Kamis, 19 Desember 2013

Maqasid al-Syariah----usul fiqh

Pendahuluan
Essay ini akan menghadirkan lima bagian diawali dengan karakterirstik umum maqasid al-syariah dan sumber-sumbernya dalam Al-qur’an. Bagian kedua akan membahas klasifikasi maqasid dan perintah-perintah tertentu yang menjadi prioritas yang terintegrasi kedalam struktur maqasid. Bagian ketiga akan mengetengahkan perkembangan historis dan kontribusi para ulama tentang teori maqasid. Kita juga akan melihat pendekatan para ulama yang berbeda terhadap identifikasi maqasid pada bagian empat. Dan terakhir, relevansi maqasid terhadap ijtihad dan jalan maqasid yang dapat memperluas cakupan dan mutu dari sebuah ijtihad.
Sumber-sumber Maqasid Al-syariah
Maqasid al-syariah atau goals dan objectives dari hukum Islam adalah suatu hal yang sangat jelas pentingnya dan tak pernah terabaikan dari syari’ah. Secara umum, syari’ah didasarkan pada manfaat yang diberikan bagi individu dan juga masyarakat, dan hukum-hukum dari maqasid didesign, dirancang, agar dapat memproteksi manfaat tadi dan memfasilitasi kondisi perbaikan dan kesempurnaan pada manusia dibumi. Al-qur’an menyatakan hal ini ketika memilih Nabi Muhammad saw dengan ayat-Nya yang berbunyi:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. 21:107)
dan juga ayat yang berbunyi:
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. 10:57).
Dua ayat diatas yang menekankan kepada rahmat dan huda (petunjuk) ternyata juga dibenarkan oleh ketentuan-ketentuan yang lain dari Al-qur’an dan As-Sunnah yang memerintahkan menegakkan keadilan, menghapus prasangka, dan menghilangkan penderitaan. Al-qur’an dan as-Sunnah juga menekankan kerjasama dan dukungan mutual baik skala keluarga maupun masyarakat. Keadilan itu sendiri adalah manifestasi Rahmah Allah sebagai sebuah tujuan syari’ah. Rahmat ini diwujudkan dalam realisasi maslahat (benefit) dimana para ‘Ulama secara umum telah menganggapnya menjadi bagian nilai dan tujuan yang meresap pada syari’ah.
Pendidikan individu (tahdhib al-fard) adalah salah satu tujuan terpenting dari syari’ah, ketika turun menjadi prioritas bahkan sebelum keadilan dan maslahah. Untuk kedua tujuan ini yang mempunyai nilai orientasi pada sosial membutuhkan banyak makna dalam kaitan hubungan sosial, dimana tahdhib al-fard menjadikan setiap individu seorang wakil yang terpercaya dan membawa nilai-nilai syari’ah, dan itu tergapai melalui pendidikan individu dimana syari’ah mencoba untuk merealisasikan banyak tujuan sosial. Semua tujuan dari sebuah hukum yang ideal dan nilai-nilai syari’ah, khususnya dalam lingkungan ibadah dan pendidikan moral, adalah untuk melatih individu yang sadar akan kebajikan, taqwa dan menjadi wakil yang membawa maslahah bagi yang lain.
Al-qur’an menyatakan dalam berbagai tempat dan konteks, bahwa dasar pemikiran, tujuan dan maslahah suatu hukum secara karakteristik terletak pada goal-oriented. Segi ini, biasanya dalam bahasa Al-qur’an terletak pada transaksi muamalah seperti juga pada hal-hal ibadah. Jadi, ketika suatu dalil menguraikan katakan tentang wudhu, maka perintah wudhu tersebut mengikuti sebuah ayat:
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”. (QS. 5:6)
Kemudian, berhubungan dengan shalat itu sendiri:
“Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar”.(QS. 29:45)
Berkaitan dengan jihad, Al-qur’an juga menyatakan tujuannya seperti:
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu”. (QS. 22:39).
Dengan kata lain, tujuan legalisasi jihad adalah untuk memerangi ketidakadilan (zulm) sedangkan tujuan shalat adalah mencapai kemurnian spritual dan keunggulannya dikerjakan bersama kebersihan phisik melalui wudhu sebelum shalat. Berkaitan dengan hukum qishash, dalil yang menyatakan yaitu:
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa’. (QS. 2:179);
sedang berkaitan dengan zakat :
“ …agar kekayaan itu tidak berkumpul hanya kepada orang kaya saja”. (Q.S ..Al-Hasr: 7)
Sehubungan dengan masalah seks, Al-qur’an memerintahkan untuk menundukan pandangan antara laki-laki dan perempuan dengan maksud:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS. 24:30)
Kita dapat menambahkan lagi beberapa keterangan dari Al-qur’an dan as-Sunnah bagaimana suatu penekanan hokum ditekankan pada justifikasi tujuan, penyebab dan maslahat yang dapat diambil darinya, juga dapat ditemukan adanya perilaku jahat dan kriminal yang oleh Al-qur’an dan as-Sunnah ditegur dan diberikan hukuman semata-mata untuk menghindari ketidakadilan, korupsi dan perasangka yang merugikan. Di dalam masalah perdagangan dan muamalat, Al-qur’an melarang eksploitasi, usury (bunga), ikhtikar (penimbunan), gambling (perjudian) dimana kekerasan dan hal yang menghancurkan tujuan dari market-place. Yang harus menjadi underline dari semua ini adalah spektrum yang begitu luas dari suatu ahkam yang menekankan realisasi maslahah (benefit) yang dianggap sebagai summa of the maqasid. keadilan juga merupakan maslahah dan merupakan dari tahdhib al-fard. Masalih, kata lain dari maslahah menjadi nama lain dari sebuah maqasid dan para ulama telah menggunakan dalam dua term yang saling berubah.
Klasifikasi Masalih
Para ulama telah mengklasifikasikan masalih maqasid secara luas kedalam tiga kategori, dimulai dengan essential masalih atau daruriyyat, diikuti dengan kategori complementary benefit atau hajiyyat, dan yang terakhir tahsiniyyat. Sedangkan the essential interest disebutkan sebanyak lima perkara yaitu, agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Inilah yang didefinisikan sebagai suatu hal yang perlu dalam masyarakat baik sebagai survival maupun spritual yang dimiliki setiap individu, agar kerusakan dan kebrutalan yang terjadi akan cepat hilang dan collapse dan kehidupan normal akan dicapai kembali.
Syari’ah mencoba untuk melindungi dan memperkenalkan nilai-nilai dan ukuran-ukuran validitas bagi penjagaan dan kemajuan yang dicapai (preservation and advancement). Syariat jihad yang telah mendapat legalisasi bertujuan untuk melindungi agama, demikian pula dengan syariat qishash yang semata-mata untuk melindungi kehidupan.
Syari’ah mengambil punitive measure dan juga affirmative measure untuk melindungi dan mempromosikan nilai-nilai syariah yang ada. Dalam sisi punitive, mencuri, berzina dan meminum-minuman keras merupakan perbuatan yang akan dikenai hukuman yang bersifat offensif karena merupakan perbuatan yang mengancam atau merusak perlindungan hak properti seseorang, kehormatan suatu keluarga dan integritas manusia yang berakal.
Dalam sisi affirmatif, syariah justru mendorong aktivitas kerja dan perdagangan agar setiap individu mampu memelihara sebuah kehidupan dan mampu membuat elaborasi ukuran-ukuran, measure, untuk menjamin arus transaksi perdagangan secara lancar dalam suatu pasar. Hukum-hukum keluarga (fiqh ‘usrah) yang merupakan bagian dari syariah secara luas mengarahkan dan mengatur suatu keluarga agar keberadaannya menjadi tempat perlindungan bagi semua anggota keluarga. Syariah juga mengajurkan kepada manusia untuk mencari ilmu (knowledge) agar dapat menjamin intelektual seseorang dan education agar dapat memajukan seni dan masyarakatnya. Dengan kata lain, essensi syariah merupakan sebuah all-encompassing dari syariah karena seluruh hukumnya berada dalam satu cara, satu arah yang saling berhubungan kepada perlindungan yang membawa berbagai maslahah. Maslahah-maslahah ini diwujudkan dalam suatu prioritas dan keberatan-keberatan yang menolak dari suatu hal sesuai dengan syari’ah.
Bagian kedua dari masalih adalah hajiyyat (complementary interest) yaitu bukan kategori yang independen karena hajiyyat juga berusaha untuk melindungi dan mengajukan esensial interest (lima tujuan maqasid yang dijaga yaitu agama, jiwa, keturunan, akal dan harta) sekalipun dalam kapasitas kedudukan atau level kedua. Hajiyyat juga dapat didefinisikan sebagai upaya untuk mencapai maslahah dengan melepaskan kepelikan dan penderitaan, tetapi kepelikan dan penderitaan itu tidak mengancam kelangsungan hidup (survival). Contoh yang nyata dari hal ini adalah adanya (keringanan) rukhsah dalam shalat karena berada dalam perjalanan (musafir) yang semula berjumlah empat rakaat menjadi dua rakaat, atau bolehnya berbuka puasa ketika sakit/diperjalanan.
Disini terlihat bahwa syariah telah memberikan bantuan untuk menghilangkan kesulitan ini, tetapi kedua contoh diatas juga bukan merupakan masalah yang essensial dalam artian manusia tetap hidup tanpa itu (bersifat opsional). Hampir semua kewajiban ibadah syariah telah diberikan keringanan (concession). Demikian juga dengan masalah hukum kriminal, bahwa hadist menyatakan menentukan suatu hukum dapat ditunda bila terdapat keraguan dalam memutuskannya merupakan sebuah proteksi dimana hukum harus diperkuat dengan adanya keyakinan memutuskan hukuman tersebut. Hukuman-hukuman ini kembali ditandai untuk melindungi essentials interest melalui judicial action yaitu pengadilan. Dibagian lain dalam muamalah, syari’ah telah mensyahkan beberapa kontrak/akad seperti penjualan salam, ijarah, karena kebutuhan manusia akan dibalik kontrak itu sekalipun ada suatu yang ganjil yang nyata dalam keduanya. Dibagian hukum keluarga (fiqh ‘usrah), syari’ah telah mengizinkan adanya perceraian ketika berada dalam situasi yang sangat diperlukan, ini merupakan sebuah rukhsakh yang membantu, pada keputusan akhir, menjamin keselamatan keluarga dan membela dari konflik yang tak terhindarkan.
Maslahah pada bagian kedua (hajiyyat) dapat berubah menjadi essential maslahah (dharuriyyat) ketika itu menyangkut kepentingan publik yang besar. Ilustrasinya seperti validitas ijarah yang penting bagi individu (secondary importance), tetapi bagi publik hal itu merupakan essential interest. Hal serupa, rukhsash tertentu yang diberikan dalam masalah ibadah mungkin menjadi urutan kedua (secondary; artinya rukhsakh itu boleh diambil maupun tidak) untuk survival bagi individu tetapi itu menjadi prioritas utama bagi khalayak banyak. Dalam hal munculnya berbagai konflik dimana melibatkan banyaknya maslahah yang diambil, maka maslahah yang lebih kecil harus dikorbankan untuk melindungi maslahah yang lebih besar. Sebaliknya ketika konflik majemuk terjadi dimana tak ada maslahah yang preferable, maka pencegahan dari kerusakan (mudharat) lebih baik daripada mengambil maslahah yang kecil. Hal ini karena syari’ah lebih empati kepada pencegahan kerusakan, sebagaimana dapat dilihat dari hadist Nabi, Dimana Muhammad saw bersabda,
“ketika saya memerintahkan kalian sesuatu, lakukan itu semampu kalian, tetapi ketika aku melarang kalian sesuatu, maka jauhilah itu”.
Pembagian yang ketiga dari masalih maqasid yang dikenal sebagai tahsiiniyyaat yaitu sesuatu sifat-sifat yang disenangi oleh manusia dimana mereka mencoba mencari perbaikan dan kesempurnaan dalam hal berperilaku dan adat kepada orang banyak. Seperti syari’ah mendorong kesucian tubuh dan mengenakan pakaian (salah satunya) untuk tujuan shalat, sekedar contoh, pemakaian minyak wangi ketika menunaikan shalat Jum’at, sebaliknya syari’ah tidak menganjurkan mengkonsumsi bawang putih (sesuatu yang membuat bau tak sedap) pada kesempatan itu. Syari’ah juga menganjurkan sadaqah bagi yang melebihi kebutuhannya dan dalam hal ibadah, syari’ah menganjurkan shalat –shalat sunah. Dalam hubungan dengan komunitas , syari’ah memerintahkan kelembutan, tutur kata yang sopan, akhlak al karimah dan berlaku ihsan . Hakim dan kepala negara dinasehati untuk tidak berlebihan dalam pemaksaan suatu hukuman. Semua ini adalah untuk mencapai keindahan dan kesempurnaan perilaku manusia.
Kategori terakhir ini mungkin mempunyai sesuatu yang penting dan khusus karena dapat meresap dan menghubungkan kepada masalaih yang lain. Contohnya, seseorang dapat menunaikan kewajiban shalat, dengan cara-cara yang berbeda, dengan atau tanpa kekhusu’an yang pas dan memberikan setiap gerakannya perhatian, atau menunaikannya secara tergesa-gesa dan cara yang tak terpikirkan, dan perbedaan antara itu, pertama didukung oleh intisari shalat (essensial) dan keinginan-keinginan (hasrat), dan kedua hal itu bisa saja hanya sebagai peleburan kewajiban. Seseorang dapat memperluas analisis ini hampir kesemua perilaku manusia dan mengimplementasikan hampir ke semua ahkam syari’ah. Ini harus jelas, bahwa klasifikasi masalih tidak perlu dibatasi kepada hukum–hukum syari’ah atau kepada masalah agama saja karena dasar sebuah konstruksi rasional itu dapat diaplikasikan kepada adat, sosial, politik, ekonomi, budaya dan lainnya. Untuk membangun sebuah rumah sakit pertama pada sebuah kota, maka ini menjadi sebuah kebutuhan dan keperluan, tetapi untuk membangun yang kedua dan ketiga hanya sebagai komplementer dan hasrat saja. Dan untuk melengkapi setiap rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang lebih baik maka hal ini jatuh pada kategori kedua atau ketiga dari pembagian masalih, tentu saja, tergantung pada kondisi setiap lokasi. Dari analisis ini, tampak bahwa pengklasifikasian maslahah tertentu dibawah salah satu atau kateori yang lain mungkin menjadi relatif dan melibatkan value judgment yang bermaksud keadaan datang dalam setiap kasus.
Literatur Maqasid al-Syariah
Sebagai sebuah tema dari syari’ah yang erat kaitan dengan hak-hak miliknya, maqasid al-syariah tidak mendapatkan banyak perhatian dimasa-masa awal pengembangan pemikiran fikih Islam dan mereka sebatas menempatkannya tulisan-tulisan tambahan saja pada hukum–hukum suatu madzhab. Bahkan sampai kepada sekarang banyak teksbook dalam ushul al fiqh yang tidak menyebutkan maqasid al-syariah melalui ulasan topik-topik familiar.
Berbicara lebih dalam, pemikiran fikih Islam telah diikat oleh perhatian para ulama terhadap kesesuaiannya dengan nash, dan teori hukum dari ushul fiqh telah berkembang kepada tujuan-tujuan yang lebih luas lagi. Orientasi pemikiran fuqaha yang literalistik umumnya lebih nyata dalam kecenderungan pendekatan yang dipakai (tradisionist / ahl al-Hadist) dari pada fuqaha yang rasionalistik (ahl ar ra’yu). Fuqaha yang litarelistik cenderung melihat syari’ah sebagai sebuah tatanan nilai, perintah dan larangan yang ditujukan kepada individu yang mukallaf dan semua itu nantinya diharapkan sesuai dengan instruksinya. Disatu sisi, sesuatu yang dapat dijadikan acuan telah terindikasikan, disisi lain mereka melihat syari’ah baik sebagai tatanan nilai maupun sistem nilai berada dalam aturan-aturan yang spesifik yang dilihat sebagai manifestasi nyata terhadap nilai-nilai yang dikesampingkan. Tradisi fuqaha tekstualistik ini pada tiga abad pertama tidak banyak tertarik kepada maqasid al-syariah dan barulah banyak dibicarakan sampai kepada al-Ghazali (w.505/1111) dan kemudian al-Shatibi (w.709/1388) yang berkembang secara signifikan dalam bentuk formulasi teori maqasid.
Tinjauan dasar dalam melihat ini bahwa teori maqasid al-syariah sebenarnya tidak diingkari oleh para madzhab, sebelumnya maqasid ini lebih berada pada sisi mainstream pemikiran fuqaha yang diwujudkan dalam berbagai tema dan doktrin ushul fiqh. Kecuali madzhab Zahiri yang menetapkan bahwa maqasid hanya dapat diketahui setelah suatu itu diidentifikasilkan dan dideklarasikan oleh nash dhohir tetapi mayoritas ulama tidak membatasi kepada nash-nash dhohir saja. Bagi mereka telah dapat dirasa dan dimengerti syari’ah itu menjadi rasional, terorientasi oleh suatu tujuan (goal-oriented) dan aturan-aturannya secara umum ditemukan pada masalah-masalah yang nyata. Persesuaian yang belaka terhadap aturan-aturan yang bertentangan dengan tujuan dan tinjauan syari’ah secara umum tidak diterima. Pendekatan yang secara keseluruhan berbeda terhadap maqasid diambil oleh Bathiniyyah yang berpegang, tidak dengan madzhab dzahiri, esensi dan tujuan nash-nash selalu ditemukan, tidak dalam kata-kata eksplisit dari nash, tetapi dalam arti yang tersembunyi (bathin), oleh karena itu nama kelompok mereka Bathiniyyah.
Ada juga perbedaan orientasi diantara pemimpin madzhab terhadap maqasid: beberapa diantara mereka lebih terbuka untuk itu dibanding dengan yang lainnya, tetapi penggabungan kedalam goals dan objectives syari’ah secara umum tidak banyak dibicarakan. Hal ini malah bertentangan dengan fakta bahwa Al-qur’an itu sendiri memperlihatkan kesadaran meletakan tujuan dan maksud suatu hukum dan sering menguraikan penyebab-penyebab dan dasar pemikiran saat mereka temukan. Sikap diam dari sebagian ulama berkaitan dengan identifikasi maqasid mungkin telah seharusnya sebagian unsur-unsur proyeksi dan ramalan demikian sebuah ujian dapat dilibatkan. Tentu, sebagai contoh, siapa yang dapat mengatakan bahwa ini atau itu adalah merupakan tujuan atau tujuan yang justru dikesampingkan oleh Pembuat hukum, tanpa menggunakan tingkat spekulasi, tentu kecuali, jika nash telah mendeklarasikannya juga. Kemudian untuk membatasi cakupan maqasid hanya tertuju kepada pernyataan yang dhzohir dari suatu nash juga tidak cukup, seperti saya akan jelaskan.
Tidak sampai permulaan abad keempat, istilah maqasid telah digunakan. Manuskrif-manuskrif fuqaha Abu Abdillah al- Thirmidzi al-Hakim (w.320/932) dan kembali berulang rujukan-rujukan itu muncul dalam hidup Imam al Haramain al-Juwayni (w.479/1085) yang mungkin ulama pertama kali dalam mengklasifikasikan maqasid al-syariah kedalam tiga kategori yaitu essensial, complementer dan desirable (dharuriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat) yang telah diterima secara umum. Ide-ide Juwayni kemudian dikembangkan lebih jauh lagi oleh muridnya, Abu Hamid al-Ghazali yang menulis panjang dalam public interest (maslahah) dan ratiocination (ta’lil) dalam karyanya, Shifa al Ghalil dan al-Mustafa. Ghazali secara umum mengkritisi maslahah sebagai sebuah bukti, tetapi hal itu menjadi sah/legal jika dikenalkan atau dihubungkan maqasid dari syariah. Karena untuk maqasid sendiri, ghazali menulis dengan pasti bahwa syari’ah mengejar lima tujuan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta yang dilindungi sebagai sebuah hal prioritas mutlak.
Sejumlah ulama melanjutkan sumbangsihnya terhadap maqasid, mungkin tidak semua dari mereka konsisten, yang sebelumnya penting untuk mengembangkan ide-idenya. Sayf al-Din al-Amidi (w.631/1233) meneliti maqasid sebagai kriteria preferensi al-tarjih diantara konflik analogi-analogi dan gabungan dalam sebuah perintah prioritas antara berbagai pengelompokan maqasid. Amidi juga telah membatasi maqasid yang penting itu hanya kedalam lima bagian. Fuqaha Maliki, Shihab al-Din al-Qarafi (w.684/1285) telah menambahkan satu lagi bagian dari essensial maqasid yaitu al-ird (kehormatan) dan ini didukung oleh Taj al-Din ‘Abd al Wahab ibn as-Subki (d.771/1370) dan kemudian Muhammad ibn ‘Ali al Shawkani (d. 1250/1834). List dari lima nilai yang penting secara jelas didasari dalam sebuah keterangan yang relevan dari bagian Al-qur’an dan as-Sunnah dalam menjelaskan hukuman (hudud). Nilai dari setiap hukuman itu bertujuan untuk mempertahankan dan membela yang dengan konsekuen diidentifikasikan sebagai sebuah nilai yang esensial. Tambahan terakhir dari lima essensi itu yaitu al-‘ird (kehormatan) sebenarnya telah masuk kepada kategori al-nasl atau al-nasab (keturunan), tetapi mereka yang mendukung adanya tambahan ini meyakini dengan jelas bahwa syari’ah telah memberlakukan hukuman had yang terpisah terhadap tuduhan pemfitnah (al-qadhf), yang itu memberikan alasan penambahan. ‘Izz al-Din ‘Abd al-Salam al-Sulaimi (w.660/1262) yang masyhur dalam “ Qawaid al-Ahkam” pada maqasid al-ahkam dan telah menunjukan berbagai macam aspek maqasid khususnya berhubungan dengan ‘illah (sebab) dan maslahah (publik interest) dalam cara yang lebih detail. Jadi, Ia telah menulis pada permulaan kerjanya bahwa: “ tujuan yang terbesar dari seluruh Al-qur’an adalah untuk memfasilitasi masalih (benefits) dan itu berarti yang terjadi pada Al-qur’an dan realisasi dari benefit juga termasuk pencegahan dari kejahatan”. Sulami menambahkan bahwa seluruh kewajiban yang ada pada syari’ah dipastikan dalam mencapai maslahat bagi manusia baik di dunia maupun setelahnya. Bagi Allah Yang Maha Kuasa, Dirinya tidak perlu suatu benefit apapun dan tidak perlu kepatuhan hamba-Nya. Dia diatas segalanya ini dan tak dapat dirusak oleh ketidakpatuhan, bukan pula keuntungan dari penyembahnya. Dengan kata lain, syari’ah memperhatikan dari awal hingga akhir, dengan ciftaan Allah yang membawa benefit.
Taqi al-din ibn Taimiyyah (d.728/1328) mungkin sarjana pertama yang menanggalkan dari ide-idenya yang membatasi maqasid terhadap jumlah yang spesifik dan telah ditambahkan, terhadap keberadaan list dari maqasid, seperti pemenuhan kontrak/aqad, memperkaya list maqasid, tali ukhwah kekeluargaan, menghormati hak-hak dari tetangga, cinta Allah swt, kepercayaan, kejujuran dan kemurnian moral dalam berhubungan. Ibn Taimiyyah telah merevisi cakupan maqasid dari suatu yang ditandai dan dispesifikasikan list itu kedalam list yang tak terbatas (open-ended list) dari nilai-nilai, dan pendekatannya ini telah diterima oleh ulama kontemporer seperti Ahmad al-Raysuni, Yusuf al-Qaradawi dan lainnya. Lebih jauh, Qaradawi telah menyampaikan list of maqasid termasuk kesejahteraan sosial dan tolong-menolong (takaful), kebebasan, martabat manusia, ukhwah manusia, diantara tujuan-tujuan yang lebih tinggi dan maqasid bagian dari syariah. Ini tak diragukan lagi diperkuat dengan baik ukuran terperinci dan ukuran general dari kejelasan Al-qur’an dan as-Sunnah.
Saya mengusulkan untuk menambahkan ekonomi pembangunan dan memperkuat dari R&D dalam teknologi dan ilmu pengetahuan untuk masuk kepada struktur maqasid karena hal ini secara krusial penting dalam menentukan berdirinya ummah pada suatu komunitas dunia. Itu akan tampak dari analisis ini bahwa maqasid al-syariah tetap membuka untuk memperkaya lebih jauh yang mana yang akan tergantung pada prioritas setiap masa/usia.
Identifikasi Maqasid al-Syariah
Sebagaimana disinggung didepan, ‘Ulama telah berbeda dalam melakukan pendekatan identifikasi maqasid al-syariah. Pendekatan pertama dilatar belakangi oleh pendekatan tekstual, yang membatasi identifikasi maqasid al-syariah kepada nash-nash dhohir, perintah dan larangan, yang itu adalah pembawa maqasid al-syariah. Maqasid al-syariah menurut pandangan ini, tidak memisahkan keberadaannya diluar kerangka ini. Adanya sebuah perintah adalah eksplisit dan normatif yang akan menyampaikan tujuan maqsud dari pemberi hukum dalam affirmative sense. Larangan-larangan diindikasikan dari maqasid al-syariah dalam negative sense yang mana tujuan dari perintah larangan adalah untuk menekan dan mencegah kejahatan. Secara umum ini dapat diterima, tetapi ada kecenderungan tertentu dengan kerangka umum ini. Ketika madzhab Zahiri membatasi maqasid al-syariah kepada nash-nash yang jelas, mayoritas ulama mengambil pertimbangan kedua-duanya baik nash dan ‘illah yang harus digaris bawahi dan menjadi dasar pemikiran dari nash itu. Shatibi telah berbicara secara baik perlunya untuk mengobservasi dan mematuhi perintah eksplisit, tetapi kemudian dia menambahkan bahwa ketaatan kepada nash yang jelas seharusnya tidak begitu kaku sebagaimana mengasingkan dasar pemikiran dan tujuan nash dari kata-kata dan kalimat. Shatibi menambahkan kekakuan jenis ini bertentangan dengan sendirinya terhadap tujuan pemberi hukum, karena hanya akan mengabaikan nash yang jelas itu sendiri. Ketika nash, apakah itu perintah atau larangan, dibaca dalam hubungannya dengan tujuan dan dasar pemikiran, ini adalah sebuah pendekatan yang tegas, seseorang memikul lebih besar keharmonisan dengan maksud pemberi hukum. Shatibi telah mengelaborasi bahwa maqasid al-syariah yang diketahui dari pemahaman nash yang komprehensif mempunyai dua jenis yaitu utama (asliyyah) dan ikutan (tab’iyyah). Pembentuk dari dharuriyyat dimana mukallaf, orang yang sudah dapat dibebankan hukum, harus mengawasi dan melindungi tanpa memperhatikan kesukaan seseorang, sementara hajiyyat yaitu yang ditinggalkan mukallaf mempunyai fleksibilitas dan pilihan.
Pemahaman yang komprehensif dari perintah tekstual syari’ah telah memberikan munculnya beberapa pertanyaan apakah itu berarti wajib atau haram yang harus dilihat sebagai bagian dari tujuan yang ingin dicapai oleh perintah itu, apakah berarti sebuah komando, dengan kata lain, juga merupakan bagian integral komando itu. Pertanyaan selanjutnya apakah menghindari lawan dari suatu perintah bagian integral juga dari tujuan dan sasaran yang dicari oleh perintah itu. Respon jawaban ini secara umum bahwa aspek-aspek komplementer dari perintah dan larangan adalah sebuah bagian integral dari tujuan ini, meskipun telah muncul detail perselisihan-perselisihan. Banyak dari perintah-perintah syari’ah mudah dapat dimengerti, dan tujuannya sebagaimana lawan/kebalikannya dapat diketahui dan dipastikan dari pemahaman nash yang jelas. Jadi perlu dicatat apapun mungkin perlu untuk mengeluarkan sebuah perintah atau wajib adalah juga bagian dari wajib. Shatibi telah menyimpulkan apapun adalah complementary kepada maqasid al-syariah dan dalam pelayanannya juga bagian dari maqasid al-syariah. Pertanyaan yang muncul kemudian menyangkut diamnya Pemberi hukum berhubungan dengan sebuah perilaku tertentu dalam situasi khusus dimana pemahaman yang menyeluruh dari bukti yang relevan memberikan keterangan nilai dari perilaku itu. Pertanyaannya mungkin ditempatkan sebagai berikut: kita tahu bahwa maqasid al-syariah diketahui dari perintah yang jelas, tetapi dapatkah perintah diketahui dari pemahaman yang menyeluruh pada nash-nash dengan cara induksi (mengambil kesimpulan)? Ini adalah dimana Shatibi telah memberikan respon yang baik, dan inilah apa yang akan kita ambil berikutnya.
Induksi (istiqra) menurut shatibi merupakan metode paling penting dalam pengidentifkasian maqasid dari syariah. Ada banyak macam referensi tekstual kepada sebuah subjek, (namun) mungkin tidak ada sifat dari sebuah perintah yang tegas. Sebelumnya bobot kolektifnya seperti meningggalkan sedikit keraguan mengenai arti yang dihasilkan olehnya. Dalam kata lain, kesimpulan yang tegas dihasilkan dari pluralitas ekspresi spekulatif. Shatibi mengilustrasikan hal ini dengan mengatakan bahwa tidak ada dalam Al-qur’an pernyataan spesifik terhadap effek bahwa syari’ah telah menjadikan maslahah bagi orang-orang. Sebelumnya ini adalah kesimpulan definitif yang digambarkan dari pemahaman kolektif dari sebuah tekstual. Shatibi kemudian menambahkan bahwa benefit (masalih) adalah untuk dimengerti lebih luas yang tidak hanya menyinggung dunia namun hari akhirat, individu termasuk komunitas, materi, moral dan spritual, dan yang menyingung kepada keadaan sekarang seperti juga ketertarikannya pada masa depan. Arti yang luas dari benefit ini juga termasuk pencegahan dan penghilangan kerusakan. Malahah ini tidak selalu dapat dibuktikan dan dipastikan dengan alasan manusia sendiri tanpa bantuan dan petujuk wahyu Allah.
Jenis klasifikasi dari maqasid al-syariah kedalam tiga kategori yaitu essensial, complementary dan desirable, dan kesimpulan bahwa Pembuat Hukum telah memasukan perlindungan yang mendasari ini, sekali lagi, dalam induksi –karena tidak ada pernyataan spesifik dalam sumber-sumber tekstual. Dengan catatan yang sama, aturan syari’ah yang sah dalam tindakan ibadah tidak dapat didirikan dengan arti ijtihad — sebuah kesimpulan induktif yang digambarkan dari dalil-dalil yang jelas pada subjeknya – -karena tidak ada perintah spesifik dalam sumber-sumber yang mempengaruhinya. Konklusi ini sungguh penting dimana tidak ada keraguan, tidak juga kredibilitas suatu hal yang beralasan menjadi spekulatif. Metode induktif yang sama juga telah membawa ulama pada kesimpulan bahwa proteksi lima unsur penting dan penting diutamakan pada syari’ah –tidak ada aturan tekstual untuk menjelaskan dan mengkategorikan atau menjumlahkan nilai-nilai dalam perintah itu.
Metode induksi Shatibi tidak dibatasi terhadap identifikasi tujuan-tujuan dan nilai tetapi juga menyampaikan perintah dan larangan yang boleh jadi didapatkan melalui Nash yang dhohir, atau dari pemahaman kolektif sejumlah pernyataan tekstual yang mungkin munjul dalam berbagai macam konteks. Shatibi kemudian melanjutkan langkah lebih jauh untuk mengatakan bahwa konklusi induktif dan posisinya yang juga didirikan adalah premis-premis general dan keberatan yang menolaknya dari syari’ah dan juga mempunyai perintah yang penting yang lebih tinggi dari pada aturan-aturan khusus. Ini bisa menjadi jelas bahwa induksi adalah metode pertimbangan dasar (the principal methode of reasoning) dan membuktikan terhadap jalan yang Shatibi ambil dalam teori maqasidnya merupakan kontribusi nyata pada tema ini.
Pendekatan Shatibi terhadap induksi mengingatkan pada pengetahuan yang disyaratkan personality dan karakter individu yang terus-menerus bersatu dengannya disertai pengamalan perilakunya lebih dari satu periode. Jenis pengetahuan ini luas dan bersifat holistic, karena pengetahuan itu diperkaya dengan wawasan dan mungkin dapat diandalkan ketika dibanding pengetahuan yang didasari hanya kepada observasi khusus, kejadian yang terisolasi dalam aktivitas keseharian perhatian individu.
Maqasid dan Ijtihad
Telah dijelaskan dalam teorinya, Shatibi menekankan pengetahuan akan maqasid al-syariah sebagai prasyarat pencapaian seseorang kepada tingkat mujtahid. Jadi siapa yang mengingkari persyaratan ini maka dengan begitu mereka telah mengambil resiko karena akan membuat ijtihad mereka dapat dianggap salah. Termasuk dalam hal ini orang-orang yang mendukung melakukan sesuatu yang baru dalam ajaran Islam atau ahli bid’ah, orang yang telah mengunci pada sebuah nash yang nyata dari Al-qur’an tanpa mempertimbangkan atas tujuan dan maknanya. Innovator-innovator ini (pengikut khawarij) berpegang kepada ayat-ayat yang mengandung mutasyabihat dan menetapkan konklusinya oleh mereka sendiri. Mereka mengambil sepotong-potong ayat dan pendekatan atomistic terhadap pemahaman Al-qur’an yang menjadikan gagal mengikat bagian-bagian relevan secara bersamaan.
Disisi lain, pemimpin ulama mempunyai pandangan bahwa syari’ah sebagai kesatuan dimana aturan-aturan terperincinya harus dipahami dalam sudut premis dan tujuan aturan tersebut yang lebih luas. Tahir ibn’ Ashur yang mengarang kitab Maqasid al-Syariah al-Islamiyyah juga telah memberitahukan bahwa knowledge dari maqasid al-syariah sangat dianjurkan sekali dalam ijtihad dalam semua manifestasi knowledge. Beberapa ulama yang telah membatasi cakupan ijtihad mereka hanya kepada interpretasi literal telah menempatkan bahwa hal itu (knowledge) dimungkinkan, Ibn Ashur menambahkan, memproyeksikan sebuah opini personal kedalam kata-kata nash dan jatuh pada kesalahan, menyebabkan mereka berada diluar garis dengan spirit umum dan tujuan dari bukti-bukti yang ada. Ini dapat diilustrasikan terhadap pandangan berbeda para ulama tentang komoditas zakat seperti gandum dan kurma harus diberikan setimpal atau juga dapat dikonversikan dengan equivalen uang. Hanafi berpendapat bahwa pembayaran zakat melalui konversi kepada uang boleh dilakukan dan sah tetapi Imam Syafi’i sebaliknya. Pandangan Hanafi ditemukan dalam analisis bahwa tujuan zakat adalah untuk memuaskan kebutuhan orang miskin dan ini dapat dicapai ketika diberikan dalam bentuk moneter yang equivalen dengan komoditi. Ibn Qayim al-Jauziyyah juga telah memperhatikan berkaitan dengan zakat fitrah yang disana ada hadist-hadist yang mengacu kadang-kadang zakat fitri itu berupa kurma, kadang lain berupa kismis atau biji makanan, semua ini adalah makanan pokok ketika itu di Madinah dan lingkungan sekitarnya.
Tujuan umum dari semua ini adalah untuk memuaskan kebutuhan orang miskin daripada membatasi pembayarannya dalam komoditi yang terikat. Contoh yang lain dari ini adalah, Imam Maliki (w.179/795) ketika ditanya seseorang yang membayar zakat dimuka (sebelum waktunya, haul), apakah itu merupakan utama/prioritas terhadap haul–artinya ketika ia membayar zakat dimuka, maka pada saat akhir tahun ia harus bayar lagi –.Imam Malik menjawabnya dengan qiyas penunaian shalat. Jika seseorang melakukan shalat sebelum waktunya, dia harus mengulanginya lagi pada waktu yang tepat. Namun, pengikut Madzhab Maliki seperti Ibn al-Arabi (w. 543/1148) dan Ibn Rusyd (w.529/1126) telah merubah pendapat ini dan menyatakan bahwa zakat yang dikeluarkan sebelum waktunya dibolehkan. Mereka telah membedakan antara shalat dan zakat dalam bentuk batasan waktu kepada waktu yang spesifik, dan ini tidak seperti waktu yang ditetapkan terhadap zakat. Karena itu zakat boleh dibayar lebih awal khususnya jika disiapkan oleh hanya beberapa pekan atau lebih. Abu Hanifah yang sering dikritisi oleh Ahl al-Hadist yang mengangkat dalam kesempatan dari kata-kata hadist sebagai alternatif aturan. Tetapi dalam waktu yang dekat membuat Abu Hanifah menjadi jelas bahwa ia telah melakukan hanya ketika telah mencapai kesimpulan yang berbeda melalui pemahaman hadist yang mempunyai hubungan dengan relevansi kenyataan dalam Al-qur’an dan as-Sunnah.
Patut dicatat bahwa dalam kesempatan-kesempatan mujahid dan hakim telah mengeluarkan keputusan dalam memutuskan sesuatu perkara, yang kalau diteliti lebih jauh ditemukan ketidakharmonisan dengan tujuan dan sasaran syari’ah. Contoh dari sifat ini dapat ditemukan kontrak yang terjadi diantara dua pihak yang ditandai dan dibuat ikatan, tetapi selanjutnya terjadi ketidakadilan yang menimpa satu pihak karena beberapa perubahan yang tak diharapkan dalam lingkungannya. Dalam hal ini hakim dan mujahid dapat mengabaikan dengan keras perubahan-perubahan berikutnya dan menuntut kewajiban dari salah satu pihak yang melenceng dari kesepakatan awal kontrak. Bagi sebuah kontrak, bukan melamakan suatu jangka waktu kontak yang merusak akan tetapi cukup dilihat apakah kontrak itu terbukti menjadi sebuah instrumen ketidakadilan. Sebuah kontrak harus dijaga dan berkeadilan, dimana tujuan maqasid al-syariah dari Pemberi Hukum harus diberikan prioritas diatas pertimbangan kesesuaian terhadap kontrak yang tak dapat dipertahankan. Tanpa mendapatkan kejelasan, akan muncul konflik antara tujuan-tujuan syari’ah yang dikesampingkan dan juga aturan-aturan yang terpisah yang dapat hadir dengan rujukan kepada aturan-aturan qiyas (analogi). Ketaatan yang kaku kepada qiyas dalam beberapa kasus mungkin membawa hasil ketidakpuasan, oleh karena itu jalan yang lain yang diambil mungkin istihsan agar mencapai sebuah aturan alternatif yang harmonis dengan tujuan syari’ah.
Segi yang lain yang penting untuk ijtihad adalah perhatian seorang mujtahid harus diarahkan kepada hasil akhir dan konsekwensi aturannya. Bagi sebuah fatwa atau ijtihad akan menjadi tidak baik jika fatwa gagal untuk merenungkan konsekwensi (ma’alat) yang dimilikinya. Kita mencatat dalam contoh sunnah Nabi saw, dimana Beliau sering memperhatikan konsekwensi dari aturan yang dikeluarkannya berkaitan dengan pertimbangan lainnya. Untuk contoh, ada kasus dimana Nabi telah mengetahui tentang aktivitas subversif yang dilakukan oleh orang Munafik (Abdullah bin Ubay), tetapi beliau tidak menghukumnya karena berbagai alasan, sebagaimana Beliau nyatakan bahwa Ia takut dikatakan membunuh sahabatnya sendiri. Nabi Muhammad saw juga menghindari untuk merubah posisi atau letak Ka’bah kepada posisi asli seperti yang telah diletakan oleh Nabi Ibrahim. Sebagaimana diketahui orang-orang Arab sebelum datangnya Islam telah jelas memindahkan letak Ka’bah dari posisi aslinya, kemudian A’isyah menyarankan Nabi untuk memperbaiki Ka’bah kepada posisi aslinya, lalu Nabi merespon bahwa Ia akan melakukan itu jika Ia tidak takut akan menyebabkan penduduk Mekah masuk kedalam ketidakkepercayaannya. Dalam dua kasus itu, Nabi Muahammad saw tidak mengambil apa yang ia pikirkan untuk menormalkan jalan kembali, yaitu membunuh orang munafik dan memindahkan Ka’bah, karena konsekwensi sebaliknya yang akan didapatkan jika dilakukan.
Jalan normal dalam konteks kejahatan dan tindakan kriminal adalah tentu mengaplikasikan hukuman apapun penyebab dan kesempatan untuk itu adalah saat itu juga. Akan tetapi, bagaimanapun ada kasus dimana permintaan ma’af orang yang berdosa akan memunculkan sebuah tindakan yang lebih disukai, hakim atau mujahid harus menaruh perhatian yang besar dalam hal ini dan keputusan tergantung pada orang yang dimintai ma’af. Shatibi telah menggambarkan, dalam hubungan ini, sebuah perbedaan tak kentara antara penyebab (‘illah) yang normal yang meminta dengan tenang sebuah aturan khusus pada masalah yang diberikan dan apa yang dia artikan sebagai verifikasi dari ‘illah yang khusus (tahqiq al-manat al-khaas) dalam mengeluarkan judgement dan ijtihad. Mujahid boleh menginvestigasikan ‘illah yang normal dan mengidentifikasikannya dalam masalah itu, contohnya, seorang yang miskin yang memenuhi syarat menjadi mustahik, dan juga acuan yang dipegang dari kejujuran dalam bersaksi, tetapi seperti penyelidikan mungkin mengambil jalan yang berbeda ketika itu dihubungkan kepada individu yang khusus mengenai apa yang mungkin cocok/pantas dan yang tidak cocok diaplikasikan dalam kasus khusus tadi. Oleh karena itu, mujahid perlu, untuk dipelajari tidak hanya hukum dan bukti khusus yang nyata tetapi juga mempunyai kecerdasan dan wawasan untuk memberikan judgment yang diterangkan baik dengan konsekwensi-konsekwensi seluruhnya dan keadaan khusus dari setiap kasus.
Kesimpulan
Tidak diragukan lagi, bahwa maqasid al-syariah adalah akar dalam perintah tekstual Al-qur’an dan as-Sunnah, tetapi mereka melihat secara utama pada philosophi umum dan tujuan perintah ini sering melebihi bidang keahlian (the speciality) dari teks itu. Fokusnya tidak banyak pada kata-kata dan kalimat dari nash itu sebagaimana dalam tujuan dan maksud yang disarankan dan ditegakan. Dengan perbandingan terhadap teori yang sah dari sumber-sumber, ushul fiqh, maqasid al-syariah tidak dibebaskan dengan dasar-dasar metodologi dan pemahaman para literalis dari suatu nash.
Karena maqasid al-syariah terintegrasikan derajat versatility (kepandaian yang beraneka ragam) dan ke-komprehensif–an kedalam pemahaman syari’ah yang itu, dalam banyak cara, unik dan muncul diatas permukaan seiring dengan pergantian waktu dan keadan lingkungan. Pada saat, ketika beberapa doktrin penting ushul fiqh seperti ijma (general consensus), qiyas (analogical reason) dan bahkan ijtihad dibebani dengan kondisi-kondisi yang sulit, kondisi yang mungkin berdiri dengan sebuah ukuran ketidakharmonisan dengan iklim sosial-politik yang berlaku pada negara-negara Muslim sekarang ini dan akses yang tepat sekali untuk syari’ah. Hal ini secara alami berarti memahami outline yang luas dari sebuah objektif syari’ah pada tempat pertama sebelum seseorang bergerak kepada kekhususan. Pengetahuan yang cukup dari maqasid al-syariah melengkapi kajian-kajian syari’ah dengan pandangan dan menyediakannya dengan sebuah kerangka teorikal yang mana berusaha untuk memenuhi pengetahuan yang terperinci dari doktrin yang bermacam-macam yang dapat menjadi lebih tertarik dan berarti
MAQASID SYARIAH
1. Pengertian Maqasid Syari’ah
Maqasid syari’ah berarti tujuan Allah dan Rasulnya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rosulullah sebagai alasan logis bagi rumusan, suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.
Menurut al-Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan kebutuhan:[1]
1. Kebutuhan Dharuriyat
Ialah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akherat kelak.
Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, kehormatan, keturunan serta harta.
2. Kebutuhan Hajiyat ialah kebutuhan-kebutuhan sekunder dimana bila tak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syari’at Islam menghilangkan segala kesulitan itu.
3. Kebutuhan Tahsiniyat ialah tingkat kebutuhan yang apabuila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok diatas dan tida pula menimbulkan kesulitan. Tingkat ini berupa kebutuhan pelengkap. Menurut al-Syatibi hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak.
Peranan maqasid syari’ah dalam pengembangan hukum.[2] Pengetahuan tentang maqasid syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd-Alwahhab Khalaf, adalah hak sangat penting yang dapat dijadikan alat abntu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan sunnah menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak bertampung oleh Al-Qur’an dan sunah secara kajian kebahasan.
2. Macam – Macam Maqasid Syari’ah
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’kan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu :
- Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam penghidupan mereka. Urusan-urusan yang dharuri itu ialah segala yang diperlukan untuk hidup manusia, yang apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan, timbullah kekacauan, dan berkembangnya kerusakan.
Urusan-urusan yang dharuri itu kembali pada lima pokok :
- Agama
- Jiwa
- Akal
- Keturunan
- Harta
- Menyempurnakan segala yang dihayati manusia.
Urusan yang dihayati manusia ialah segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk memudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif dan beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh, tidak merusak peraturan hidup dan tidak menimbulkan kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.
- Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat.
Ialah segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh tidaklah cidera peraturan hidup dan tidak pula ditimpa kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh akal yang kuat dan fitrah yang sejahtera. Urusan-urusan yang mewujudkan keindahan ini dalam arti kembali kepada soal akhlak dan adat istiadat yang bagus dan segala sesuatu untuk mencapai keseragaman hidup melalui jalan-jalan yang utama.
3. Tingkatan Maqasidus Syari’ah [3]
Urusan dharuri merupakan sepenting-pentingnya maksud, karena apabila urusan-urusan dharuri itu ridak diperoleh akan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan, menghilangkan keamanan dan merajalelalah keganasan. Dalam padi itu, tidak dipelihara hukum yang bersifat mewujudkan keindahan apabila mencederakan suatu dalam memeliharanya mencederakan hukum dharuri. Karena itu boleh kita membuka aurat untuk keperluan berobat. Menutup aurat merupakan urusan yang mengindahkan, sedangkan berobat suatu urusan dharuri. Boleh kita makan najis untuk obat dan dalam keadaan terpaksa. Tidak boleh makan (memegang) najis adalah urusan yang mengindahkan sedangkan menolak kemudharatan adalah urusan dharuri.[4]
Wajib kita mengerjakan segala yang wajib walaupun menimbulkan sedikit kesukaran, karena wajib kita termasuk golongan dharuri. Sedangkan urusan menolak kesukaran dan kepicikan merupakan urusan tahsini yang mengindhkan. Karena itu tidaklah dipelihara urusan yang mengindahkan, mendatangkan kesewenangan, apabila merusak dharuri. Segala hukum dharuri ridak boleh dicederakan, terkecuali kalau suatu dharuri yang lebih penting dari padanya.
Atas dasar inilah kita diwajibkan berjihad untuk memeliharanya sebab memelihara agama adalah lebih penting dari pada memelihara jiwa. Meminum arak dibolehkan, terhadap orang yang dipaksa atau karena terpaksa, karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara akal. Apabila perlu untuk memelihara jiwa, kita boleh membinasakan harta orang karena memelihara jiwa lebih penting dari pada memelihara harta



Ta'arudu al-'Adillah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mempelajari suatu hukum atau ketika kita mengambil suatu keputusan dalam menetapkan hukum, seringkali kita akan menemukan dalil-dalil Al-Qur’an atau Hadits yang saling bertentangan satu dengan yang lain.
Ta’arudh al-Adilah (dalil-dalil yang bertentangan) sering kali membuat kita bingung dalam menetapkan suatu hukum, dan untuk memahami hal tersebut kita harus punya dasar dalam penetapan hukum.
Mengambil suatu ketetapan hukum yang berdasarkan dalil Al-Qur’an ataupun hadist yang bertentangan, maka ada beberapa cara, yaitu; Al-jam’u wa al-Taufiq, Nasakh-Mansukh dan Tarjih.
Banyak orang islam yang menjalankan amal ibadah itu karena factor taqlid (ikut-ikutan), bukan berdasarkan ilmu yang ia ketahui. Untuk mengatasi hal tersebut maka judul ini dirasa penting untuk diangkat, dalam rangka menyiapkan umat islam yang beramal berdasarkan ilmu.
Maka dalam makalah ini, kami akan menjelaskan tentang dalil-dalil yang bertentangan dan cara penyelesaiannya berikut contoh-contohnya.

B. Ruang Lingkup Pembahasan
Agar pembahasan didalam makalah kami mudah difahami, maka kami membatasi pembahasan dalam makalah kami, yaitu :
A. Pengertian Ta’arud Al-Adillah
B. Cara Penyelesaian pada Ta’arud Al-Adillah
1) Menurut Hanafiyah
2) Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
C. Beberapa Contoh Ta’arud Al-Adillah
C. Tujuan Pembahasan
A. Ingin menjelaskan pengertian dari Ta’arud Al-Adillah
B. Untuk menjelaskan cara penyelesaian pada Ta’arud Al-Adillah
a. Cara penyelesaian Ta’arud Al-Adillah menurut Hanafiyah
b. Cara penyelesaian Ta’arud Al-Adillah menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
C. Ingin menunjukan beberapa contoh Ta’arud Al-Adillah

BAB II
PEMBAHASAN
الأدلة التعارض
A. Pengertian Ta’arud Al-Adillah
Secara bahasa kata ( التعارض ) berarti pertentangan dan lafadz (الأدلة) merupakan jama’ dari lafadz (الدليل ) yang berarti alasan, argument dan dalil. Persoalan ta’arud al-adillah dibahas para ulama dalam ilmu ushul fikih, ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainya pada derajat yang sama.
Sedangkan kalau Menurut istilah, banyak sekali para ulama’-ulama’ yang mendefinisikan tentang arti taarud al-adilah sendiri. Diantaranya yang dikemukakan oleh :
1. Imam al-Syakani, mendefinisikanya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.” (ada pertentangan dua dalil yang berbeda).
2. Kamal ibn al-Humam (790 – 861 h/1387 – 1456 m) dan al-Taftahzani (792 h), keduanya ahli fikih hanafi, mendefinisikanya dengan “pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya”
3. Ali Hasaballah (ahli ushul fikih kontemporer dari mesir) mendefinisikan dengan “ terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukun yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut dalam satu derajat”
Pengertian satu derajat / derajad yang sama adalah antara ayat dengan ayat, atau antara hadis dengan hadis.
Contoh pertentangan dalam ayat al-qur’an adalah ketentuan tentang iddah wanita karena kematian suami.
Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 234, menyatakan bahwa iddah wanita-wanita yang ditinggal mati oleh suaminya adalah 4 bulan 10 hari, ayat ini tidak membedakan wanita itu hamil atau tidak. Secara umum, Allah menyatakan bahwa apabila seorang wanita ditinggal mati suaminya maka iddahnya 4 bulan 10 hari. Dalam surat at-thalaq ayat 1, Allah menyatakan bahwa masa iddah wanita hamil adalah sampai melahirkan anaknya. Ayat ini juga tidak membedakan antara cerai hidup (talaq) atau cerai mati (kematian suami). Secara umum ayat ini mengandung pengertian bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati, iddahnya adalah sampai melahirkan. Dengan demikian, terdapat pertentangan kandungan kedua ayat tersebut tentang masa iddah wanita hamil karena kematian suami.
Contoh lain dari hadis Rasulullah SAW, adalah dalam masalah riba. Dalam sebuah sabda Rasulullah dinyatakan bahwa ( النسيئة فى إلا ربا لا) “la riba illa fin nasi’ati.” HR. Bukhori wa Muslim. yang artinya “tidak ada riba kecuali riba nasi’ah (riba yang muncul dari utang piutang).”
Hadis ini meniadakan bentuk riba selain riba nasi’ah, yaitu yang berawal dari pinjaman uang. Dengan demikian, riba al-fad (riba yang muncul akibat dari transaksi, baik jual beli maupun transaksi lainya) tidaklah haram. Akan tetapi, dalam hadis lain Rasulullah bersabda :
(بمثل مثلا إلا بالبر البر تبيع لا) HR. Al-Bukhori, Muslim dan Ahmad ibn Hambal. yang artinya “jangan kamu menjual gadum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama”
Hadis ini mengandung hukum bahwa riba al-fad diharamkan. Kedua hadis tersebut mengandung pertentangan hukum islam dalam masalah riba al-fad. Hadis pertama membolehkanya sedangkan hadis yang kedua mengharamkanya.
Menurut wahbah al-zuhaili, pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis dan kekuatan logikanya, bukan pertentangan actual, karena tidak mungkin terjadi bila Allah atau RasulNya menurunkan aturan-aturan yang saling bertentangan. Oleh sebab itu, menurut imam Al-Syatibi pertentangan itu bersifat semu, bisa terjadi dalam dalil yang Qath’i (pasti benar) dan dalil yang Zhanni (relative benar) selama dua dalil itu sederajat. Apabila pertentangan antara kualitas dalil yang berbeda, seperti pertentangan antara dalil Qath’i dengan dalil yang Zhanni, maka yang diambil adalah dalil yang Qath’i, atau apabila yang bertentangan itu adalah ayat Al-Qur’an dengan hadis ahad (hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau tiga orang atau lebih yang tidak sampai tingkat mutawatir) maka dalil yang diambil adalah Al-Qur’an, karena dari segi periwayatanya ayat-ayat Al-Qur’an bersifat Qath’i, sedangkan hadis Ahad bersifat Zhanni.
Di samping itu menurut Wahbah Al-Zuhaili, pertentangan tidak mungkin muncul dari daliil yang bersifat Fi;liyah (perbuatan), misalnya dalil yang menunjukan Rasul berpuasa pada hari tertentu, kemudian ada dalil yang menyatakan bahwa pada hari itu juga Rasul tidak berpuasa.
B. Macam-Macam Cara Penyelesaian Ta’arud Al-Adillah
Apabila seseorang mujtahid menemukan dua dalil yang bertentangan, maka ia dapat menggunakan dua cara untuk berusaha untuk menyelesaikan –nya. Kedua cara itu, dikemukakan masing-masing oleh ulama Hanafiyah dan ulama Syafi’iyah.
1) Menurut Hanafiyah
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengemukakan metode penyelesaian antara dua dalil yang bertentangan tersebut dengan cara :
a. Nasakh
Nasakh ( النسخ ) adalah membatalkan hukum yang ada didasarkan dengan adanya daliil yang datang kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum yang pertama. Dalam hubungan ini, seorang mujtahid harus berusaha untuk mencari sejarah munculnya kedua daliil tersebut. Apabila dalam pelacakanya ditemukan bahwa satu dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainya maka yang diambil adalah dalil yang datang kemudian.
b. Tarjih
Tarjih ( الترجيح ) adalah menguatkan salah satu dalil diantara dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukungnya. Apabila masa turunya atau datangnya tidak diketahui maka seorang mujtahid bisa melakukan tarjih terhadap satu dalil tersebut dengan mengemukakan alas an-alasan lain yang membuat dalil tersebut kuat. Tarjih bisa dilakukan dari tiga sisi yaitu :
 Dari segi penunjuk kandungan lafal suati nash. Contohnya mengu-atkanØ nash yang muhkam (hukumnya pasti) dan tidak bisa di-nasakh-kan (dibatalkan) dari musafar (hukumnya pasti tapi masih bisa di-nasakh-kan).
 Dari segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil yangØ mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh/mubah.
 Dari sisi keadilan periwayat suatu hadis.Ø
c. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Al-Jam’u wa Al-Taufiq ( والتوفيق الجمع ) yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengompromikanya. Dengan demikian hasil kompromi dalil inilah yang diambil hukumnya, karena kaidah fikih mengatakan “mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada mengabaikan dalil yang lain” misalnya :
والدم الميتة عليكم حرمت (QS. al-Maidah ayat 3) dalam ayat ini diterangkan bahwa darah tidak dibedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku, seperti hati.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
مسفوحا دما أو ميتة يكون أن إلا…. (QS. Al-An’am ayat 145)
Didalam ayat ini mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir. Dengan demikian darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat 3 dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An’am ayat 145. Jadi pengompromian antara dalil-dalil yang secara lahiriyah bertentangan dapat diselesaikan.
d. Tasaqut Al-Dalilain
Tasaqut Al-Dalilain ( الدليلين تساقط ) yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Dalam artian seorang mujtahid harus merujuk kepada dalil yang derajatnya dibawah dalil yang bertentangan tersebut.
Seorang mujtahid menurut ulama Hanafiyah, hanya diperbolehkan memilih dalil yang kualitasnya rendah apabila ia telah melakukan upaya maksimal dalam melacak dalil yang kualitasnya lebih tinggi. Penggunaan metode penyelesaian dua dalil yang bertentangan diatas, harus dilakukan secara berurutan dari cara pertama sampai dengan cara keempat.
2) Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang kontradiksi, menurut ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah adalah sebagai berikut :
a. Al-Jam’u wa Al-Taufiq
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah ( والتوفيق الجمع ) yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian mengompromikanya walaupun hanya dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqih “mengamalkan kedua dalil lebih baik dari pada mengabaikan dalil yang lain” mengamalkan kedua dalil sekalipun dari satu segi, menurut mereka dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1. Apabila hukum yang kontradiksi itu bisa dibagi, maka lakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya.
2. Apabila hukum yang kontradiksi itu suatu yang terbilang, seperti sabda rasulullah SAW “la sholata lijaril masjid illa fil masjid” artinya “tidak (dinamakan) sholat bagi tetangga masjid kecuali di masjid” HR Abu Dawud dan Ahmad ibn Hambal. Maka cara penyelesaianya adalah ;
Dalam hadis tersebut ada kata “la” yang dalam ushul fikih mempunyai pengertian banyak, yaitu berarti “tidak sah” bisa berarti “tidak sempurna” dan bisa juga berarti “tidak utama”. Oleh karena itu mujtahid boleh memilih satu pengertian mana saja, asal didukung oleh dalil lain.
3. Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, seperti kasus iddah yang mana pada surat al-Baqarah ayat 234 bersifat umum dan pada surat al-Thalaq bersifat khusus, maka dari satu sisi iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat al-Thalaq.
b. Tarjih
Apabila pengompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka mujtahid boleh menggunakan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Tata cara Tarjih bisa ditempuh dengan berbagai cara, umpamanya dengan menarjih yang perawinya sedikit, bisa juga melalui penarjihan sanad (para penurut hadis), bisa juga melalui penarjihan dari sisi matan (lafal hadis), atau ditarjih berdasarkan indikasi lain di luar nash.
c. Nasakh
Apabila dengan cara tarjih, kedua dalil tersebut masih belum bisa diamalkan, maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat mengetahui dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan. Seperti sabda Rasulullah SAW “Dahulu saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahilah”.
d. Tasaqut Al-Dalilain
Apabila cara ketiga masih belum bisa ditempuh, maka mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang kontradiksi tersebut.
Menurut Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah, keempat cara tersebut harus ditempuh oleh mujtahid dalam menyelesaikan dua dalil yang kontradiksi harus secara berurutan.
C. Beberapa Contoh Ta’arud Al-Adilah
- Pada kasus iddah
( ruãt³ôŽZ# &r­ôkå9 &rö/tèyps /Î'rRÿà¡ÅgÎ`£ ƒtItŽu/­Áó`z &røruº`[% ruƒtxârbt BÏZ3äNö ƒãFtquù©qöbt ru#$!©%Ïïût
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari” (QS, Al-Baqarah : 234)
Ayat ini memberikan petunjuk bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya, iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, baik wanita itu hamil maupun tidak. Namun kalau dilihat dalam firman Allah SWT pada surat lain :
ÈÍÇ ............. 4 qxH÷=ngß`£ ƒtÒŸè÷`z &rb &r_y=ègß`£ #${Fq÷Hu$AÉ ru&ér'9s»Mà
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (QS. Al-Thalaq : 4)
Ayat ini memberikan petunjuk setiap perempuan yang hamil yang suaminya meninggal atau diceraikan suaminya, sedangkan mereka dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai wanita tersebut melahirkan.
Menurut Menurut Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Zhahiriyah, Solusinya adalah ( والتوفيق الجمع ). Yang mana pada surat al-Baqarah ayat 234 bersifat umum dan pada surat al-Thalaq bersifat khusus, maka dari satu sisi iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat al-Thalaq.
- Pada kasus darah
 ..................ru#$!$¤Pã #$9øJyŠøGtpè æt=nø3äNã mãhÌBtMô ÈÌÇ!
dalam ayat ini (QS. al-Maidah : 3) diterangkan bahwa darah itu hukumnya haram, dan di ayat ini darah tidak dibedakan antara darah yang mengalir dalam tubuh dengan darah yang sudah beku, seperti hati.
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
ÈÎÍÊÇ ............................ B¡óÿàqn% ŠyBY$ &rr÷ BtŠøGtpº ƒt3äqcš &rb )ÎwH
Didalam ayat ini (QS. Al-An’am :145) mengandung hukum bahwa darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir.
Dengan demikian darah yang diharamkan secara mutlak dalam surat al-Maidah ayat 3 dibatasi dengan darah yang mengalir dalam surat al-An’am ayat 145. Jadi pengompromian antara dalil-dalil yang secara lahiriyah bertentangan dapat diselesaikan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan pada Bab II, sekiranya dapat di ambil kesimpulan bahwa definisi Ta’arudh Al’adillah Secara etimologi ta’arudh adalah pertentangan. Sedangkan adilah adalah jamak dari dalil yang berarti alasan, argument dan dalil. Sedangkan secara terminologi adalah;
1. Imam al-Syakani, mendefinisikanya dengan “suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.” (ada pertentangan dua dalil yang berbeda).
2. Kamal ibn al-Humam (790 – 861 h/1387 – 1456 m) dan al-Taftahzani (792 h), keduanya ahli fikih hanafi, mendefinisikanya dengan “pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan pengompromian antara keduanya”
3. Ali Hasaballah (ahli ushul fikih kontemporer dari mesir) mendefinisikan dengan “ terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukun yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut dalam satu derajat”
Adapuan cara penyelesaian Ta’audh Al-adillah. Menurut Hanafiyah :
a) Nasakh.
b) Tarjih.
c) Al-jam’u wa a’Taufiq
d) Tasaqut Al-Dalilain
Sedangkan menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zahiriyah :
a) Al-jam’u wa a’Taufiq
b) Nasakh.
c) Tarjih.
d) Tasaqut Al-Dalilain
B. KRITIK & SARAN
Apabila ada suatu dalil yang bertentangan kita tidak usah bingung apalagi meninggalkanya, setiap dalil yang bertentangan pasti ada jalan penyelesaiannya seperti yang telah dijelaskan diatas. Terimakasih…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar