1. PENGERTIAN, TUJUAN DAN DASAR HUKUM AHLI WARIS
Menurut
undang – undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :
1.Sebagai
ahli waris menurut ketentuan undang – undang
2.Karena ditunjuk
dalam surat wasiat (testament).
Cara yang
pertama dinamakan mewarisi “menurut undang – undang” atau “ab intestato”.
Sedangkan cara yang kedua disebut dengan mewaris dengan “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas ini tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi : “le mort saisit le vif”, sedangkan pengukuran segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan “saisine”.
Dalam hukum waris berlaku asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas ini tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi : “le mort saisit le vif”, sedangkan pengukuran segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan “saisine”.
Ahli waris adalah setiap orang yang berhak atas harta
peninggalan pewaris dan berkewajiban menyelesaikan hutang – hutangnya. Hak dan
kewajiban tersebut timbul setelah pewaris meninggal dunia. Hak waris itu
didasarkan pada hubungan perkawinan, hubungan darah, dan surat wasiat, yang
diatur dalam undang – undang. Tetapi legataris bukan ahli waris, walaupun ia
berhak atas harta peninggalan pewaris, karena bagiannya terbatas pada hak atas
benda tertentu tanpa kewajiban.
Dalam Pasal 833 ayat 1 KUHPdt dinyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas semua harta kekayaan orang yang meninggal dunia (pewaris). Dalam Pasal 874 KUHPdt juga dinyatakan bahwa segala harta kekayaan orang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak diambil suatu ketetapan yang sah. Ketentuan Pasal – Pasal di atas pada dasarnya didasari oleh asas “le mort saisit le vif”, yang telah disebut di atas. Yang artinya orang yang mati berpegang pada orang yang masih hidup. Asas ini mengandung arti bahwa setiap benda harus ada pemiliknya. Setiap ahli waris berhak menuntut dan memperjuangkan hak warisnya, menurut Pasal 834 B.W. seorang ahli waris berhak untuk menuntut upaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris (heriditatis petito). Hak penuntutan ini menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai satu benda warisan dengan maksud untuk memilikinya. Oleh karena itu, penuntutan tersebut tidak boleh ditujukan pada seorang yang hanya menjadi houder saja, yaitu menguasainya benda itu berdasarkan suatu hubungan hukum dengan si meninggal, misalnya menyewa. Penuntutan tersebut tidak dapat ditujukan kepada seorang executeur – testamentair atau seorang curator atas suatu harta peninggalan yang tidak diurus. Seorang ahli waris yang menggunakan hak penuntutan tersebut, cukup dengan mengajukan dalam surat gugatannya, bahwa ia adalah ahli waris dari si meninggal den barang yang dimintanya kembali itu termasuk benda peninggalan.
Berbicara masalah warisan, melayang pada benak kita tentang hal-hal yang berkaitan dengan sejumlah harta peninggalan akibat kematian seseorang. Masalah warisan, didalam masyarakat kita sering menimbulkan perselisihan yang mungkin akan mengakibatkan pecahnya keakraban persaudaraan. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya kita semua memahami apa yang seharusnya kita lakukan, apa yang menjadi hak-hak kita, dan apa pula yang menjadi kewajiban-kewajiban kita yang berkaitan dengan harta warisan tersebut.Ketidaktahuan dan kekurang mengertian,banyak menjadi biang keladi konflik tersebut.
Kemajemukan
masyarakat di Indonesia diikuti dengan kemajemukan Hukum Perdatanya. Dimana
Hukum Waris merupakan salah satu bagian dari Hukum Perdata yang berkembang
dengan sangat kental di masyarakat Indonesia. Karena seperti kita ketahui
kegiatan waris mewaris tidak bisa terlepas dari tata kehidupan masyarakat. Ahli
Waris merupakan salah satu unsur utama dalam Hukum Waris. Dalam membicarakan
Ahli Waris, sudah barangtentu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan
Ahli Waris, hak dan kewajibannya beserta penggolongannya serta kemungkinan –
kemungkinan yang berkaitan dengan status Ahli Waris, untuk menghidari
kesalahpahaman dalam menindak lanjutinya dalam kehidupan sehari – hari.
1. PENGERTIAN AHLI WARIS
Menurut
undang – undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :
1.Sebagai
ahli waris menurut ketentuan undang – undang
2.Karena
ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang
pertama dinamakan mewarisi “menurut undang – undang” atau “ab intestato”.
Sedangkan cara yang kedua disebut dengan mewaris dengan “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas ini tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi : “le mort saisit le vif”, sedangkan pengukuran segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan “saisine”.
Dalam hukum waris berlaku asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas ini tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi : “le mort saisit le vif”, sedangkan pengukuran segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan “saisine”.
Ahli waris
adalah setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan berkewajiban
menyelesaikan hutang – hutangnya. Hak dan kewajiban tersebut timbul setelah
pewaris meninggal dunia. Hak waris itu didasarkan pada hubungan perkawinan,
hubungan darah, dan surat wasiat, yang diatur dalam undang – undang. Tetapi
legataris bukan ahli waris, walaupun ia berhak atas harta peninggalan pewaris,
karena bagiannya terbatas pada hak atas benda tertentu tanpa kewajiban.
Dalam Pasal 833 ayat 1 KUHPdt dinyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas semua harta kekayaan orang yang meninggal dunia (pewaris). Dalam Pasal 874 KUHPdt juga dinyatakan bahwa segala harta kekayaan orang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak diambil suatu ketetapan yang sah. Ketentuan Pasal – Pasal di atas pada dasarnya didasari oleh asas “le mort saisit le vif”, yang telah disebut di atas. Yang artinya orang yang mati berpegang pada orang yang masih hidup. Asas ini mengandung arti bahwa setiap benda harus ada pemiliknya. Setiap ahli waris berhak menuntut dan memperjuangkan hak warisnya, menurut Pasal 834 B.W. seorang ahli waris berhak untuk menuntut upaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris (heriditatis petito). Hak penuntutan ini menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai satu benda warisan dengan maksud untuk memilikinya. Oleh karena itu, penuntutan tersebut tidak boleh ditujukan pada seorang yang hanya menjadi houder saja, yaitu menguasainya benda itu berdasarkan suatu hubungan hukum dengan si meninggal, misalnya menyewa. Penuntutan tersebut tidak dapat ditujukan kepada seorang executeur – testamentair atau seorang curator atas suatu harta peninggalan yang tidak diurus. Seorang ahli waris yang menggunakan hak penuntutan tersebut, cukup dengan mengajukan dalam surat gugatannya, bahwa ia adalah ahli waris dari si meninggal den barang yang dimintanya kembali itu termasuk benda peninggalan.
Menurut Pasal 1066 ayat 2 KUHPdt setiap ahli waris dapat menuntut pembagian harta warisan walaupun ada larangan untuk melakukan itu. Jadi, harta warisan tidak mungkin dibiarkan dalam keadan tidak terbagi kecuali jika diperjanjikan tidak diadakan pembagian, dan inipun tidak lebih lama dari lima tahun. Walaupu ahli waris itu berhak atas harta warisan, dimana pada asasnya tiap orang meskipun seorang bayi yang baru lahir adalah cakap untuk mewaris hanya oleh undang - undang telah ditetapkan ada morang orang yang karna perbuatannya, tidak patut (onwaardig) menerima warisan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 838 KUHPdt yang dianggap tidak patut jadi ahli waris, sehingga dikecualikan dari pewarisan adalah :
1. mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah
membunuh, atau mencoba membunuh pewaris;
2. mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena
fitnah telah mengadikan pewaris bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat;
3. mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris
membuat atau mencabut surat wasiat;
4. mereka yang telah menggelapkan,
merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.
Selain itu,
oleh undang - undang telah ditetapkan bahwa ada orang – orang yang berhubungan
dengan jabatan atau pekerjaannya, maupu hubungannya dengan si meninggal, tidak
diperbolehkan menerima keuntungan dari suatu surat wasiat yang diperbuat oleh
si meninggal. Mereka ini, diantaranya adalah notaries yang membuatkan surat
wasiat itu serta saksi – saksi yang menghadiri pembuatan testament itu, pendeta
yang melayani atau dokter yang merawat si meninggal selama sakitnya yang
terakhir. Bahkan pemberian waris dalam surat wasiat kepada orang –orang mungkin
menjadi perantara dari orang – orang ini (“tussenbiede komende personen”) dapat
dibatalkan. Sebagai orang – orang perantara ini oleh undang – undang diangap
anak – anak dan isteri dari orang – orang yang tidak diperbolehkan menerima
warisan dan tastement itu.
Selanjutnya dalam Pasal 912 ditetapkan alasan – alasan yang menurut pasal 838 tersebut diatas, menyebabkan seseorang tidak patut menjadi waris, berlaku juga sebagai halangan untuk dapat menerima pemberian – pemberian dalam suatu testament, kecuali dalam pasal 912 tidak disebutkan orang yang telah mencoba membunuh orang yang meninggalkan warisan. Jika si meninggal ini ternyata dalam surat wasiatnya masih juga memberikan warisan pada seorang yang telah berbuat demikian, hal itu dianggap sebagai suatu “pengampunan” terhadap orang itu.
2. SYARAT –
SYARAT AHLI WARIS
Dalam pasal 832 KUHPdt dinyatakan bahwa menurut undang - undang yang berhak menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, dan si suami atau istri yang hidup terlama. Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup terlama di antara suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik negara, yang mana berwajib akan melunasi segala hutangnya, sekedar harga harta peniggalan mencukupi untuk itu.
Kemudian
menurt Pasal 874 KUHPdt dinyatakan segala harta peninggalan seseorang yang
meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang –
undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat telah diambilnya suatu
ketetapan yang sah.
Menurut Pasal 836 KUHPdt dinyatakan dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 KUHPdt, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah lahir, pada saat warisan jatuh meluang. Dimana Pasal 2 KUHPdt menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan si anak mengkehendakinya, namun apabila mati suatu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.
Jadi menurut pasal – pasal tersebut di atas syarat – syarat ahli waris adalah sebagai berikut :
Menurut Pasal 836 KUHPdt dinyatakan dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 KUHPdt, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah lahir, pada saat warisan jatuh meluang. Dimana Pasal 2 KUHPdt menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan si anak mengkehendakinya, namun apabila mati suatu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.
Jadi menurut pasal – pasal tersebut di atas syarat – syarat ahli waris adalah sebagai berikut :
1. mempunyai hak atas harta peninggalan si pewaris, yang
timbul karena :
a. hubungan darah (Pasal 832 B.W.)
b. karena wasiat (Pasal 874 B.W.)
2. harus sudah ada dan masih ada ketika si pewaris
meninggal dunia (Pasal 836 B.W.), dengan tetap memperhatikan ketentuan dari
pasal 2 B.W.
3. ahli waris bukan orang yang dinyatakan tidak patut
menerima warisan atau orang yang menolak harta warisan, adapun Pasal yang
mengatur mengenai orang yang tidak patut menjadi ahli waris yaitu Pasal 838
B.W. yang telah tersebut di atas dalam sub bab sebelumnya .
jika kita tinjau dari syarat pewarisan tersebut di atas, maka akan timbul suatu pertanyaan, bagaimanakah jika antara dua orang yang saling mewaris meninggal dalam waktu yang sama?
Dari ketentuan Pasal 831 B.W. dapat diketahui jika terjadi dua orang atau lebih yang sama atau lebih yang saling mewaris itu meninggal dalam waktu yang sama atau dalam waktu yang hampir bersamaan namun tidak dapat dibuktikan siapa yang meninggal terlebih dahulu maka diantara keduanya tidak saling mewaris.
3. HAK DAN
KEWAJIBAN AHLI WARIS
Dalam rangka
untuk mengetahui hak dan kewajiban ahli waris perlu kiranya untuk diketahui hak
dan kewajiban pewaris. Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta peninggalan
dalam arti bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya
dalam sebuah testament atau wasiat. Isi dan wasiat tersebut dapat berupa :
1. Erfstelling, yaitu suatu penunjukan satu atau beberapa
orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau keseluruhan harta
peninggalan. Orang yang ditunjuk dinamakan testamentair erfgenaam (ahli waris
menurut wasiat).
2. Legaat, adalah pemberian hak kepada seseorang atas
dasar tastement atau wasiat yang khusus. Pemberian itu dapat berupa :
a. (hak atas) satu atau beberapa benda tertentu;
b. (hak atas) seluruh dari satu macam benda tertentu;
c. hak vruchtgebruik atas sebagian / seluruh warisan
(Pasal 957 KUHpdt).
Kewajiban si
pewaris adalah merupakan pembatsan terhadap haknya ditentukan undang – undang.
Ia harus mengindahkan adanya legitieme portie, yaitu suatu bagian tertentu dari
harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan
warisan.
Hak ahli waris dapat diperinci sebagai berikut: Setelah terbuka warisan, ahli waris diberikan hak untuk menentukan sikap:
Hak ahli waris dapat diperinci sebagai berikut: Setelah terbuka warisan, ahli waris diberikan hak untuk menentukan sikap:
1. Menerima secara penuh (zuivere aanvaarding), yaitu
dapat dilakukan secara tegas atau secara lain. Dengan tegas yaitu jika
penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akte yang memuat penerimaannya
sebagai ahli waris. Secara diam – diam, jika ahli waris tersebut melakukan
perbuatan penerimaannya sebagai ahli waris dan perbuatan tersebut harus
mencerminkan perbuatan penerimaan terhadap warisan yang meluang, yaitu dengan
mengambil, menjual atau melunasi hutang – hutang pewaris.
2. Menerima dengan reserve (hak untuk menukar) Voorrecht
van boedel beschriyving atau beneffeciare aanvaarding. Hal ini harus dinyatakan
pada Panitera Pengadilan Negeri ditempat warin terbuka. Akibat yang terpenting
dalam warisan secara beneficare ini adalah bahwa kewajiban untuk melunasi
hutang – hutang dan beban lain si pewaris dibatasi sedemikian rupa sehingga
pelunasannya dibatasi menurut kekuatan warisan, dalam hal ini berarti si ahli
waris tersebut tidak usah menanggunga pembayaran hutang dengan kekayaan
sendiri, jika hutang pewaris lebuh besar dari harta bendanya. Adapun kewajiban
– kewajiban seorang ahli waris beneficiair, ialah :
a. melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam
waktu 4 (empat) bulan setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera
Pengadilan Negeri, bahwa ia menerima warisan secara beneficiair.
b. Mengurus harta peninggalan sebaik – baiknya.
c. Selekas – lekasnya membereskan urusan warisan (“Dewa
Made Suartha boedel tot effenheid brengen”).
d. Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus
memberikan tanggungan untuk harga benda – benda yang bergerak beserta benda –
benda yang tak bergerak yang tidak diserahkan kepada orang – orang berpiutang
yang memegang hypothek.
e. Memberikan pertanggungan jawab kepada sekalian penagih
hutang dan orang – orang yang menerima pemberian secara legaat. Pekerjaan ini
berupa menghitung harga serta pendapatan – pendapatan yang mungkin akan
diperoleh, jika barang – barang warisan dijual dan sampai berapa persen piutang
– piutang dan legaten itu dapat dipenuhi.
f. Memanggil orang – orang berpiutang yang tidak
terkenal,dalam surat kabar resmi.
3.Menolak warisan. Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta kekayaan yang berupa kewajiban membayar hutang lebih besar dari pada hak untuk menikmati harta peninggalan. Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat. Kewajiban ahli waris, antara lain :
3.Menolak warisan. Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta kekayaan yang berupa kewajiban membayar hutang lebih besar dari pada hak untuk menikmati harta peninggalan. Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat. Kewajiban ahli waris, antara lain :
· memelihara harta keutuhan harta
peninggalan sebelum harta peninggalan dibagi.
· mencari cara pembagian yang sesuai
dengan ketentuan dan lain – lain.
· melunasi hutang pewaris jika pewaris
meniggalkan hutang.
· melaksanakan wasiat jika ada.
4. PENGGOLONGAN AHLI WARIS DAN BAGIANNYA
Ada dua
macam ahli waris yang diatur dalam undang - undang yaitu Ahli Waris berdasarkan
hubungan perkawinan dan hubungan darah, dan Ahli Waris berdasarkan surat
wasiat. Ahli Waris yang pertama disebut Ahli Waris ab intestato, sedangkan yang
kedua disebut dengan Ahli Waris testamentair.
Ahli Waris ab intestato diatur dalam pasal 832 KUHPdt, dinyatakan bahwa yang berhak menjadi Ahli Waris adalah para keluarga sedarah dan istri (sumi) yang masiih hidup dan jika ini semua tidak ada, maka yang berhak menjadi Ahli Waris adalah Negara. Pertanyaannya adalah siapa sajakah yang termasuk dalam keluarga sedarah yang berhak mewaris itu?
Untuk menjawabnya kita dapat melihat dalam B.W., dimana Ahli Waris dibedakan menjadi 4 (empat) golongan ahli waris, yaitu:
Golongan I :
golongan ini
terdiri dari anak dan keturunannya kebawah tanpa batas beserta janda atau duda.
Menurut ketentuan pasal 852 KUHPdt, anak – anak walaupun dilahirkan dari
perkawinan yang berlainan dan waktu yang berlainan, laki – laki atau perempuan
mendapatkan bagian yang sama, mewaris kepala demi kepala. Anak – anak yang
mewaris sebagai pengganti dari ayah (ibu) mewaris pancang demi pancang. Yang
dimaksud dengan pancang adalah semua anak dari seorang yang berhak mewaris,
tetapi telah meninggal terlebih dahulu. Kemudian tetang anak adopsi, Ali
Afandi, S.H. menyatakan bahwa anak adopsi kedudukannya sejajar seperti anak
yang lahir dalam perkawinan orang yang mengadopsinya.
Menurut
ketentuan pasal 852 a KUHPdt, bagian seorang istri (suami) jika ada anak dari
parkawiannya dengan orang yang meninggal sama dengan bagian seorang anak yang
meninggal. Jika perkawinan itu bukan perkawinan yang pertama dan dari
perkawinan yang dahulu ada juga anak, maka baigan dari istri (suami) itu tidak
boleh lebih dari bagian terkecil dari anak – anak pewaris itu. Bagaimanapun
juga seorang istri tidak boleh lebih dari seperempat harta warisan.
Yang
dimaksud dengan “terkecil” itu adalah bagian dari seorang anak yang dengan
ketetapan surat wasiat dapat berbeda – beda, asal tidak kurang dari legitieme
portie.
Selanjutnya dalam pasal 852 b KUHPdt, ditentukan bahwa apabila istri (suami) mewaris bersama – sama dengan orang – orang lain dari pada anak – anak atau keturunannya dari perkawinannya yang dulu, maka ia dapat menarik seluruh atau bagian prabot rumah tangga dalam kekuasannya. Yang dimaksud dengan “orang – orang lain dari pada anak – anak” itu ialah orang – orang yang menjadi Ahli Waris karena ditetapkan dengan surat wasiat. Harga perabot rumah tangga itu harus dikurangkan dari bagian warisan istri (suami) itu. Jika harganya lebih basar dari pada harga bagian warisannya maka harga kelebihan itu harus dibayar lebih dahulu pada kawan warisnya.
Selanjutnya dalam pasal 852 b KUHPdt, ditentukan bahwa apabila istri (suami) mewaris bersama – sama dengan orang – orang lain dari pada anak – anak atau keturunannya dari perkawinannya yang dulu, maka ia dapat menarik seluruh atau bagian prabot rumah tangga dalam kekuasannya. Yang dimaksud dengan “orang – orang lain dari pada anak – anak” itu ialah orang – orang yang menjadi Ahli Waris karena ditetapkan dengan surat wasiat. Harga perabot rumah tangga itu harus dikurangkan dari bagian warisan istri (suami) itu. Jika harganya lebih basar dari pada harga bagian warisannya maka harga kelebihan itu harus dibayar lebih dahulu pada kawan warisnya.
Golongan II :
golongan ini
terdiri dari ayah dan / atau ibu si pewaris beserta saudara dan keturunannya
sampai derajat ke 6 (enam). Menurut ketentuan pasal 854 KHUPdt,apabila seorang
meninggal dunia tanpa meniggalkan keturunan maupun istri(suami), sedangkan
bapak dan ibunya masih hidup, maka yang berhak mewarisi ialah bapak, ibu, dan
saudara sebagai berikut :
a.bapak dan ibu masing - masing mendapat sepertiga dari hrta warisan, jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat sepertida lebihnya,
b.bapak dan ibu masing – masing mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari seorang saudara, yang mana mendapat dua seperempat lebihnya.
a.bapak dan ibu masing - masing mendapat sepertiga dari hrta warisan, jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat sepertida lebihnya,
b.bapak dan ibu masing – masing mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari seorang saudara, yang mana mendapat dua seperempat lebihnya.
Selanjutnya
dalam pasal 855 KUHPdt ditentukan bahwa apabila orang yang meninggal dunia itu
tampa meninggalkan keturunan maupun istri (suami), sedangkan bapak atau ibunya
masih hidup, maka :
a. bapak atau ibu mendapat seperdua dari harta warisan,
jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat
seperdua lebihnya ;
b. bapak atau ibu mendapat sepertiga dari harta warisan,
jika yang meninggal itu mempunyai dua orang saudara yang mana mendapat
duapertiga lebihnya ;
c. bapak atau ibu mendapat seperempat dari harta warisan,
jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari dua orang saudara, yang mana
mendapat tigaperempat lebihnya.
Jika bapak dan ibu telah meninggal dunia, maka seluruh harta warisan menjadi bagian saudara – saudaranya (pasal 856 KUHPdt).
Jika bapak dan ibu telah meninggal dunia, maka seluruh harta warisan menjadi bagian saudara – saudaranya (pasal 856 KUHPdt).
Pembagian
antara saudara – saudara adalah sama, jika mereka itu mempunyai bapak dan ibu
yang sama. Apabila mereka berasal dari perkawinan yang berlainan (bapak sama
tetapi lain ibu, atau ibu sama tetapi lain bapak), maka harta warisan dibagi
dua. Bagian yang pertama adalah bagin bagi garis bapak dan bagian yang kedua
adalah bagian bagi garis ibu. Saudara – saudara yang mempunyai bapak dan ibu
yang sama mendapat bagian dari bagian dari garis bapak dan garis ibu. Saudara –
saudara yang hanya sebapak atau seibu dapat baian dari bagian garis bapak atau
garis ibu saja (Pasal 857). Apabila orang yang mennggal dunia itu tidak
meninggalkan keturunan istri atau suami, saudara, sedangkan bapak atau ibunya
masih hidup. Maka bapak atau ibunya yang masih hidup itu mewarisi seluruh
warisan anaknya yang meniggal dunia itu (pasal 859 KUHPdt)
Golongan III :
golongan ini
terdiri dari keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas.
Menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 KUHPdt apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, maupun istri atau suami, saudara – saudara, ataupun orang tua, maka warisan jatuh kepada kakek dan nenek.
Menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 KUHPdt apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, maupun istri atau suami, saudara – saudara, ataupun orang tua, maka warisan jatuh kepada kakek dan nenek.
Dalam hal
ini warisan itu dibelah menjadi dua. Satu bagian diberikan kepada kakek dan
nenek yang diturunkan bapak dan satu bagian lagi diberikan kepada kakek dan
nenek yug menurunkan ibu. Apabila kakek dan nenek tidak ada, maka warisan jatuh
kepada orang tua kakek dan nenek (puyang). Apabila yang tidak ada itu hanya
kakek dan nenek, maka bagian jatuh pada garis keturunannya, dan menjadi bagian
yang masih hidup. Ahli waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke
atas, mendapat setengah warisan dalam garisnya dengan menyampingkan semua ahli
waris lainnya. Semua keluarga sedarah dalam garis lurus keatas dalam derajat
yang sama mendapat begian kepala demi kepala (bagian yang sama).
Golongan IV :
Golongan IV :
golongan ini
terdiri dari keluarga sedarah dalam garis kesamping yang lebih jauh sampai
derajat ke 6 (enam).
Apabila
orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, istri atau suami,
saudara – saudara, orangtua, nenek dan kakek, maka menurut ketentuan Pasal 853
dan Pasal 858 ayat 2 KUHPdt warisan jatuh pada Ahli Waris yang terdekat pada
tiap garis. Jika ada beberapa orang yang derajatnya sama, maka warisan dibagi
berdasarkan bagian yang sama.
Keluarga sedarah dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke 6 (enam) tidak mewarisi. Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga yang sedarah dalam derajat yang mengijinkan untuk mewarisi, maka semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan (Pasal 861 KUHPdt).
Keluarga sedarah dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke 6 (enam) tidak mewarisi. Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga yang sedarah dalam derajat yang mengijinkan untuk mewarisi, maka semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan (Pasal 861 KUHPdt).
Apabila
semua orang yang berhak mewarisi tidak ada lagi, maka seluruh warisan dapat
dituntut oleh anak luar kawin yang diakui. Apabila anak luar kawin inipun juga
tidak ada, maka seluruh warisan jatuh pada Negara (Pasal 873 ayat 1 dan Pasal
832 ayat 2 KUHPdt).
Dengan
berlakunya undang - undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka pewarisan anak luar
kawin walaupun diakui, tidak relevan lagi. Undang - undang no. 1 tahun 1974
hanya mengenal anak sah dan anak luar kawin (tidak sah). Anak sah adalah Ahli
Waris, sedangkan anak luar kawin hanya berhak mewarisi dari ibu yang melahirkannya
dan keluarga sedarah dari pihak ibunya.
5. AHLI
WARIS YANG TIDAK BERHAK MEWARIS
Menurut
ketentuan Pasal 838 KUHPdt, yang dianggap tidak patut menjadi Ahli Waris dan
karenanya tidak berhak mewaris adalah :
1. mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah
membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
2. mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena
dengan fitnah mengajajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan
yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun lamanya atau hukuman yang
lebih berat.
3. mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris
membut atau mencabut surat wasiatnya.
4. mereka yang telah menggelapkan,
merusak atau memalsukan syarat wasiat pewaris.
Berbeda
dengan KUHPdt adalah hukum waris adat. Menurut uraian Prof. Hilman Adikusuma,
S.H. (1980) seorang yang telah berdosa terhadap pewaris apabila dosanya itu
diampuni, ia tetap menerima harta warisan, artinya masih berhak mewaris.
Sedangkan menurut hukum waris Islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah:
1. pembunuh pewaris, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ap-Tirmidzi, Ibnmajah, Abu Dawud, Am-Masaai.
Sedangkan menurut hukum waris Islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah:
1. pembunuh pewaris, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ap-Tirmidzi, Ibnmajah, Abu Dawud, Am-Masaai.
2. orang
yang murtad yaitu keluar dari Agama Islam, berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Bardah.
3. orang
yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang bukan menganut Agama Islam atau
Kafir, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah,
At-Tirmidzi.
4. anak zina, yaitu onak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.
4. anak zina, yaitu onak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.
Tidak berhak mewaris terdapat juga pada ahli waris yang menolak warisan dalam Pasal 1058 ditentukan bahwa seorang ahli waris yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi Ahli Waris. Penolakan itu berlaku surut sampai waktu meninggalnya pewaris. Menurut Pasal 1059 KUHPdt bagian dari Ahli Waris yang menolak itu jatuh pada ahli waris lainnya, seolah – olah ahli waris yang menolak itu tidak pernah ada. Menurut Pasal 1057 KUHPdt penolakan warisan harus dinyatakan dengan tegas dikepaniteraan Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 1062 KUHPdt dinyatakan pula bahwa hak untuk menolak warisan tidak dapat gugur karena Daluarsa.
Penolakan warisan itu harus dengan suka rela atas kemauan sendiri, apabila penolakan itu terjadi na paksaan atau penipuan, maka menurut Pasal 1065 KUHPdt penolakan itu dapat dibatalkan (ditiadakan). Tetapi kesukarelaan penolakan itu tidak boleh dilakukan dengan alasan tidak mau membayar hutang. Jka terjadi demikian, menurut Pasal 1061 KUHPdt hakim dapat memberi kuasa kepada para kreditur dari ahli waris yang menolah itu untuk atas namanya menjadi pengganti menerima warisan.
6. AHLI
WARIS PENGGANTI
KUHPdt
membedakan antara ahli waris “uit eigen hoofed” dan ahli waris “bij
plaasvervulling”. Ahli Waris “uit eigen hoofed” adalah ahli waris yang
memperoleh warisan berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap pewaris,misalnya
anak pewaris ,istri/suami pewaris. Ahli waris “bij plaasvervulling”adalah ahli
waris pengganti berhubung orang yang berhak mewaris telah meninggal dunia lebih
dahulu daripada pewaris. Misalnya seorang ayah meniggal lebih dahulu daripada
kakek, maka anak-anak ayah yang meninggal itu menggantikan kedudukan ayahnya
sebagai ahli waris dari kakek.
Penggantian ini terjadi dalam garis kebawah dan terjadi tanpa batas. Tiap ahli waris yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya. Jika lebih dari satu anak sebagai penggantinya, maka penggantian itu dihitung sebagai satu cabang, artinya semua anak yang menggantikan itu mendapatkan bagian yang sama. Penggantian dapat juga terjadi pada keluarga dalam garis samping. Tiap saudara pewaris baik saudara kandung maupun saudara tiri, jika meninggal lebih dahulu, digantikan oleh anaknya. Penggantian ini juga dapat tanpa batas. Tiap penggantian dihitung sebagai satu cabang (bij staken). Menurut ketentuan pasal 841 KUHPdt penggantian adalah hak yang memberikan kepada seseorang untuk menggantikan seorang Ahli Waris yang telah meninggal labih dahulu dari pada pewarisnya untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam hak orang yang digantikannya. Penggantian ini menurut pasal 842 KUHPdt hanya terjadi dalam garis lurus ke bawah tanpa batas, sedangkan pasal 843 KUHPdt manyatakan dalam garis lurus ke atas tidak terdapat penggatian. Dalam hal ada penggantian, maka menurut pasal 846 KUHPdt pembagian dilakukan pancang demi pancang .
Menurut
Pasal 1066 ayat 2 KUHPdt setiap ahli waris dapat menuntut pembagian harta
warisan walaupun ada larangan untuk melakukan itu. Jadi, harta warisan tidak
mungkin dibiarkan dalam keadan tidak terbagi kecuali jika diperjanjikan tidak
diadakan pembagian, dan inipun tidak lebih lama dari lima tahun. Walaupu ahli
waris itu berhak atas harta warisan, dimana pada asasnya tiap orang meskipun
seorang bayi yang baru lahir adalah cakap untuk mewaris hanya oleh undang -
undang telah ditetapkan ada morang orang yang karna perbuatannya, tidak patut
(onwaardig) menerima warisan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 838 KUHPdt yang
dianggap tidak patut jadi ahli waris, sehingga dikecualikan dari pewarisan
adalah :
1. mereka yang telah dihukum karena
dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh pewaris;
2. mereka yang dengan putusan hakim
dipersalahkan karena fitnah telah mengadikan pewaris bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat;
3. mereka yang dengan kekerasan telah
mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiat;
4. mereka yang telah menggelapkan,
merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.
Selain itu,
oleh undang - undang telah ditetapkan bahwa ada orang – orang yang berhubungan
dengan jabatan atau pekerjaannya, maupu hubungannya dengan si meninggal, tidak
diperbolehkan menerima keuntungan dari suatu surat wasiat yang diperbuat oleh
si meninggal. Mereka ini, diantaranya adalah notaries yang membuatkan surat
wasiat itu serta saksi – saksi yang menghadiri pembuatan testament itu, pendeta
yang melayani atau dokter yang merawat si meninggal selama sakitnya yang
terakhir. Bahkan pemberian waris dalam surat wasiat kepada orang –orang mungkin
menjadi perantara dari orang – orang ini (“tussenbiede komende personen”) dapat
dibatalkan. Sebagai orang – orang perantara ini oleh undang – undang diangap
anak – anak dan isteri dari orang – orang yang tidak diperbolehkan menerima
warisan dan tastement itu.
Selanjutnya dalam Pasal 912 ditetapkan alasan – alasan yang menurut pasal 838 tersebut diatas, menyebabkan seseorang tidak patut menjadi waris, berlaku juga sebagai halangan untuk dapat menerima pemberian – pemberian dalam suatu testament, kecuali dalam pasal 912 tidak disebutkan orang yang telah mencoba membunuh orang yang meninggalkan warisan. Jika si meninggal ini ternyata dalam surat wasiatnya masih juga memberikan warisan pada seorang yang telah berbuat demikian, hal itu dianggap sebagai suatu “pengampunan” terhadap orang itu.
ASAS AHUKUM WARIS
1.
Hanyalah hak dan kewajiban
dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang diwariskan
2.
Apabila seseorang meninggal
maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli
warisnya
3.
Pada asasnya setiap
orangmeskipun bayi yang baru lahir adalah cakap untuk mewarisi.
SYART – SYARAT AHLI WARIS
Dalam pasal 832 KUHPdt dinyatakan bahwa menurut undang - undang yang berhak menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, dan si suami atau istri yang hidup terlama. Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup terlama di antara suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik negara, yang mana berwajib akan melunasi segala hutangnya, sekedar harga harta peniggalan mencukupi untuk itu.
Kemudian
menurt Pasal 874 KUHPdt dinyatakan segala harta peninggalan seseorang yang
meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang –
undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat telah diambilnya suatu
ketetapan yang sah.
Menurut Pasal 836 KUHPdt dinyatakan dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 KUHPdt, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah lahir, pada saat warisan jatuh meluang. Dimana Pasal 2 KUHPdt menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan si anak mengkehendakinya, namun apabila mati suatu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.
Jadi menurut pasal – pasal tersebut di atas syarat – syarat ahli waris adalah sebagai berikut :
Menurut Pasal 836 KUHPdt dinyatakan dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 KUHPdt, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah lahir, pada saat warisan jatuh meluang. Dimana Pasal 2 KUHPdt menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan si anak mengkehendakinya, namun apabila mati suatu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.
Jadi menurut pasal – pasal tersebut di atas syarat – syarat ahli waris adalah sebagai berikut :
1. mempunyai hak atas harta peninggalan
si pewaris, yang timbul karena :
a.
hubungan
darah (Pasal 832 B.W.)
b. karena wasiat (Pasal 874 B.W.)
2. harus sudah ada dan masih ada ketika
si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 B.W.), dengan tetap memperhatikan
ketentuan dari pasal 2 B.W.
3. ahli waris bukan orang yang
dinyatakan tidak patut menerima warisan atau orang yang menolak harta warisan,
adapun Pasal yang mengatur mengenai orang yang tidak patut menjadi ahli waris
yaitu Pasal 838 B.W. yang telah tersebut di atas dalam sub bab sebelumnya .
jika kita tinjau dari syarat pewarisan tersebut di atas, maka akan timbul suatu pertanyaan, bagaimanakah jika antara dua orang yang saling mewaris meninggal dalam waktu yang sama?
Dari ketentuan Pasal 831 B.W. dapat diketahui jika terjadi dua orang atau lebih yang sama atau lebih yang saling mewaris itu meninggal dalam waktu yang sama atau dalam waktu yang hampir bersamaan namun tidak dapat dibuktikan siapa yang meninggal terlebih dahulu maka diantara keduanya tidak saling mewaris.
3. HAK DAN
KEWAJIBAN AHLI WARIS
Dalam rangka
untuk mengetahui hak dan kewajiban ahli waris perlu kiranya untuk diketahui hak
dan kewajiban pewaris. Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta peninggalan
dalam arti bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya
dalam sebuah testament atau wasiat. Isi dan wasiat tersebut dapat berupa :
1. Erfstelling, yaitu suatu penunjukan
satu atau beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau
keseluruhan harta peninggalan. Orang yang ditunjuk dinamakan testamentair
erfgenaam (ahli waris menurut wasiat).
2. Legaat, adalah pemberian hak kepada
seseorang atas dasar tastement atau wasiat yang khusus. Pemberian itu dapat
berupa :
a.
(hak atas)
satu atau beberapa benda tertentu;
b. (hak atas) seluruh dari satu macam
benda tertentu;
c.
hak
vruchtgebruik atas sebagian / seluruh warisan (Pasal 957 KUHpdt).
Kewajiban si
pewaris adalah merupakan pembatsan terhadap haknya ditentukan undang – undang.
Ia harus mengindahkan adanya legitieme portie, yaitu suatu bagian tertentu dari
harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan
warisan.
Hak ahli waris dapat diperinci sebagai berikut: Setelah terbuka warisan, ahli waris diberikan hak untuk menentukan sikap:
Hak ahli waris dapat diperinci sebagai berikut: Setelah terbuka warisan, ahli waris diberikan hak untuk menentukan sikap:
1. Menerima secara penuh (zuivere
aanvaarding), yaitu dapat dilakukan secara tegas atau secara lain. Dengan tegas
yaitu jika penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akte yang memuat
penerimaannya sebagai ahli waris. Secara diam – diam, jika ahli waris tersebut
melakukan perbuatan penerimaannya sebagai ahli waris dan perbuatan tersebut
harus mencerminkan perbuatan penerimaan terhadap warisan yang meluang, yaitu
dengan mengambil, menjual atau melunasi hutang – hutang pewaris.
2. Menerima dengan reserve (hak untuk
menukar) Voorrecht van boedel beschriyving atau beneffeciare aanvaarding. Hal
ini harus dinyatakan pada Panitera Pengadilan Negeri ditempat warin terbuka.
Akibat yang terpenting dalam warisan secara beneficare ini adalah bahwa
kewajiban untuk melunasi hutang – hutang dan beban lain si pewaris dibatasi
sedemikian rupa sehingga pelunasannya dibatasi menurut kekuatan warisan, dalam
hal ini berarti si ahli waris tersebut tidak usah menanggunga pembayaran hutang
dengan kekayaan sendiri, jika hutang pewaris lebuh besar dari harta bendanya.
Adapun kewajiban – kewajiban seorang ahli waris beneficiair, ialah :
a.
melakukan
pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu 4 (empat) bulan setelahnya ia
menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri, bahwa ia menerima
warisan secara beneficiair.
b. Mengurus harta peninggalan sebaik –
baiknya.
c.
Selekas –
lekasnya membereskan urusan warisan (“Dewa Made Suartha boedel tot effenheid
brengen”).
d. Apabila diminta oleh semua orang
berpiutang harus memberikan tanggungan untuk harga benda – benda yang bergerak
beserta benda – benda yang tak bergerak yang tidak diserahkan kepada orang –
orang berpiutang yang memegang hypothek.
e.
Memberikan
pertanggungan jawab kepada sekalian penagih hutang dan orang – orang yang
menerima pemberian secara legaat. Pekerjaan ini berupa menghitung harga serta
pendapatan – pendapatan yang mungkin akan diperoleh, jika barang – barang
warisan dijual dan sampai berapa persen piutang – piutang dan legaten itu dapat
dipenuhi.
f.
Memanggil
orang – orang berpiutang yang tidak terkenal,dalam surat kabar resmi.
3.Menolak warisan. Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta kekayaan yang berupa kewajiban membayar hutang lebih besar dari pada hak untuk menikmati harta peninggalan. Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat. Kewajiban ahli waris, antara lain :
3.Menolak warisan. Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta kekayaan yang berupa kewajiban membayar hutang lebih besar dari pada hak untuk menikmati harta peninggalan. Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat. Kewajiban ahli waris, antara lain :
·
memelihara
harta keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan dibagi.
·
mencari cara
pembagian yang sesuai dengan ketentuan dan lain – lain.
·
melunasi
hutang pewaris jika pewaris meniggalkan hutang.
·
melaksanakan
wasiat jika ada.
Ada dua
macam ahli waris yang diatur dalam undang - undang yaitu Ahli Waris berdasarkan
hubungan perkawinan dan hubungan darah, dan Ahli Waris berdasarkan surat
wasiat. Ahli Waris yang pertama disebut Ahli Waris ab intestato, sedangkan yang
kedua disebut dengan Ahli Waris testamentair.
Ahli Waris ab intestato diatur dalam pasal 832 KUHPdt, dinyatakan bahwa yang berhak menjadi Ahli Waris adalah para keluarga sedarah dan istri (sumi) yang masiih hidup dan jika ini semua tidak ada, maka yang berhak menjadi Ahli Waris adalah Negara. Pertanyaannya adalah siapa sajakah yang termasuk dalam keluarga sedarah yang berhak mewaris itu?
Untuk menjawabnya kita dapat melihat dalam B.W., dimana Ahli Waris dibedakan menjadi 4 (empat) golongan ahli waris, yaitu:
Golongan I :
golongan ini
terdiri dari anak dan keturunannya kebawah tanpa batas beserta janda atau duda.
Menurut ketentuan pasal 852 KUHPdt, anak – anak walaupun dilahirkan dari
perkawinan yang berlainan dan waktu yang berlainan, laki – laki atau perempuan
mendapatkan bagian yang sama, mewaris kepala demi kepala. Anak – anak yang
mewaris sebagai pengganti dari ayah (ibu) mewaris pancang demi pancang. Yang
dimaksud dengan pancang adalah semua anak dari seorang yang berhak mewaris,
tetapi telah meninggal terlebih dahulu. Kemudian tetang anak adopsi, Ali
Afandi, S.H. menyatakan bahwa anak adopsi kedudukannya sejajar seperti anak
yang lahir dalam perkawinan orang yang mengadopsinya.
Menurut
ketentuan pasal 852 a KUHPdt, bagian seorang istri (suami) jika ada anak dari
parkawiannya dengan orang yang meninggal sama dengan bagian seorang anak yang
meninggal. Jika perkawinan itu bukan perkawinan yang pertama dan dari
perkawinan yang dahulu ada juga anak, maka baigan dari istri (suami) itu tidak
boleh lebih dari bagian terkecil dari anak – anak pewaris itu. Bagaimanapun
juga seorang istri tidak boleh lebih dari seperempat harta warisan.
Yang
dimaksud dengan “terkecil” itu adalah bagian dari seorang anak yang dengan
ketetapan surat wasiat dapat berbeda – beda, asal tidak kurang dari legitieme
portie.
Selanjutnya dalam pasal 852 b KUHPdt, ditentukan bahwa apabila istri (suami) mewaris bersama – sama dengan orang – orang lain dari pada anak – anak atau keturunannya dari perkawinannya yang dulu, maka ia dapat menarik seluruh atau bagian prabot rumah tangga dalam kekuasannya. Yang dimaksud dengan “orang – orang lain dari pada anak – anak” itu ialah orang – orang yang menjadi Ahli Waris karena ditetapkan dengan surat wasiat. Harga perabot rumah tangga itu harus dikurangkan dari bagian warisan istri (suami) itu. Jika harganya lebih basar dari pada harga bagian warisannya maka harga kelebihan itu harus dibayar lebih dahulu pada kawan warisnya.
Selanjutnya dalam pasal 852 b KUHPdt, ditentukan bahwa apabila istri (suami) mewaris bersama – sama dengan orang – orang lain dari pada anak – anak atau keturunannya dari perkawinannya yang dulu, maka ia dapat menarik seluruh atau bagian prabot rumah tangga dalam kekuasannya. Yang dimaksud dengan “orang – orang lain dari pada anak – anak” itu ialah orang – orang yang menjadi Ahli Waris karena ditetapkan dengan surat wasiat. Harga perabot rumah tangga itu harus dikurangkan dari bagian warisan istri (suami) itu. Jika harganya lebih basar dari pada harga bagian warisannya maka harga kelebihan itu harus dibayar lebih dahulu pada kawan warisnya.
Golongan II :
golongan ini
terdiri dari ayah dan / atau ibu si pewaris beserta saudara dan keturunannya
sampai derajat ke 6 (enam). Menurut ketentuan pasal 854 KHUPdt,apabila seorang
meninggal dunia tanpa meniggalkan keturunan maupun istri(suami), sedangkan
bapak dan ibunya masih hidup, maka yang berhak mewarisi ialah bapak, ibu, dan
saudara sebagai berikut :
a.bapak dan ibu masing - masing mendapat sepertiga dari hrta warisan, jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat sepertida lebihnya,
b.bapak dan ibu masing – masing mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari seorang saudara, yang mana mendapat dua seperempat lebihnya.
a.bapak dan ibu masing - masing mendapat sepertiga dari hrta warisan, jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat sepertida lebihnya,
b.bapak dan ibu masing – masing mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari seorang saudara, yang mana mendapat dua seperempat lebihnya.
Selanjutnya
dalam pasal 855 KUHPdt ditentukan bahwa apabila orang yang meninggal dunia itu
tampa meninggalkan keturunan maupun istri (suami), sedangkan bapak atau ibunya
masih hidup, maka :
a.
bapak atau
ibu mendapat seperdua dari harta warisan, jika yang meninggal itu hanya
mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat seperdua lebihnya ;
b. bapak atau ibu mendapat sepertiga
dari harta warisan, jika yang meninggal itu mempunyai dua orang saudara yang
mana mendapat duapertiga lebihnya ;
c.
bapak atau
ibu mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang meninggal itu mempunyai
lebih dari dua orang saudara, yang mana mendapat tigaperempat lebihnya.
Jika bapak dan ibu telah meninggal dunia, maka seluruh harta warisan menjadi bagian saudara – saudaranya (pasal 856 KUHPdt).
Jika bapak dan ibu telah meninggal dunia, maka seluruh harta warisan menjadi bagian saudara – saudaranya (pasal 856 KUHPdt).
Pembagian
antara saudara – saudara adalah sama, jika mereka itu mempunyai bapak dan ibu
yang sama. Apabila mereka berasal dari perkawinan yang berlainan (bapak sama
tetapi lain ibu, atau ibu sama tetapi lain bapak), maka harta warisan dibagi
dua. Bagian yang pertama adalah bagin bagi garis bapak dan bagian yang kedua
adalah bagian bagi garis ibu. Saudara – saudara yang mempunyai bapak dan ibu
yang sama mendapat bagian dari bagian dari garis bapak dan garis ibu. Saudara –
saudara yang hanya sebapak atau seibu dapat baian dari bagian garis bapak atau
garis ibu saja (Pasal 857). Apabila orang yang mennggal dunia itu tidak
meninggalkan keturunan istri atau suami, saudara, sedangkan bapak atau ibunya
masih hidup. Maka bapak atau ibunya yang masih hidup itu mewarisi seluruh
warisan anaknya yang meniggal dunia itu (pasal 859 KUHPdt)
Golongan III :
golongan ini
terdiri dari keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas.
Menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 KUHPdt apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, maupun istri atau suami, saudara – saudara, ataupun orang tua, maka warisan jatuh kepada kakek dan nenek.
Menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 KUHPdt apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, maupun istri atau suami, saudara – saudara, ataupun orang tua, maka warisan jatuh kepada kakek dan nenek.
Dalam hal
ini warisan itu dibelah menjadi dua. Satu bagian diberikan kepada kakek dan
nenek yang diturunkan bapak dan satu bagian lagi diberikan kepada kakek dan
nenek yug menurunkan ibu. Apabila kakek dan nenek tidak ada, maka warisan jatuh
kepada orang tua kakek dan nenek (puyang). Apabila yang tidak ada itu hanya
kakek dan nenek, maka bagian jatuh pada garis keturunannya, dan menjadi bagian
yang masih hidup. Ahli waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke
atas, mendapat setengah warisan dalam garisnya dengan menyampingkan semua ahli
waris lainnya. Semua keluarga sedarah dalam garis lurus keatas dalam derajat
yang sama mendapat begian kepala demi kepala (bagian yang sama).
Golongan IV :
Golongan IV :
golongan ini
terdiri dari keluarga sedarah dalam garis kesamping yang lebih jauh sampai
derajat ke 6 (enam).
Apabila
orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, istri atau suami,
saudara – saudara, orangtua, nenek dan kakek, maka menurut ketentuan Pasal 853
dan Pasal 858 ayat 2 KUHPdt warisan jatuh pada Ahli Waris yang terdekat pada
tiap garis. Jika ada beberapa orang yang derajatnya sama, maka warisan dibagi
berdasarkan bagian yang sama.
Keluarga sedarah dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke 6 (enam) tidak mewarisi. Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga yang sedarah dalam derajat yang mengijinkan untuk mewarisi, maka semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan (Pasal 861 KUHPdt).
Keluarga sedarah dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke 6 (enam) tidak mewarisi. Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga yang sedarah dalam derajat yang mengijinkan untuk mewarisi, maka semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan (Pasal 861 KUHPdt).
Apabila
semua orang yang berhak mewarisi tidak ada lagi, maka seluruh warisan dapat
dituntut oleh anak luar kawin yang diakui. Apabila anak luar kawin inipun juga
tidak ada, maka seluruh warisan jatuh pada Negara (Pasal 873 ayat 1 dan Pasal
832 ayat 2 KUHPdt).
Dengan
berlakunya undang - undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka pewarisan anak luar
kawin walaupun diakui, tidak relevan lagi. Undang - undang no. 1 tahun 1974
hanya mengenal anak sah dan anak luar kawin (tidak sah). Anak sah adalah Ahli
Waris, sedangkan anak luar kawin hanya berhak mewarisi dari ibu yang
melahirkannya dan keluarga sedarah dari pihak ibunya.
5. AHLI
WARIS YANG TIDAK BERHAK MEWARIS
Menurut
ketentuan Pasal 838 KUHPdt, yang dianggap tidak patut menjadi Ahli Waris dan
karenanya tidak berhak mewaris adalah :
1. mereka yang telah dihukum karena
dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
2. mereka yang dengan putusan hakim
dipersalahkan karena dengan fitnah mengajajukan pengaduan terhadap pewaris
mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun
lamanya atau hukuman yang lebih berat.
3. mereka yang dengan kekerasan telah
mencegah pewaris membut atau mencabut surat wasiatnya.
4. mereka yang telah menggelapkan,
merusak atau memalsukan syarat wasiat pewaris.
Berbeda
dengan KUHPdt adalah hukum waris adat. Menurut uraian Prof. Hilman Adikusuma,
S.H. (1980) seorang yang telah berdosa terhadap pewaris apabila dosanya itu
diampuni, ia tetap menerima harta warisan, artinya masih berhak mewaris.
Sedangkan menurut hukum waris Islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah:
1. pembunuh pewaris, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ap-Tirmidzi, Ibnmajah, Abu Dawud, Am-Masaai.
Sedangkan menurut hukum waris Islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah:
1. pembunuh pewaris, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ap-Tirmidzi, Ibnmajah, Abu Dawud, Am-Masaai.
2. orang
yang murtad yaitu keluar dari Agama Islam, berdasarkan hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Bardah.
3. orang
yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang bukan menganut Agama Islam atau
Kafir, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah,
At-Tirmidzi.
4. anak zina, yaitu onak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.
4. anak zina, yaitu onak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.
Tidak berhak mewaris terdapat juga pada ahli waris yang menolak warisan dalam Pasal 1058 ditentukan bahwa seorang ahli waris yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi Ahli Waris. Penolakan itu berlaku surut sampai waktu meninggalnya pewaris. Menurut Pasal 1059 KUHPdt bagian dari Ahli Waris yang menolak itu jatuh pada ahli waris lainnya, seolah – olah ahli waris yang menolak itu tidak pernah ada. Menurut Pasal 1057 KUHPdt penolakan warisan harus dinyatakan dengan tegas dikepaniteraan Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 1062 KUHPdt dinyatakan pula bahwa hak untuk menolak warisan tidak dapat gugur karena Daluarsa.
Penolakan warisan itu harus dengan suka rela atas kemauan sendiri, apabila penolakan itu terjadi na paksaan atau penipuan, maka menurut Pasal 1065 KUHPdt penolakan itu dapat dibatalkan (ditiadakan). Tetapi kesukarelaan penolakan itu tidak boleh dilakukan dengan alasan tidak mau membayar hutang. Jka terjadi demikian, menurut Pasal 1061 KUHPdt hakim dapat memberi kuasa kepada para kreditur dari ahli waris yang menolah itu untuk atas namanya menjadi pengganti menerima warisan.
6. AHLI
WARIS PENGGANTI
KUHPdt
membedakan antara ahli waris “uit eigen hoofed” dan ahli waris “bij
plaasvervulling”. Ahli Waris “uit eigen hoofed” adalah ahli waris yang
memperoleh warisan berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap pewaris,misalnya
anak pewaris ,istri/suami pewaris. Ahli waris “bij plaasvervulling”adalah ahli
waris pengganti berhubung orang yang berhak mewaris telah meninggal dunia lebih
dahulu daripada pewaris. Misalnya seorang ayah meniggal lebih dahulu daripada
kakek, maka anak-anak ayah yang meninggal itu menggantikan kedudukan ayahnya
sebagai ahli waris dari kakek.
Penggantian ini terjadi dalam garis kebawah dan terjadi tanpa batas. Tiap ahli waris yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya. Jika lebih dari satu anak sebagai penggantinya, maka penggantian itu dihitung sebagai satu cabang, artinya semua anak yang menggantikan itu mendapatkan bagian yang sama. Penggantian dapat juga terjadi pada keluarga dalam garis samping. Tiap saudara pewaris baik saudara kandung maupun saudara tiri, jika meninggal lebih dahulu, digantikan oleh anaknya. Penggantian ini juga dapat tanpa batas. Tiap penggantian dihitung sebagai satu cabang (bij staken). Menurut ketentuan pasal 841 KUHPdt penggantian adalah hak yang memberikan kepada seseorang untuk menggantikan seorang Ahli Waris yang telah meninggal labih dahulu dari pada pewarisnya untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam hak orang yang digantikannya. Penggantian ini menurut pasal 842 KUHPdt hanya terjadi dalam garis lurus ke bawah tanpa batas, sedangkan pasal 843 KUHPdt manyatakan dalam garis lurus ke atas tidak terdapat penggatian. Dalam hal ada penggantian, maka menurut pasal 846 KUHPdt pembagian dilakukan pancang demi pancang .
Berbicara
masalah warisan, melayang pada benak kita tentang hal-hal yang berkaitan dengan
sejumlah harta peninggalan akibat kematian seseorang. Masalah warisan, didalam
masyarakat kita sering menimbulkan perselisihan yang mungkin akan mengakibatkan
pecahnya keakraban persaudaraan. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi
seandainya kita semua memahami apa yang seharusnya kita lakukan, apa yang
menjadi hak-hak kita, dan apa pula yang menjadi kewajiban-kewajiban kita yang
berkaitan dengan harta warisan tersebut.Ketidaktahuan dan kekurang
mengertian,banyak menjadi biang keladi konflik tersebut.
Kemajemukan
masyarakat di Indonesia diikuti dengan kemajemukan Hukum Perdatanya. Dimana
Hukum Waris merupakan salah satu bagian dari Hukum Perdata yang berkembang
dengan sangat kental di masyarakat Indonesia. Karena seperti kita ketahui
kegiatan waris mewaris tidak bisa terlepas dari tata kehidupan masyarakat. Ahli
Waris merupakan salah satu unsur utama dalam Hukum Waris. Dalam membicarakan
Ahli Waris, sudah barangtentu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan
Ahli Waris, hak dan kewajibannya beserta penggolongannya serta kemungkinan –
kemungkinan yang berkaitan dengan status Ahli Waris, untuk menghidari
kesalahpahaman dalam menindak lanjutinya dalam kehidupan sehari – hari.
1. PENGERTIAN AHLI WARIS
Menurut
undang – undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :
1.Sebagai
ahli waris menurut ketentuan undang – undang
2.Karena
ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang
pertama dinamakan mewarisi “menurut undang – undang” atau “ab intestato”.
Sedangkan cara yang kedua disebut dengan mewaris dengan “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas ini tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi : “le mort saisit le vif”, sedangkan pengukuran segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan “saisine”.
Dalam hukum waris berlaku asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas ini tercantum dalam suatu pepatah Perancis yang berbunyi : “le mort saisit le vif”, sedangkan pengukuran segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan “saisine”.
Ahli waris
adalah setiap orang yang berhak atas harta peninggalan pewaris dan berkewajiban
menyelesaikan hutang – hutangnya. Hak dan kewajiban tersebut timbul setelah pewaris
meninggal dunia. Hak waris itu didasarkan pada hubungan perkawinan, hubungan
darah, dan surat wasiat, yang diatur dalam undang – undang. Tetapi legataris
bukan ahli waris, walaupun ia berhak atas harta peninggalan pewaris, karena
bagiannya terbatas pada hak atas benda tertentu tanpa kewajiban.
Dalam Pasal 833 ayat 1 KUHPdt dinyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas semua harta kekayaan orang yang meninggal dunia (pewaris). Dalam Pasal 874 KUHPdt juga dinyatakan bahwa segala harta kekayaan orang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak diambil suatu ketetapan yang sah. Ketentuan Pasal – Pasal di atas pada dasarnya didasari oleh asas “le mort saisit le vif”, yang telah disebut di atas. Yang artinya orang yang mati berpegang pada orang yang masih hidup. Asas ini mengandung arti bahwa setiap benda harus ada pemiliknya. Setiap ahli waris berhak menuntut dan memperjuangkan hak warisnya, menurut Pasal 834 B.W. seorang ahli waris berhak untuk menuntut upaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris (heriditatis petito). Hak penuntutan ini menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai satu benda warisan dengan maksud untuk memilikinya. Oleh karena itu, penuntutan tersebut tidak boleh ditujukan pada seorang yang hanya menjadi houder saja, yaitu menguasainya benda itu berdasarkan suatu hubungan hukum dengan si meninggal, misalnya menyewa. Penuntutan tersebut tidak dapat ditujukan kepada seorang executeur – testamentair atau seorang curator atas suatu harta peninggalan yang tidak diurus. Seorang ahli waris yang menggunakan hak penuntutan tersebut, cukup dengan mengajukan dalam surat gugatannya, bahwa ia adalah ahli waris dari si meninggal den barang yang dimintanya kembali itu termasuk benda peninggalan.
Menurut Pasal 1066 ayat 2 KUHPdt setiap ahli waris dapat menuntut pembagian harta warisan walaupun ada larangan untuk melakukan itu. Jadi, harta warisan tidak mungkin dibiarkan dalam keadan tidak terbagi kecuali jika diperjanjikan tidak diadakan pembagian, dan inipun tidak lebih lama dari lima tahun. Walaupu ahli waris itu berhak atas harta warisan, dimana pada asasnya tiap orang meskipun seorang bayi yang baru lahir adalah cakap untuk mewaris hanya oleh undang - undang telah ditetapkan ada morang orang yang karna perbuatannya, tidak patut (onwaardig) menerima warisan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 838 KUHPdt yang dianggap tidak patut jadi ahli waris, sehingga dikecualikan dari pewarisan adalah :
1. mereka yang telah dihukum karena
dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh pewaris;
2. mereka yang dengan putusan hakim
dipersalahkan karena fitnah telah mengadikan pewaris bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat;
3. mereka yang dengan kekerasan telah
mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiat;
4. mereka yang telah menggelapkan,
merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.
Selain itu,
oleh undang - undang telah ditetapkan bahwa ada orang – orang yang berhubungan
dengan jabatan atau pekerjaannya, maupu hubungannya dengan si meninggal, tidak
diperbolehkan menerima keuntungan dari suatu surat wasiat yang diperbuat oleh
si meninggal. Mereka ini, diantaranya adalah notaries yang membuatkan surat wasiat
itu serta saksi – saksi yang menghadiri pembuatan testament itu, pendeta yang
melayani atau dokter yang merawat si meninggal selama sakitnya yang terakhir.
Bahkan pemberian waris dalam surat wasiat kepada orang –orang mungkin menjadi
perantara dari orang – orang ini (“tussenbiede komende personen”) dapat
dibatalkan. Sebagai orang – orang perantara ini oleh undang – undang diangap
anak – anak dan isteri dari orang – orang yang tidak diperbolehkan menerima
warisan dan tastement itu.
Selanjutnya dalam Pasal 912 ditetapkan alasan – alasan yang menurut pasal 838 tersebut diatas, menyebabkan seseorang tidak patut menjadi waris, berlaku juga sebagai halangan untuk dapat menerima pemberian – pemberian dalam suatu testament, kecuali dalam pasal 912 tidak disebutkan orang yang telah mencoba membunuh orang yang meninggalkan warisan. Jika si meninggal ini ternyata dalam surat wasiatnya masih juga memberikan warisan pada seorang yang telah berbuat demikian, hal itu dianggap sebagai suatu “pengampunan” terhadap orang itu.
2. SYARAT –
SYARAT AHLI WARIS
Dalam pasal 832 KUHPdt dinyatakan bahwa menurut undang - undang yang berhak menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin, dan si suami atau istri yang hidup terlama. Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup terlama di antara suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik negara, yang mana berwajib akan melunasi segala hutangnya, sekedar harga harta peniggalan mencukupi untuk itu.
Kemudian
menurt Pasal 874 KUHPdt dinyatakan segala harta peninggalan seseorang yang
meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang –
undang, sekedar terhadap itu dengan surat wasiat telah diambilnya suatu
ketetapan yang sah.
Menurut Pasal 836 KUHPdt dinyatakan dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 KUHPdt, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah lahir, pada saat warisan jatuh meluang. Dimana Pasal 2 KUHPdt menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan si anak mengkehendakinya, namun apabila mati suatu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.
Jadi menurut pasal – pasal tersebut di atas syarat – syarat ahli waris adalah sebagai berikut :
Menurut Pasal 836 KUHPdt dinyatakan dengan mengingat akan ketentuan dalam Pasal 2 KUHPdt, supaya dapat bertindak sebagai waris, seorang harus telah lahir, pada saat warisan jatuh meluang. Dimana Pasal 2 KUHPdt menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bila mana juga kepentingan si anak mengkehendakinya, namun apabila mati suatu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada.
Jadi menurut pasal – pasal tersebut di atas syarat – syarat ahli waris adalah sebagai berikut :
1. mempunyai hak atas harta peninggalan
si pewaris, yang timbul karena :
a.
hubungan
darah (Pasal 832 B.W.)
b. karena wasiat (Pasal 874 B.W.)
2. harus sudah ada dan masih ada ketika
si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 B.W.), dengan tetap memperhatikan
ketentuan dari pasal 2 B.W.
3. ahli waris bukan orang yang
dinyatakan tidak patut menerima warisan atau orang yang menolak harta warisan,
adapun Pasal yang mengatur mengenai orang yang tidak patut menjadi ahli waris
yaitu Pasal 838 B.W. yang telah tersebut di atas dalam sub bab sebelumnya .
jika kita tinjau dari syarat pewarisan tersebut di atas, maka akan timbul suatu pertanyaan, bagaimanakah jika antara dua orang yang saling mewaris meninggal dalam waktu yang sama?
Dari ketentuan Pasal 831 B.W. dapat diketahui jika terjadi dua orang atau lebih yang sama atau lebih yang saling mewaris itu meninggal dalam waktu yang sama atau dalam waktu yang hampir bersamaan namun tidak dapat dibuktikan siapa yang meninggal terlebih dahulu maka diantara keduanya tidak saling mewaris.
3. HAK DAN
KEWAJIBAN AHLI WARIS
Dalam rangka
untuk mengetahui hak dan kewajiban ahli waris perlu kiranya untuk diketahui hak
dan kewajiban pewaris. Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta peninggalan
dalam arti bahwa pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya
dalam sebuah testament atau wasiat. Isi dan wasiat tersebut dapat berupa :
1. Erfstelling, yaitu suatu penunjukan
satu atau beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan sebagian atau
keseluruhan harta peninggalan. Orang yang ditunjuk dinamakan testamentair
erfgenaam (ahli waris menurut wasiat).
2. Legaat, adalah pemberian hak kepada
seseorang atas dasar tastement atau wasiat yang khusus. Pemberian itu dapat
berupa :
a.
(hak atas)
satu atau beberapa benda tertentu;
b. (hak atas) seluruh dari satu macam
benda tertentu;
c.
hak
vruchtgebruik atas sebagian / seluruh warisan (Pasal 957 KUHpdt).
Kewajiban si
pewaris adalah merupakan pembatsan terhadap haknya ditentukan undang – undang.
Ia harus mengindahkan adanya legitieme portie, yaitu suatu bagian tertentu dari
harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan
warisan.
Hak ahli waris dapat diperinci sebagai berikut: Setelah terbuka warisan, ahli waris diberikan hak untuk menentukan sikap:
Hak ahli waris dapat diperinci sebagai berikut: Setelah terbuka warisan, ahli waris diberikan hak untuk menentukan sikap:
1. Menerima secara penuh (zuivere aanvaarding), yaitu
dapat dilakukan secara tegas atau secara lain. Dengan tegas yaitu jika
penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akte yang memuat penerimaannya
sebagai ahli waris. Secara diam – diam, jika ahli waris tersebut melakukan
perbuatan penerimaannya sebagai ahli waris dan perbuatan tersebut harus
mencerminkan perbuatan penerimaan terhadap warisan yang meluang, yaitu dengan
mengambil, menjual atau melunasi hutang – hutang pewaris.
2. Menerima dengan reserve (hak untuk menukar) Voorrecht
van boedel beschriyving atau beneffeciare aanvaarding. Hal ini harus dinyatakan
pada Panitera Pengadilan Negeri ditempat warin terbuka. Akibat yang terpenting
dalam warisan secara beneficare ini adalah bahwa kewajiban untuk melunasi
hutang – hutang dan beban lain si pewaris dibatasi sedemikian rupa sehingga
pelunasannya dibatasi menurut kekuatan warisan, dalam hal ini berarti si ahli
waris tersebut tidak usah menanggunga pembayaran hutang dengan kekayaan
sendiri, jika hutang pewaris lebuh besar dari harta bendanya. Adapun kewajiban
– kewajiban seorang ahli waris beneficiair, ialah :
a. melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam
waktu 4 (empat) bulan setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera
Pengadilan Negeri, bahwa ia menerima warisan secara beneficiair.
b. Mengurus harta peninggalan sebaik – baiknya.
c. Selekas – lekasnya membereskan urusan warisan (“Dewa
Made Suartha boedel tot effenheid brengen”).
d. Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus
memberikan tanggungan untuk harga benda – benda yang bergerak beserta benda –
benda yang tak bergerak yang tidak diserahkan kepada orang – orang berpiutang yang
memegang hypothek.
e. Memberikan pertanggungan jawab kepada sekalian penagih
hutang dan orang – orang yang menerima pemberian secara legaat. Pekerjaan ini
berupa menghitung harga serta pendapatan – pendapatan yang mungkin akan
diperoleh, jika barang – barang warisan dijual dan sampai berapa persen piutang
– piutang dan legaten itu dapat dipenuhi.
f. Memanggil orang – orang berpiutang yang tidak
terkenal,dalam surat kabar resmi.
3.Menolak warisan. Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta kekayaan yang berupa kewajiban membayar hutang lebih besar dari pada hak untuk menikmati harta peninggalan. Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat. Kewajiban ahli waris, antara lain :
3.Menolak warisan. Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta kekayaan yang berupa kewajiban membayar hutang lebih besar dari pada hak untuk menikmati harta peninggalan. Penolakan wajib dilakukan dengan suatu pernyataan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat. Kewajiban ahli waris, antara lain :
·
memelihara
harta keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan dibagi.
·
mencari cara
pembagian yang sesuai dengan ketentuan dan lain – lain.
·
melunasi
hutang pewaris jika pewaris meniggalkan hutang.
·
melaksanakan
wasiat jika ada.
4. PENGGOLONGAN AHLI WARIS DAN BAGIANNYA
Ada dua
macam ahli waris yang diatur dalam undang - undang yaitu Ahli Waris berdasarkan
hubungan perkawinan dan hubungan darah, dan Ahli Waris berdasarkan surat
wasiat. Ahli Waris yang pertama disebut Ahli Waris ab intestato, sedangkan yang
kedua disebut dengan Ahli Waris testamentair.
Ahli Waris ab intestato diatur dalam pasal 832 KUHPdt, dinyatakan bahwa yang berhak menjadi Ahli Waris adalah para keluarga sedarah dan istri (sumi) yang masiih hidup dan jika ini semua tidak ada, maka yang berhak menjadi Ahli Waris adalah Negara. Pertanyaannya adalah siapa sajakah yang termasuk dalam keluarga sedarah yang berhak mewaris itu?
Untuk menjawabnya kita dapat melihat dalam B.W., dimana Ahli Waris dibedakan menjadi 4 (empat) golongan ahli waris, yaitu:
Golongan I :
golongan ini
terdiri dari anak dan keturunannya kebawah tanpa batas beserta janda atau duda.
Menurut ketentuan pasal 852 KUHPdt, anak – anak walaupun dilahirkan dari
perkawinan yang berlainan dan waktu yang berlainan, laki – laki atau perempuan
mendapatkan bagian yang sama, mewaris kepala demi kepala. Anak – anak yang
mewaris sebagai pengganti dari ayah (ibu) mewaris pancang demi pancang. Yang
dimaksud dengan pancang adalah semua anak dari seorang yang berhak mewaris,
tetapi telah meninggal terlebih dahulu. Kemudian tetang anak adopsi, Ali
Afandi, S.H. menyatakan bahwa anak adopsi kedudukannya sejajar seperti anak
yang lahir dalam perkawinan orang yang mengadopsinya.
Menurut
ketentuan pasal 852 a KUHPdt, bagian seorang istri (suami) jika ada anak dari
parkawiannya dengan orang yang meninggal sama dengan bagian seorang anak yang
meninggal. Jika perkawinan itu bukan perkawinan yang pertama dan dari
perkawinan yang dahulu ada juga anak, maka baigan dari istri (suami) itu tidak
boleh lebih dari bagian terkecil dari anak – anak pewaris itu. Bagaimanapun
juga seorang istri tidak boleh lebih dari seperempat harta warisan.
Yang
dimaksud dengan “terkecil” itu adalah bagian dari seorang anak yang dengan
ketetapan surat wasiat dapat berbeda – beda, asal tidak kurang dari legitieme
portie.
Selanjutnya dalam pasal 852 b KUHPdt, ditentukan bahwa apabila istri (suami) mewaris bersama – sama dengan orang – orang lain dari pada anak – anak atau keturunannya dari perkawinannya yang dulu, maka ia dapat menarik seluruh atau bagian prabot rumah tangga dalam kekuasannya. Yang dimaksud dengan “orang – orang lain dari pada anak – anak” itu ialah orang – orang yang menjadi Ahli Waris karena ditetapkan dengan surat wasiat. Harga perabot rumah tangga itu harus dikurangkan dari bagian warisan istri (suami) itu. Jika harganya lebih basar dari pada harga bagian warisannya maka harga kelebihan itu harus dibayar lebih dahulu pada kawan warisnya.
Selanjutnya dalam pasal 852 b KUHPdt, ditentukan bahwa apabila istri (suami) mewaris bersama – sama dengan orang – orang lain dari pada anak – anak atau keturunannya dari perkawinannya yang dulu, maka ia dapat menarik seluruh atau bagian prabot rumah tangga dalam kekuasannya. Yang dimaksud dengan “orang – orang lain dari pada anak – anak” itu ialah orang – orang yang menjadi Ahli Waris karena ditetapkan dengan surat wasiat. Harga perabot rumah tangga itu harus dikurangkan dari bagian warisan istri (suami) itu. Jika harganya lebih basar dari pada harga bagian warisannya maka harga kelebihan itu harus dibayar lebih dahulu pada kawan warisnya.
Golongan II :
golongan ini
terdiri dari ayah dan / atau ibu si pewaris beserta saudara dan keturunannya
sampai derajat ke 6 (enam). Menurut ketentuan pasal 854 KHUPdt,apabila seorang
meninggal dunia tanpa meniggalkan keturunan maupun istri(suami), sedangkan
bapak dan ibunya masih hidup, maka yang berhak mewarisi ialah bapak, ibu, dan
saudara sebagai berikut :
a.bapak dan ibu masing - masing mendapat sepertiga dari hrta warisan, jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat sepertida lebihnya,
b.bapak dan ibu masing – masing mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari seorang saudara, yang mana mendapat dua seperempat lebihnya.
a.bapak dan ibu masing - masing mendapat sepertiga dari hrta warisan, jika yang meninggal itu hanya mempunyai seorang saudara, yang mana mendapat sepertida lebihnya,
b.bapak dan ibu masing – masing mendapat seperempat dari harta warisan, jika yang meninggal itu mempunyai lebih dari seorang saudara, yang mana mendapat dua seperempat lebihnya.
Selanjutnya
dalam pasal 855 KUHPdt ditentukan bahwa apabila orang yang meninggal dunia itu
tampa meninggalkan keturunan maupun istri (suami), sedangkan bapak atau ibunya
masih hidup, maka :
saudara –
saudaranya (pasal 856 KUHPdt).
Pembagian
antara saudara – saudara adalah sama, jika mereka itu mempunyai bapak dan ibu
yang sama. Apabila mereka berasal dari perkawinan yang berlainan (bapak sama
tetapi lain ibu, atau ibu sama tetapi lain bapak), maka harta warisan dibagi
dua. Bagian yang pertama adalah bagin bagi garis bapak dan bagian yang kedua
adalah bagian bagi garis ibu. Saudara – saudara yang mempunyai bapak dan ibu
yang sama mendapat bagian dari bagian dari garis bapak dan garis ibu. Saudara –
saudara yang hanya sebapak atau seibu dapat baian dari bagian garis bapak atau
garis ibu saja (Pasal 857). Apabila orang yang mennggal dunia itu tidak
meninggalkan keturunan istri atau suami, saudara, sedangkan bapak atau ibunya
masih hidup. Maka bapak atau ibunya yang masih hidup itu mewarisi seluruh
warisan anaknya yang meniggal dunia itu (pasal 859 KUHPdt)
Golongan III :
golongan ini
terdiri dari keluarga sedarah menurut garis lurus ke atas.
Menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 KUHPdt apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, maupun istri atau suami, saudara – saudara, ataupun orang tua, maka warisan jatuh kepada kakek dan nenek.
Menurut ketentuan Pasal 853 dan Pasal 858 KUHPdt apabila orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, maupun istri atau suami, saudara – saudara, ataupun orang tua, maka warisan jatuh kepada kakek dan nenek.
Dalam hal
ini warisan itu dibelah menjadi dua. Satu bagian diberikan kepada kakek dan
nenek yang diturunkan bapak dan satu bagian lagi diberikan kepada kakek dan
nenek yug menurunkan ibu. Apabila kakek dan nenek tidak ada, maka warisan jatuh
kepada orang tua kakek dan nenek (puyang). Apabila yang tidak ada itu hanya
kakek dan nenek, maka bagian jatuh pada garis keturunannya, dan menjadi bagian
yang masih hidup. Ahli waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke
atas, mendapat setengah warisan dalam garisnya dengan menyampingkan semua ahli
waris lainnya. Semua keluarga sedarah dalam garis lurus keatas dalam derajat
yang sama mendapat begian kepala demi kepala (bagian yang sama).
Golongan IV :
Golongan IV :
golongan ini
terdiri dari keluarga sedarah dalam garis kesamping yang lebih jauh sampai
derajat ke 6 (enam).
Apabila
orang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan keturunan, istri atau suami,
saudara – saudara, orangtua, nenek dan kakek, maka menurut ketentuan Pasal 853
dan Pasal 858 ayat 2 KUHPdt warisan jatuh pada Ahli Waris yang terdekat pada
tiap garis. Jika ada beberapa orang yang derajatnya sama, maka warisan dibagi
berdasarkan bagian yang sama.
Keluarga sedarah dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke 6 (enam) tidak mewarisi. Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga yang sedarah dalam derajat yang mengijinkan untuk mewarisi, maka semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan (Pasal 861 KUHPdt).
Keluarga sedarah dalam garis menyimpang lebih dari derajat ke 6 (enam) tidak mewarisi. Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga yang sedarah dalam derajat yang mengijinkan untuk mewarisi, maka semua keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan (Pasal 861 KUHPdt).
Apabila
semua orang yang berhak mewarisi tidak ada lagi, maka seluruh warisan dapat
dituntut oleh anak luar kawin yang diakui. Apabila anak luar kawin inipun juga
tidak ada, maka seluruh warisan jatuh pada Negara (Pasal 873 ayat 1 dan Pasal
832 ayat 2 KUHPdt).
Dengan
berlakunya undang - undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 maka pewarisan anak luar
kawin walaupun diakui, tidak relevan lagi. Undang - undang no. 1 tahun 1974
hanya mengenal anak sah dan anak luar kawin (tidak sah). Anak sah adalah Ahli
Waris, sedangkan anak luar kawin hanya berhak mewarisi dari ibu yang
melahirkannya dan keluarga sedarah dari pihak ibunya.
5. AHLI
WARIS YANG TIDAK BERHAK MEWARIS
Menurut
ketentuan Pasal 838 KUHPdt, yang dianggap tidak patut menjadi Ahli Waris dan
karenanya tidak berhak mewaris adalah :
1. mereka yang telah dihukum karena
dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
2. mereka yang dengan putusan hakim
dipersalahkan karena dengan fitnah mengajajukan pengaduan terhadap pewaris
mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima) tahun
lamanya atau hukuman yang lebih berat.
3. mereka yang dengan kekerasan telah
mencegah pewaris membut atau mencabut surat wasiatnya.
4. mereka yang telah menggelapkan,
merusak atau memalsukan syarat wasiat pewaris.
Berbeda
dengan KUHPdt adalah hukum waris adat. Menurut uraian Prof. Hilman Adikusuma,
S.H. (1980) seorang yang telah berdosa terhadap pewaris apabila dosanya itu
diampuni, ia tetap menerima harta warisan, artinya masih berhak mewaris.
Sedangkan menurut hukum waris Islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah:
1. pembunuh pewaris, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ap-Tirmidzi, Ibnmajah, Abu Dawud, Am-Masaai.
Sedangkan menurut hukum waris Islam, orang yang tidak berhak mewaris adalah:
1. pembunuh pewaris, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ap-Tirmidzi, Ibnmajah, Abu Dawud, Am-Masaai.
2. orang yang
murtad yaitu keluar dari Agama Islam, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Bardah.
3. orang
yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang bukan menganut Agama Islam atau
Kafir, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah,
At-Tirmidzi.
4. anak zina, yaitu onak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.
4. anak zina, yaitu onak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.
Tidak berhak mewaris terdapat juga pada ahli waris yang menolak warisan dalam Pasal 1058 ditentukan bahwa seorang ahli waris yang menolak warisan dianggap tidak pernah menjadi Ahli Waris. Penolakan itu berlaku surut sampai waktu meninggalnya pewaris. Menurut Pasal 1059 KUHPdt bagian dari Ahli Waris yang menolak itu jatuh pada ahli waris lainnya, seolah – olah ahli waris yang menolak itu tidak pernah ada. Menurut Pasal 1057 KUHPdt penolakan warisan harus dinyatakan dengan tegas dikepaniteraan Pengadilan Negeri. Menurut Pasal 1062 KUHPdt dinyatakan pula bahwa hak untuk menolak warisan tidak dapat gugur karena Daluarsa.
Penolakan warisan itu harus dengan suka rela atas kemauan sendiri, apabila penolakan itu terjadi na paksaan atau penipuan, maka menurut Pasal 1065 KUHPdt penolakan itu dapat dibatalkan (ditiadakan). Tetapi kesukarelaan penolakan itu tidak boleh dilakukan dengan alasan tidak mau membayar hutang. Jka terjadi demikian, menurut Pasal 1061 KUHPdt hakim dapat memberi kuasa kepada para kreditur dari ahli waris yang menolah itu untuk atas namanya menjadi pengganti menerima warisan.
6. AHLI
WARIS PENGGANTI
KUHPdt membedakan
antara ahli waris “uit eigen hoofed” dan ahli waris “bij plaasvervulling”. Ahli
Waris “uit eigen hoofed” adalah ahli waris yang memperoleh warisan berdasarkan
kedudukannya sendiri terhadap pewaris,misalnya anak pewaris ,istri/suami
pewaris. Ahli waris “bij plaasvervulling”adalah ahli waris pengganti berhubung
orang yang berhak mewaris telah meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris.
Misalnya seorang ayah meniggal lebih dahulu daripada kakek, maka anak-anak ayah
yang meninggal itu menggantikan kedudukan ayahnya sebagai ahli waris dari
kakek.
Penggantian ini terjadi dalam garis kebawah dan terjadi tanpa batas. Tiap ahli waris yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh anak-anaknya. Jika lebih dari satu anak sebagai penggantinya, maka penggantian itu dihitung sebagai satu cabang, artinya semua anak yang menggantikan itu mendapatkan bagian yang sama. Penggantian dapat juga terjadi pada keluarga dalam garis samping. Tiap saudara pewaris baik saudara kandung maupun saudara tiri, jika meninggal lebih dahulu, digantikan oleh anaknya. Penggantian ini juga dapat tanpa batas. Tiap penggantian dihitung sebagai satu cabang (bij staken). Menurut ketentuan pasal 841 KUHPdt penggantian adalah hak yang memberikan kepada seseorang untuk menggantikan seorang Ahli Waris yang telah meninggal labih dahulu dari pada pewarisnya untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam hak orang yang digantikannya. Penggantian ini menurut pasal 842 KUHPdt hanya terjadi dalam garis lurus ke bawah tanpa batas, sedangkan pasal 843 KUHPdt manyatakan dalam garis lurus ke atas tidak terdapat penggatian. Dalam hal ada penggantian, maka menurut pasal 846 KUHPdt pembagian dilakukan pancang demi pancang .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar