Peranan Tasawuf dalam dunia Moderen
a. A. Pendahuluan
Sufisme,
sebagai aliran kebaktian dan mistik dalam tradisi islam, telah menjadi
sasaran ketegangan modernisasi yang dialami seluruh dunia muslim.
Peningkatan penduduk perkotanan yang cepat, penyebaran pendidikan umum
non-religious dan ilmu alam, pengikisdan hirerki keluarga dan sosial
perkampungan, penggantian kerajaan dengan kekuasaan rakyat., peningkatan
mobilitas dan akses informasi semuanya telah mendatangkan tekanan bagi
komunitas muslim sama dengan tekanan yang dialami masyarakat Barat dalam
proses industrialisasinya.
Bagi
sementara kalangan muslim, sufisme atau tasawuf tidak relevan kepada
kemoderenan dan semua yang berkaitan dengan itu, bahkan, sebaliknya
sufisme mereka pandang sebagai hambatan bagi kaum muslimin dalm mencapai
modernitas dan kemajuan dalam berbagai lapangan kehidupan. Karena itu
jika kaum muslimin ingin mencapai kemajuan, maka sufisme dan berbagai
bentuknya haruslah ditinggalkan, karena kemunduran dan kelatarbelakangan
kaum muslimin adalah karena mereka terperangkap ke dalam berbagai
praktik sufistik memabukkan, yang membuat mereka lupa pada dunia.
Pandangan
ini, yang menempatkan sefisme sebagai tertuduh, bahkan suatu hal yang
baru. Bahan sejak bermulanya praktik-praktik sufistik di awal islam,
kaum muhaddistin dan fuqoha’ memandang sebagai tidak sesuai dengan sunah
nabi, eksesif dan spekulatif dalam hal menyangkut tuhan.
Bahkan
kebangkitan modernisme dan reformasi islam sejak abad ke 20 menjadikan
tasawuf sebagai salah salah satu sasaran pembahruan dan pemurnian islam.
Bagi par apemikir dan aktivis modrnis dan reformasi muslim, kaum muslim
bisa mencapai kemajuan hanya dengan nmeninggalkan kepercayaan dan
praktik sufistik yang mereka pandang bervampur dengan bid’ah khurafat
tahayul dan taqlid kepada pemimpin tasawuf dan
tarekat.Pandangan-pandangan yang seperti ini tampak perlu dikaji ulang
setelah lebih dari setengah abad negara-negara dan masyarakat muslim
mengalami modernitas
Suatu
hal yang sudah pasti yaitu terjadinya kebangkitan sufisme pada masa
modernitas dan globalisasi ini, tidak hanya di indonesia tapi juga
hampir di seluruh kawasan dunia muslim, an bahkan di kalangan muslim di
barat. Ini bertentangan dengan anggapan sementara ahli yang pernah
memprediksikan sufisme tidak dapat bertahan di tengah medernisasi dan
kemudian globalisasi. Tetapi seperti di ingatkan oleh van
Bruinessen dan howel, kebangkitan sufisme tidak bisa sepenuhnya di
pahami hanya sebagai suatu bentuk respons kaum sufi terhadap modernitas
dan globalisai.
Kebangkitan
sufisme berkaitan dengan sejumlah faktor keagamaan, sosial, politik,
ekonomi dan budaya yang kompleks. Secara keagamaan, sejak tahun 1980-an
terjadi gejala peningkatan attachment kepada islam, gejala yang terjdi
di indonesia disebut sebagai sntrinisasi. Proses ini di mungkinkan
karena mulai terbentuknya kelas menengah muslimdi tengah terjadi nya
perubahan politik rezim penguasa yang lebih rekonsiiatif dan bersahabat
terhadap kaum muslim dan islam.
Kebanyakan
di dunia muslim di mana modernisasi ekonomi dimulai relatif blakangan
dan dalam menghadapi kompetisi dengan masyarakat non-muslim yang menjadikan langkah awal diantaranya dengan mengorbankan
wilayah koloni muslim, konfrontasi dengan modernitas menjadi sangat
traumatis. Kemakmuran materil para pengembang barat awal telah menarik
minat masyarakat muslim yang sedang berkembang belakangan, tetapi
transformasi sosial yang di sosialisasikam dengan perubahan teknologi
dan ekonomi, tidak selalu diterima dengan senang hati.
b. Mengapa tasawuf penting untuk di kaji di Era Modern?
1. Manusia moderen kehilangan visi ke-Ilahian
Proses
modernisasi, yang dijalankan oleh dunia barat sejak zaman renaissanse,
di samping membawa dampak positif, juga telah menimbulkan dampak
negatif. Dampak positfnya, modernisasi telah membawa kemudahan-kemudahan
dalam kehidupan manusia. Sementara damapk negatifnya, modernisasi telah
menimbulkan krisis makna hidup, kehampaan spiritualisasi dan
tersingkirnya agama dalam kehidupan manusia.
Krisis
peradaban moderen bersumber dari penolakan terhadap hakikat ruh dan
penyingkiran ma’nawiyah secara gradual dalam kehidupan manusia. Manusia
moderen mencoba hidup dengan roti semata, mereka bahkan berupaya
membunuh tuhan dan menyatakan kebebasan dari kehidupan akhirat.
Konsekwensi lebih lanjut dari perkembangan ini kekuatan dan daya manusia
mengalami eksternalisas. Dengan eksternalisasi in manusia kemudian
menaklukan secara tanpa batas dan alam dipandang tak lebih dari sekedar
obyek dan sumberdaya yang perlu dimanfaatkan dan di eksploitasi
semaksimal mungkin.
Manusia
moderen memperlakukan alam sama dengan pelacur, mereke menikmati dan
mengeksploitasi kepuasan dirinya tanpa rasa kewajiban dan rasa tanggung
jawab apapun. Inilah yang menyebabkan krisis di dunia modern, tidak
hanya krisis dalam kehidupan spiritual tetapi juga dalam kehidupan
sosial sehari-hari.
Akibat
dari fenomena diatas, masyarakat barat yang telah mencapai tingkat
kemakmuran materisedimikian rupa dengan perangkat teknologi yang serba
mekanisme dan otomatis. Bukan semakin mendekati kebahagian
hidup melainkan semakin kian di hinggapi rasa cemas justru akibat
kemewahan hidup yang diraihnya. Mereka talah menjadi ilmu dan teknologi,
sehingga tanpa disadari integritas kemanusianya tereduksi, lalu
terperangkap pada jaringan sistem rasinalitas teknologi yang sangat
tidak humanitatis. Mereka merasa cukup dengan perangkat
ilmu teknoogi semantara pemikiran dan pemahaman keagamaan yang bersumbur
pada ajaran wahyu dan ditinggalkan. Dengan ungkapan lebih populer,
masyarakat Barat telah memasiki post crisian era dan berkembangkah paham
sekulerisme.
Agar
manusia modern dapat keluar dari krisis ini manusia harus kembali
kepusat eksistensi lewat latihan spiritual dan pengamalan ajaran agama.
2. Kehampaan spiritual
Akibat
dari terlalu menggunakan rasio, manusia moderen mudah dihinggapi
penyakit kehampaan spiritual. Kemajuan yang pesat dalam lapangan ilmu
pengetahuan dan filsafat rasionalisme abad ke-18 dirasakan tidak mampu
memenuhi kebutuhan pokok manusia dalam aspek nilai-nilai transenden,
satu kebutuhan fital yang hanya bisa di gali dari sumber wahyu ilahi.
Dengan
demikian, apabila mereka ingin mengakhiri kesesatan yang mereka
timbulkan sendiri lantaran sering dilupakanya dimensi-dimensi keilahian,
maka mau tidak mau pandangan serta sikap hidup keagamaan harus dihidupkan kembali kepada mereka.
Kondisi
manusia moderen sekarang ini karena mengabaikan kebutuhan yang paling
mendasar dan yang bersifat spiritual, maka mereka tidak bisa menemukan
ketentraman batin,, yang berarti tidak ada keseimbangan batin. Keadaan
ini akan semakin parah apabila tekannya pada kebutuhan materi kian
meningkat, sehingga keseimbangan akan semakin menaik, singkatnya manusia
moderen membutuhkan agama untuk mengobati krisis yang dideritanya.
Karena salah satu fungsi agama adalah untuk membimbing jalan hiduo
manusia agar lebih baij dan selamat, baik di dunia maupun diakhirat.
3. Tasawuf merupakan kebutuhan manusia.
Ustadz
abas mahmud al-‘aqad mengatakan se-bagian orang ada yang menduga bahea
tasawuf dengan pecahan-pecahanya merupakan turats (peninggalan)
terdahulu yang disisa siakan. Akan tetapi setiap hari bahkan besok pun
mereka mengetauai bahwa dalam hidup manusia membutuhkan tasawuf dalam
berbagai aspeknya walau hanya dalam sehari saja. Latihan jiwa merupakan
kebutuhan primer, seperti hanya latihan fisik. Tasawuf juga termasuk
yang dibutuhkan manusia pada masa kontemporer tasawuf merupakan
liberalisasi atau pelepasan tali kekang manusia moderen dari tanganya.
Dengan tasawuf manusia tidak akan cukup waktu sehari untuk menyiasati
tubuh dari berbagai tantangan dan kesulitan atas kemauan dan kerelaan
diri sendiri, dan untuk orang lain.
Dulu
orang berkalbu waspada merasa jenuh dengan kondisi sosialnya, lalu
menghijrahkanya ke tempat pertapaan agama. Pada masa modern, sebagian
orang di barat merasa jenuh dengan ulahnya masyarakat, lalu kepada
mereka diberi proteksi filsafat eksistensialisme agar menjadi tempat
bernaung setiap individu. Ketika tradisi kesewenang-wenangan masyarakat
menyerbu setiap individu ia berupaya melepaskan tali kekangan. Terkadang
membolehkan segala hal (free will) terkadang juga mengasingkan perasaa
hati nurani.
Akan
tetapi islam membukakan kepada hati setiap nidividu jalan ruhani menuju
tuhan/ maslak yang luas bukan kerahiban (rahbaniyah) dan bukan pula
eksistensialisme(wujudiyah). Dalam islam ada standar nilai
baik dan buruk. Bagi setiap individu didirikanya tempat pertapaan di
kedalam dirinya yang tak memiliki batas selain batasan-batasan alam.
Pada
masa kejayaan islam, telah tumbuh berkembang banyak pelopor sufi yang
pemikir lagi pengajar yang tidak akan tertadingi oleh generasi
sesudahnya di segala zaman, baik dalam jumlah maupun kedalam ilmunya.
DAFTAR PUSTAKA
Toriqudin, Muhammad. Sekularitas Tasawuf. Malang : UIN-Malang Press
Brunessen, Van Martin. Urban Sufism. Jakarta: Rajawali Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar