun transaksi lainya) tidaklah haram. Akan tetapi, dalam hadis lain Rasulullah bersabda :
(بمثل مثلا إلا بالبر البر تبيع لا) HR. Al-Bukhori, Muslim dan Ahmad ibn Hambal. yang artinya “jangan kamu menjual gadum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama”
Hadis ini mengandung hukum bahwa riba al-fad diharamkan. Kedua hadis tersebut mengandung pertentangan hukum islam dalam masalah riba al-fad. Hadis pertama membolehkanya sedangkan hadis yang kedua mengharamkanya.
Menurut wahbah al-zuhaili, pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis dan kekuatan logikanya, bukan pertentangan actual, karena tidak mungkin terjadi bila Allah atau RasulNya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan. Oleh sebab itu, menurut imam Al-Syatibi pertentangan itu bersifat semu, bisa terjadi dalam dalil yang Qath’i (pasti benar) dan dalil yang Zhanni (relative benar) selama dua dalil itu sederajat. Apabila pertentangan antara kualitas dalil yang berbeda, seperti pertentangan antara dalil Qath’i dengan dalil yang Zhanni, maka yang diambil adalah dalil yang Qath’i, atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat Al-Qur’an dengan hadis ahad (hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau tiga orang atau lebih yang tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al-Qur’an, karena dari segi periwayatanya ayat-ayat Al-Qur’an bersifat Qath’i, sedangkan hadis Ahad bersifat Zhanni.
Di samping itu menurut Wahbah Al-Zuhaili, pertentangan tidak mungkin muncul dari daliil yang bersifat Fi;liyah (perbuatan), misalnya dalil yang menunjukan Rasul berpuasa pada hari tertentu, kemudian ada dalil yang menyatakan bahwa pada hari itu juga Rasul tidak berpuasa.
B. Macam-Macam Cara Penyelesaian Ta’arud Al-Adillah
Apabila seseorang mujtahid menemukan dua dalil yang bertentangan, maka ia dapat menggunakan dua cara untuk berusaha untuk menyelesaikan –nya. Kedua cara itu, dikemukakan masing-masing oleh ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah.
1) Menurut Hanafiyah
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dengan cara :
a. Nasakh
Nasakh ( النسخ ) adalah membatalkan hukum yang ada didasarkan dengan adanya daliil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum yang pertama. Dalam hubungan ini, seorang mujtahid harus berusaha untuk mencari sejarah munculnya kedua daliil tersebut. Apabila dalam pelacakanya ditemukan bahwa satu dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainya maka yang diambil adalah dalil yang datang kemudian.
b. Tarjih
Tarjih ( الترجيح ) adalah menguatkan salah satu dalil diantara dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukungnya. Apabila masa turunya atau datangnya tidak diketahui maka seorang mujtahid bisa melakukan tarjih terhadap satu dalil tersebut dengan mengemukakan alas an-alasan lain yang membuat dalil tersebut kuat. Tarjih bisa dilakukan dari tiga sisi yaitu :
Dari segi penunjuk kandungan lafal suati nash. Contohnya mengu-atkanØ nash yang muhkam (hukumnya pasti) dan tidak bisa di-nasakh-kan (dibatalkan) dari musafar (hukumnya pasti tapi masih bisa di-nasakh-kan).
Dari segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil yangØ mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh/mubah.
Dari sisi keadilan periwayat suatu hadis.Ø
c. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Al-Jam’u wa Al-Taufiq ( والتوفيق الجمع ) yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengompromikanya. Dengan demikian hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena kaidah fikih mengatakan “mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada mengabaikan dalil yang lain” misalnya :
والدم الميتة عليكم حرمت (QS. al-Maidah ayat 3) dalam ayat ini diterangkan bahwa darah tidak dibedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku, seperti hati.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
مسفوحا دما أو ميتة يكون أن إلا…. (QS. Al-An’am ayat 145)
Didalam ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. Dengan demikian darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat 3 dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An’am ayat 145. Jadi pengompromian antara dalil-dalil yang secara lahiriyah bertentangan dapat diselesaikan.
d. Tasaqut Al-Dalilain
Tasaqut Al-Dalilain ( الدليلين تساقط ) yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Dalam artian seorang mujtahid harus merujuk kepada dalil yang derajatnya dibawah dalil yang bertentangan tersebut.
Seorang mujtahid menurut ulama Hanafiyah, hanya diperbolehkan memilih dalil yang kualitasnya rendah apabila ia telah melakukan upaya maksimal dalam melacak dalil yang kualitasnya lebih tinggi. Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan diatas, harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai dengan cara keempat.
2) Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang kontradiksi, menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah adalah sebagai berikut :
a. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah ( والتوفيق الجمع ) yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengompromikanya walaupun hanya dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqih “mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada mengabaikan dalil yang lain” mengamalkan kedua dalil sekalipun dari satu segi, menurut mereka dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Apabila hukum yang kontradiksi itu bisa dibagi, maka lakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya.
2. Apabila hukum yang kontradiksi itu suatu yang terbilang, seperti sabda rasulullah SAW “la sholata lijaril masjid illa fil masjid” artinya “tidak (dinamakan) sholat bagi tetangga masjid kecuali di masjid” HR Abu Dawud dan Ahmad ibn Hambal. Maka cara penyelesaianya adalah ;
Dalam hadis tersebut ada kata “la” yang dalam ushul fikih mempunyai pengertian banyak, yaitu berarti “tidak sah” bisa berarti “tidak sempurna” dan bisa juga berarti “tidak utama”. Oleh karena itu mujtahid boleh memilih satu pengertian mana saja, asal didukung oleh dalil lain.
3. Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, seperti kasus iddah yang mana pada surat al-Baqarah ayat 234 bersifat umum dan pada surat al-Thalaq bersifat khusus, maka dari satu sisi iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat al-Thalaq.
b. Tarjih
Apabila pengompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka mujtahid boleh menggunakan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Tata cara Tarjih bisa ditempuh dengan berbagai cara, umpamanya dengan menarjih yang perawinya sedikit, bisa juga melalui penarjihan sanad (para penurut hadis), bisa juga melalui penarjihan dari sisi matan (lafal hadis), atau ditarjih berdasarkan indikasi lain di luar nash.
c. Nasakh
Apabila dengan cara tarjih, kedua dalil tersebut masih belum bisa diamalkan, maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat mengetahui dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan. Seperti sabda Rasulullah SAW “Dahulu saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahilah”.
d. Tasaqut Al-Dalilain
Apabila cara ketiga masih belum bisa ditempuh, maka mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang kontradiksi tersebut.
Menurut Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah, keempat cara tersebut harus ditempuh oleh mujtahid dalam menyelesaikan dua dalil yang kontradiksi harus secara berurutan.
C. Beberapa Contoh Ta’arud Al-Adilah
- Pada kasus iddah
( ruãt³ôZ# &rôkå9 &rö/tèyps /Î'rRÿà¡ÅgÎ`£ tItu/Áó`z &røruº`[% rutxârbt BÏZ3äNö ãFtquù©qöbt ru#$!©%Ïïût
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari” (QS, Al-Baqarah : 234)
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya, iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu hamil maupun tidak. Namun kalau dilihat dalam firman Allah SWT pada surat lain :
ÈÍÇ ............. 4 qxH÷=ngß`£ tÒè÷`z &rb &r_y=ègß`£ #${Fq÷Hu$AÉ ru&ér'9s»Mà
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS. Al-Thalaq : 4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap perempuan yang hamil yang suaminya meninggal atau diceraikan suaminya, sedangkan mereka dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai wanita tersebut melahirkan.
Menurut Menurut Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah, Solusinya adalah ( والتوفيق الجمع ). Yang mana pada surat al-Baqarah ayat 234 bersifat umum dan pada surat al-Thalaq bersifat khusus, maka dari satu sisi iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat al-Thalaq.
- Pada kasus darah
..................ru#$!$¤Pã #$9øJyøGtpè æt=nø3äNã mãhÌBtMô ÈÌÇ!
dalam ayat ini (QS. al-Maidah : 3) diterangkan bahwa darah itu hukumnya haram, dan di ayat ini darah tidak dibedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku, seperti hati.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
ÈÎÍÊÇ ............................ B•¡óÿàqn•% yBY$ &rr÷ BtøGtpº t3äqc &rb )ÎwH
Didalam ayat ini (QS. Al-An’am :145) mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
Dengan demikian darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat 3 dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An’am ayat 145. Jadi pengompromian antara dalil-dalil yang secara lahiriyah bertentangan dapat diselesaikan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada Bab II, sekiranya dapat di ambil kesimpulan bahwa definisi Ta’arudh Al’adillah Secara etimologi ta’arudh adalah pertentangan. Sedangkan adilah adalah jamak dari dalil yang berarti alasan, argument dan dalil. Sedangkan secara terminologi adalah;
1. Imam al-Syakani, mendefinisikanya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.” (ada pertentangan dua dalil yang berbeda).
2. Kamal ibn al-Humam (790 – 861 h/1387 – 1456 m) dan al-Taftahzani (792 h), keduanya ahli fikih hanafi, mendefinisikanya dengan “pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya”
3. Ali Hasaballah (ahli ushul fikih kontemporer dari mesir) mendefinisikan dengan “ terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukun yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut dalam satu derajat”
Adapuan cara penyelesaian Ta’audh Al-adillah. Menurut Hanafiyah :
a) Nasakh.
b) Tarjih.
c) Al-jam’u wa a’Taufiq
d) Tasaqut Al-Dalilain
Sedangkan menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zahiriyah :
a) Al-jam’u wa a’Taufiq
b) Nasakh.
c) Tarjih.
d) Tasaqut Al-Dalilain
B. KRITIK & SARAN
Apabila ada suatu dalil yang bertentangan kita tidak usah bingung apalagi meninggalkanya, setiap dalil yang bertentangan pasti ada jalan penyelesaiannya seperti yang telah dijelaskan diatas. Terimakasih…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar