Definisi Illat
Illat menurut Taqiyuddin An Nabhani adalah suatu
perkara yang karenanya suatu hukum disyariatkan (asy syai`u alladzi min ajlihi
wujida al hukmu). Atau dengan kata lain, illat adalah suatu perkara yang
menjadi motif/latar belakang penetapan (pensyariatan) suatu hukum (al amru al
baa’itsu ala al hukm). Illat disebut juga ma’quul al nash,
dalam arti illat itulah yang menjadikan akal menghukumi masalah cabang dengan
hukum yang ada pada masalah pokok, karena masalah pokok dan masalah cabang
mempunyai illat yang sama.
Illat merupakan jawaban dari pertanyaan mengapa
suatu hukum disyariatkan. Jawaban inilah yang oleh para ulama ushul disebut
dengan istilah washfun munasibun, yaitu sifat (makna) yang
sesuai yang menjadi latar belakang penetapan hukum, atau washfum mufhamun,
suatu sifat (makna) yang dapat dipahami sebagai latar belakang penetapan hukum.
Sifat (makna) ini harus sedemikian rupa sehingga memberikan pengaruh (atsar)
pada hukum. Jika tidak memberi pengaruh hukum, maka sifat itu bukanlah illat.
Misalnya sabda Nabi SAW :
“Tidaklah seorang hakim memberikan keputusan
hukum sedangkan dia sedang marah.”
Hadits ini menetapkan keharaman atas seorang
hakim (qadhi) untuk mengadili perkara jika hakim tersebut sedang marah. Illat
keharamannya adalah kemarahan (al ghadhab), sebab kemarahan dapat mengacaukan
konsentrasi pikiran. Kemarahan ini merupakan sifat yang sesuai (washfun
munasibun) untuk menjadi illat haramnya hakim mengadili perkara ketika hakim
sedang marah. Adapun sifat lain dari hakim, misalnya berbadan tinggi atau
berkulit hitam, bukanlah sifat yang yang berpengaruh terhadap hukum. Karena
itu, sifat seorang hakim yang berbadan tinggi atau berkulit hitam, tidak dapat
menjadi illat keharaman memutuskan perkara.
Kemudian perlu dipahami pula bahwa illat berbeda
dengan sebab (as sabab), karena illat merupakan motif penetapan
hukum (sabab tasyri’ al hukm), sedang sebab merupakan tanda pelaksanaan hukum
dalam kenyataan (sabab wujud al hukm). Jadi kedudukan illat sebenarnya
sederajat dengan dalil suatu hukum syara’, yaitu illat itu ada sebelum
atau bersamaan dengan hukum. Kedudukan illat adalah seperti halnya
nash yang mendasari suatu hukum. Sedang kedudukan sebab terletak setelah
penyariatan hukum, dan menjadi tanda bagi pelaksanaan hukum dalam kenyataan.
Misalnya munculnya hilal dan ru`yatul hilal, adalah sebab dari pelaksanaan
shaum Ramadhan, sesuai sabda Nabi SAW :
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal
(bulan sabit).”
Munculnya hilal dan ru`yatul hilal, berdasarkan
hadits ini, dikatakan sebagai sebab pelaksanaan puasa Ramadhan, bukan illat
puasa Ramadhan. Ini dikarenakan dalil pensyariatan puasa Ramadhan bukanlah
hadits Rasulullah tersebut, melainkan nash-nash yang lain, yang merupakan dalil
penetapan adanya kewajiban puasa Ramadhan, misalnya firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa…” (QS Al Baqarah : 183)
Jadi, sebab berbeda dengan illat,
karena illat adalah latar belakang penetapan hukum, yang kedudukannya terletak
sebelum hukum disyariatkan. Misalnya illat melalaikan orang dari shalat Jumat,
yang mendasari keharaman jual beli saat adzan Jumat, yang diistinbath dari QS
Al Jumuah ayat 9.
$pkr’¯»t tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä #sÎ) ÏqçR Ío4qn=¢Á=Ï9 `ÏB ÏQöqt ÏpyèßJàfø9$# (#öqyèó$$sù
4n<Î) Ìø.Ï «!$# (#râsur yìøt7ø9$# 4 öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 bÎ)
óOçGYä. tbqßJn=÷ès? ÇÒÈ
Illat ini menjadi alasan mengapa disyariatkan
hukum haramnya jual beli pada saat adzan Jumat dikumandangkan.
Illat juga tidak sama dengan hikmah.
Dalam pandangan Taqiyuddin An Nabhani, hikmah adalah hasil (natijah) atau
tujuan (ghayah) atau akibat (‘aqibah) dari penerapan hukum syara’. Ini berbeda
dengan illat, sebab illat adalah motif/latar belakang (al baa’its/al daafi’)
penetapan hukum. Misalnya firman Allah :
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan)
keji dan mungkar.” (QS Al Ankabuut : 45)
Ayat ini menunjukkan bahwa mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar adalah hikmah shalat, bukan illat shalat. Hikmah
tersebut akan mungkin terwujud setelah shalat ditunaikan. Hal ini berbeda
dengan illat, sebab kedudukan illat sama dengan nash, yaitu ada sebelum adanya
hukum, bukan sesudah adanya hukum sebagaimana halnya hikmah.
Illat juga kadang dirancukan dengan
istilah manath, padahal illat dan manath tidak sama. Menurut
Taqiyuddin An Nabhani, illat termasuk pembahasan syar’i yang wajib didasarkan
pada dalil syar’i. Sedangkan manath adalah pembahasan yang non syar’i, yang
tidak bersangkut paut dengan nash-nash syar’i. Manath adalah fakta yang
kepadanya suatu hukum syara’ akan diterapkan (al waqi’ alladzi yuthabbaqu
‘alayhi al hukm). Sedang istilah tahqiq al manath, artinya adalah
pemeriksaan/pengkajian fakta/realitas yang akan menjadi sasaran penerapan
hukum. Jika kita katakan bahwa khamr itu haram, maka keharaman khamr adalah
hukum syara’. Meneliti apakah suatu minuman termasuk khamr atau bukan, adalah
tahqiq al manath. Sedang manath-nya sendiri adalah, suatu minuman tertentu yang
sedang kita teliti.
Hal ini berbeda dengan illat dan juga tahqiq
al illat, sebab illat adalah adalah suatu perkara yang melatarbelakangi
pensyariatan hukum, dan tahqiq al illat adalah kajian terhadap latar belakang
penetapan hukum. Kegiatan tahqiq al illat berobjek nash-nash syara’ untuk
menentukan apakah suatu nash mengandung illat atau tidak misalnya, misalnya
menelaah apakah ada illat pada firman Allah SWT :
“…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
oarang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS Al Hasyr : 7)
Macam-Macam Illat
Menurut Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Asy
Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz III hal. 343, berdasarkan istiqra` (penelaahan
induktif) terhadap nash-nash syara’ dalam Al Qur`an dan As Sunnah, terdapat 4
(empat) macam illat yang tergolong dalam illat syar’iyah, yaitu illat sharahah,
illat dalalah, illat istinbath, dan illat qiyas. Pembagian illat menjadi empat
macam ini didasarkan pada aspek metode diperolehnya illat dari nash-nash syara’
yang ada.
Illat Sharahah
Illat sharahah adalah illat yang terdapat dalam
nash yang secara sharahah (jelas) menunjukkan adanya illat. Illat sharahah ini
ciri utamanya adalah digunakannya lafazh-lafazh tertentu yang dalam bahasa
Arab, menunjukkan adanya illat (li at ta’lil). Illat sharahah ini ada dua macam
:
Pertama, menggunakan secara jelas
lafazh li ajli atau min ajli (berarti :
karena), dan semisalnya. Misalnya, sabda Nabi SAW :
“Dahulu aku melarang kalian menyimpan
daging-daging kurban karena untuk memberi makan orang-orang Baduwi yang datang
berombongan lagi membutuhkan. [Sekarang] simpanlah daging-daging kurban itu ”
Hukum yang terdapat dalam hadits ini adalah larangan
menyimpan daging kurban karena illat tertentu (yaitu illat sharahah), yang
terdapat pada kalimat li ajli ad daafah,
yaitu daging kurban supaya dapat diberikan kepada rombongan orang Baduwi yang
berkeliling dan membutuhkan daging.
Kedua, menggunakan secara jelas
huruf-huruf ta’lil (huruf yang menunjukkan illat), seperti kay, laam,
ba`, dan inna. Yang menggunakan kay (berarti : agar/supaya), misalnya
firman Allah SWT :
“…supaya harta itu jangan hanya beredar di
antara oarang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS Al Hasyr : 7)
Ayat ini menjelaskan bahwa pemberian fai` Bani
Nadhir oleh Rasulullah kepada kaum Muhajirin saja, tidak termasuk kaum Anshar,
dikarenakan illat tertentu (berupa illat sharahah), yakni agar harta tidak
beredar di antara orang kaya saja, tetapi bergulir kepada selain orang kaya.
Yang menggunakan laam (dibaca li, berarti karena) misalnya firman Allah SWT :
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan
terhadap isterinya (menceraikannya) Kami kawinkan kamu (Muhammad) dengan dengan
dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu`min untuk (mengawini)
isteri-isteri anak-anak angkat mereka.” (QS Al Ahzab : 37)
Ayat ini mengandung illat dikawinkannya
Rasulullah SAW dengan Zainab yang telah dicerai oleh Zaid, yaitu supaya kaum
mukminin tidak merasa berat hati untuk mengawini bekas isteri dari anak-anak
angkat mereka.
Yang menggunakan ba` (dibaca bi, berarti
karena/sebab) misalnya firman Allah SWT :
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembuit terhadap mereka.“ (QS Ali ‘Imran : 159)
Dalam ayat ini terdapat illat sharahah dengan
huruf ba`, yakni pada kalimat fabimaa rahmatin minallah (maka disebabkan rahmat
dari Allah). Jadi illat yang menyebabkan sifat lembut pada Nabi SAW, adalah
karena adanya rahmat Allah SWT.
Yang menggunakan inna (berarti :
karena/sesungguhnya) misalnya sabda Nabi SAW :
“Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah
kubur. [Sekarang] berziarahlah kalian ke kuburan, karena ziarah kubur itu
mengingatkan akhirat.” (HR Malik, dari Anas bin Malik)
Hadits mengandung illat sharahah dengan
huruf inna, pada kalimat fainnaha tudzakkiru al akhirah (karena ziarah kubur
itu mengingatkan akhirat). Jadi illat disyaraitkannya ziarah kubur adalah untuk
mengingatkan akhirat.
Illat Dalalah
Illat dalalah adalah illat yang diambil dari
tuntutan/konsekuensi yang dipahami dari makna lafazh (madlul al lafazh).
Disebut illat dalalah, karena illat ini diperoleh dari dalalah lafazh, yaitu
makna yang ditunjukkan oleh lafazh. Illat ini tidak diambil diambil dari
lafazh-lafazh tertentu yang dalam bahasa Arab menunjukkan adanya illat (li at
ta’lil), seperti min ajli, li ajli, dan sejenisnya, tetapi diambil dari mafhum
lafazh, bukan dari manthuq lafazh. Ciri adanya illat dalalah ini ada dua :
Pertama, digunakannya
lafazh-lafazh tertentu yang menurut bahasa Arab tidak digunakan untuk
menunjukkan illat (li ta’lil) dalam ungkapan manthuqnya, tetapi dalam ungkapan
mafhumnya, menunjukkan adanya illat, misalnya fa` ta’qib (kata
fa` yang menunjukkan tertib/urutan, bermakna “maka”), dan hatta al
ghayah (kata hatta yang menunjukkan tujuan, berarti “hingga”). Yang
menggunakan fa` ta’qib misalnya :
“Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka
tanah itu menjadi miliknya.”
Konsekuensi kepemilikan tanah akibat aktivitas
menghidupkan tanah (ihya`), yang ditunjukkan oleh penggunaan fa` ta`qib (atau
fa` tasbiib), mengandung arti bahwa kegiatan menghidupkan tanah, adalah illat
bagi kepemilikan tanah.
Yang menggunakan kata hatta untuk menunjukkan
tujuan, misalnya firman Allah SWT :
“Dan jika seorang di antara orang-orang musrik
itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat
mendengar firman Allah.” (QS At Taubah : 6)
Dari ayat ini, dipahami bahwa illat
melindungi orang musyrik adalah memberikan kesempatan kepadanya untuk mendengar
firman Allah, yakni agar dakwah sampai kepadanya.
Kedua, bahwasanya ketika
nash tertentu menyebutkan hukum, disebutkan juga adanya washfum mufhamun
munasib, yaitu sifat atau makna tertentu yang dapat dipahami dan sesuai yang
menjadi illat hukum. Misalnya sabda Nabi SAW : “Pembunuh tidak berhak
mewarisi”
Hadits ini mengandung illat keluarnya seseorang
dari golongan ahli waris, yakni karena seseorang itu pembunuh (al qaatil). Kata
al qaatil ini merupakan sifat atau makna yang dapat dipahami sebagai illat
hukum. Contoh lainnya sabda Nabi SAW :
“Pada domba yang digembalakan, ada kewajiban
zakat.”
Kata as saa`imah (yang digembalakan) dalam hadits
ini merupakan illat kewajiban zakat.
Illat Istinbath
Illat istinbath adalah illat yang diistinbath
dari susunan (tarkib) nash, yang tidak disebutkan secara sharahah (sebagaimana
illat sharahah) ataupun secara dalalah (sebagaimana illat dalalah). Illat ini
dapat diambil dari satu nash atau beberapa nash. Ciri utama illat istinbath
adalah adanya keadaan tertentu di mana syara’ memerintahkan atau melarang
sesuatu. Lalu syara’ melarang apa yang diperintahkan, atau memerintahkan apa
yang dilarang, setelah keadaan tertentu itu lenyap. Dari sini dapat dipahami
bahwa keadaan tertentu tadi, adalah illat dari hukum yang ada. Misalnya illat
haramnya jual beli saat adzan Jumat, yaitu dapat melalaikan shalat Jumat, yang
diistinbath dari surat Al Jumuah ayat 9 dan 10. Dalam ayat 9 Allah SWT
berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli…” (QS Al Jumuah : 9)
Pada ayat ini Allah SWT melarang jual beli
pada kondisi tertentu, yaitu saat adzan Jumat. Lalu pada ayat berikutnya, Allah
SWT berfirman :
“Apabila telah ditunaikan shalat (jumat), maka
bertebaranlah kamu di uka bumi dan carilah karunia Allah…” (QS Al Jumuah : 10).
Pada ayat ini Allah memerintahkan bertebaran di
muka bumi dan mencari karunia Allah, atau dengan kata lain, Allah membolehkan
kembali jual beli. Kebolehan jual beli ini terkait dengan lenyapnya kondisi
tertentu yang menjadi illat larangan jual beli, yaitu pelaksanaan shalat Jumat.
Dari sini lalu diisitinbath illat larangan jual beli pada saat adzan Jumat,
yaitu melalaikan shalat Jumat. Illat ini tidak disebut secara sharahah ataupun
dalalah. Contoh lainnya adalah illat kepemilikan umum pada suatu benda, yaitu
menjadi kebutuhan orang banyak. Nabi SAW bersabda :
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga benda : air,
padang gembalaan, dan api.”
Dalam hadits ini Nabi SAW menyatakan bahwa air
adalah milik bersama, atau dengan kata lain, Nabi SAW melarang umatnya untuk
memiliki air secara individu. Namun dalam hadits lain Nabi SAW membolehkan
orang-orang di Tha`if dan Khaybar untuk memiliki air secara individu. Dari sini
lalu diistinbath illat yang melatarbelakangi mengapa air menjadi milik bersama,
yaitu karena air dibutuhkan oleh orang banyak (wujud al hajah lil jamaah). Jadi
larangan memiliki air secara individu pada hadits di atas, bukan karena zat airnya
itu sendiri, tetapi karena kondisi tertentu yang terjadi pada air, yaitu
menjadi kebutuhan orang banyak. Hal ini dibuktikan pada bolehnya orang-orang
Tha`if dan Khaybar untuk memiliki air secara individu, karena air di sana
jumlahnya mencukupi, sehingga orang banyak tidak mempunyai kebutuhan terhadap
air.
Illat Qiyas
Illat Qiyas adalah illat baru –yang diperoleh
dari illat yang lama– yang dapat diqiyaskan pada illat-illat lain. Illat Qiyas
ini hanya terwujud pada illat dalalah, dengan syarat illat dalalah ini
mempunyai washfun mufhamun, yakni sifat atau makna tertentu yang dapat dipahami
sebagai illat, yang berpengaruh terhadap hukum. Dari illat lama ini lalu
diperoleh illat baru, yang disebut illat Qiyas. Jadi illat Qiyas adalah illat
dari illat, atau dengan kata lain, illat baru yang lahir dari illat lama,
karena illat lama masih dapat dipahami mempunyai illat yang lain. Misalnya
sabda Nabi SAW :
“Tidaklah seorang hakim memberikan keputusan
hukum sedangkan dia sedang marah.”
Dalam hadits ini terdapat illat (yaitu illat
dalalah) dilarangnya hakim mengadili, yaitu keadaannya yang sedang marah.
Tetapi kemarahan (al ghadhab) ini adalah suatu washfum mufhamun, yaitu
sifat/keadaan tertentu yang dapat dimengerti sebagai illat, yang mempunyai
pengaruh pada aktivitas mengadili perkara. Sebab, dalam kondisi marah, seorang
hakim akan mengalami kekacauan pikiran dan kelabilan emosi. “Kekacauan pikiran
dan kelabilan emosi” ini merupakan illat baru, yang dihasilkan dari illat lama,
yaitu “kemarahan”. Illat baru tersebut disebut illat Qiyas, dalam arti dapat
diqiyaskan pada illat-illat lain yang bertitik temu pada sifat tertentu yang
sama, yaitu “kekacauan pikiran dan kelabilan emosi”. Illat-illat lain ini
misalnya, keadaan lapar atau sedih. Jadi dengan illat qiyas tersebut dihasilkan
hukum-hukum baru, misalnya larangan mengadili perkara bagi hakim yang sedang
kelaparan, atau sedang mengalami kesedihan.
Penutup
Pembahasan tentang illat-illat Qiyas ini
sesungguhnya pembahasan yang sangat mendalam dan canggih, yang tidak cukup
diuraikan dalam tulisan yang singkat dan terbatas ini. Karena itu, kendatipun
Qiyas sangat urgen untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak disinggung dalam
nash Al Kitab ataupun As Sunnah, Qiyas tidak boleh dilakukan secara sembarangan
dan sembrono. Maka, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menegaskan, bahwa Qiyas tidak
boleh dilakukan kecuali oleh seorang mujtahid. Sebagian ulama menyatakan,”Jika
Anda ingin mengetahui kedalaman ilmu seseorang, perhatikan bagaimana dia
melakukan Qiyas.” Wallahu a’lam. (by.M.Shiddiq al-Jaww
Tidak ada komentar:
Posting Komentar